Aksi Lanjutan di Satu Tahun Kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf Amin

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 Oktober 2020
3 menit

By Rifki Wahyudi, Faizah Diena

Selasa (20/10), aksi lanjutan penolakan Omnibus Law digelar kembali. Sama seperti aksi sebelumnya, berbagai elemen masyarakat yang terdiri dari buruh, gerakan tani, mahasiswa, dan pelajar turun ke jalan menyuarakan protes terhadap UU Cipta Kerja (Ciptaker).

"Sebenarnya, secara prinsip nggak ada bedanya (dengan aksi 8 Oktober -red). Karena kita masih menuntut pemerintah dan DPR menunjukkan itikad baiknya untuk membatalkan UU Cipta Kerja," ucap Fajar Nugroho, ketua BEM UI 2020.

Fajar juga mengungkapkan bahwa momentum aksi kali ini bertepatan dengan satu tahun masa kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf Amin. Namun, menurutnya satu tahun kepemimpinan yang sudah berjalan justru telah mendelegitimasi hak-hak manusia melalui disahkannya UU kontroversial ini. Ia berharap agar pemerintah dan DPR memiliki itikad baik yang berpihak kepada rakyat.

"Secara momen adalah hari ini satu tahunnya pemerintah Presiden Joko Widodo, maka dari itu, dalam rangka satu tahun ini kita juga menuntut bagaimana itikad baik dari pemerintah dan DPR berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia bagi masyarakat," imbuh Fajar.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hilman Maulana, koordinator aksi UI. Menurutnya, pada demo kali ini massa UI menuntut untuk segera diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk pembatalan UU Cipta Kerja. Massa UI juga telah melakukan persiapan selama 3 hari untuk memobilisasi massa aksi.

Massa buruh dan sebagian mahasiswa berkumpul di depan kampus UI Salemba, lalu long march menuju Tugu Tani dan dilanjutkan ke area Patung Kuda. Namun, petugas keamanan gabungan TNI dan Polri telah menutup beberapa ruas jalan menuju istana, di antaranya adalah Jalan Medan Merdeka Barat.

Sampai di Tugu Tani, massa menggelar panggung rakyat berupa orasi dari perwakilan tiap-tiap serikat dan elemen masyarakat. Inti daripada orasi yang dilakukan perwakilan-perwakilan elemen masyarakat tersebut berupa tuntutan mengenai pencabutan UU Cipta Kerja Omnibus Law dan segera diterbitkannya Perppu.

Selain orasi, tepat di Tugu Tani juga digelar teatrikal dari penyandang disabilitas. Aksi teatrikal ditampilkan dengan totalitas di hadapan para massa aksi dan disertai pembacaan puisi berjudul Negeriku Sedang Terluka. Mereka merasa adanya diskriminasi terhadap orang penyandang disabilitas, yang dibuktikan dengan pengubahan istilah disabilitas menjadi kata ‘cacat’ di salah satu bagian dalam UU Omnibus Law. Padahal, sejak tahun 2011 pemerintah dalam UU No 8 tahun 2016 melakukan konsensus penyebutan penyandang disabilitas. Namun, pada UU Cipta Kerja 5 Oktober 2020 kata cacat kembali dicetuskan. Para penyandang disabilitas merasa dengan adanya penggunaan diksi ‘cacat’, maka pemerintah secara tidak langsung telah mendiskreditkan mereka.

Massa aksi dari golongan mahasiswa juga mengungkapkan perlunya memperjuangkan hak-hak rakyat dengan turut serta melakukan penolakan terkait UU kontroversial. Dengan begitu pemerintah tidak akan bebas membuat peraturan yang berpotensi merugikan masyarakat.

"Karena kalau misalnya kita ngebiarin Omnibus Law ini terjadi, berarti kita udah ngebiarin pemerintah dengan sesuka hati bikin peraturan baru. Jadi merasa dia tidak tidak dipedulikan oleh masyarakat, yaudah kita bikin (aturan -red) baru, baru, baru, jadinya kan buat ke depannya pun bakal jadi seenaknya," ujar Fadil, salah satu massa aksi dari Universitas Indonesia yang bergabung dalam Front Aksi Mahasiswa (FAM).

Disahkannya UU ini juga memberikan rasa resah ke berbagai elemen masyarakat lain, tak terkecuali buruh. Salah satu buruh yang mengikuti demo mengungkapkan kekhawatirannya terhadap anak cucu mereka jika UU ini tidak segera dicabut.

"UU Cipta Kerja kalau tetap disahkan tanpa dicabut itu akan menyengsarakan masa depan kita, anak cucu kita," terang Solikmi, massa buruh yang tergabung dalam Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI).

Aksi ini tidak lepas dari peran para tenaga medis yang memberi pertolongan pertama pada massa aksi. Salah satu organisasi tenaga medis yang tergabung dalam paramedis jalanan di aksi kali ini yakni Indonesia Resilience. Mereka terdiri dari mahasiswa dan masyarakat sipil yang terlatih serta tenaga medis.

Sebelum digelarnya aksi, berbagai persiapan telah mereka lakukan, "Kita briefing, petain lokasi yang bisa dijadiin posko, terus siapin alat-alat medis untuk P3K, ada pertolongan pertama untuk luka-luka biasa kayak kena gas air mata, ataupun peluru karet," ucap Lala, anggota Indonesia Resilience.

Pada aksi kali ini, terdapat perwakilan dari pemerintah berupa staf ahli presiden yang datang untuk mendengarkan tuntutan massa aksi. Penawaran kemudian diberikan agar mahasiswa mengirimkan perwakilan untuk berdiskusi dengan pemerintah. Namun, tawaran ini ditolak dikarenakan massa aksi ingin bertemu secara langsung dengan presiden, dan akhirnya massa aksi mahasiswa mulai meninggalkan lokasi aksi pada pukul 17.00.

Penulis: Rifki Wahyudi, Faizah Diena
Foto: Nada Salsabila
Editor: M. I. Fadhil

Pers Suara Mahasiswa UI 2020
Independen, Lugas dan Berkualitas!