Antiklimaks Perjuangan Revisi Statuta: Aspirasi Mahasiswa Terbentur Kepala Batu Tiga Pejabat Kampus

Redaksi Suara Mahasiswa · 15 Desember 2021
4 menit

Perjuangan mahasiswa Universitas Indonesia untuk menolak Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2021 memasuki babak baru setelah serangkaian demonstrasi mahasiswa membuahkan tercapainya audiensi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Melalui surat undangan tertanggal 11 Desember 2021 yang dilayangkan kepada Rektor, Ketua Dewan Guru Besar, Ketua Majelis Wali Amanat, dan Ketua Senat Akademik Universitas Indonesia, Kementerian meminta kehadiran keempat pejabat kampus makara tersebut untuk menghadiri “Rapat Pembahasan Penyelesaian Permasalahan Statuta Universitas Indonesia” yang sedianya akan dilaksanakan di Gedung Kemendikbud Ristek pada 13 Desember 2021 lalu.

Alih-alih memenuhi panggilan Kementerian terkait, melalui surat pemberitahuan nomor S-1963/UN2.R/OTL/2021 tertanggal 13 Desember 2021, Rektor Universitas Indonesia, Ari Kuncoro, secara tegas menolak untuk menghadiri rapat tersebut. Dalam tujuh butir penolakan yang dijabarkan surat tersebut, Rektor tanpa tedeng aling-aling mengkritik penolakan Revisi Statuta yang selama ini dilakukan lewat prosedur-prosedur di luar pengadilan, dan menganjurkan para penolak Revisi Statuta, termasuk elemen mahasiswa dan Dewan Guru Besar UI, untuk menjalankan mekanisme judicial review apabila berkeberatan menerima PP 75/2021.

Rektor berdalih, dengan kedudukan UI sebagai PTN Berbadan Hukum yang memiliki “otonomi”, integritas dan kedaulatan UI dalam penyelesaian masalah Statuta harus dihormati semua pihak berkepentingan. Lebih-lebih lagi, tambahnya, semua pejabat penyelenggara UI “telah disumpah” untuk “tunduk dan patuh” kepada Statuta baru. Sebagai pamungkas, Rektor menuding intervensi Kementerian dalam penyelesaian masalah Statuta tersebut “kurang tepat”, dengan alasan Majelis Wali Amanat UI telah dan sedang mengerjakan penyelesaian masalah Statuta UI melalui mekanismenya sendiri.

Siapa Untung Siapa Buntung
Tanggapan keras Ari Kuncoro terhadap surat undangan Kementerian dalam rangka penyelesaian permasalahan Statuta UI tentu saja memantik kegemparan di berbagai kalangan, terutama mahasiswa yang selama ini gigih memperjuangkan pembatalan Revisi Statuta UI. Ketua BEM Universitas Indonesia 2021, Leon Alvinda Putra, dalam unggahan di story Instagram pribadinya pada 14 Desember 2021 menyatakan bahwa judicial review merupakan dalih yang sudah klise. “[Judicial Review adalah] narasi yang digunakan penguasa yang tidak mau mendengarkan aspirasi warganya,” tekan Leon dalam unggahan tersebut.

Sementara itu, Prof. Sulistyowati Irianto selaku anggota Dewan Guru Besar UI, organ yang selama ini teguh memperjuangkan Revisi Statuta agar dilakukan bersama-sama. “Itu terjemahan yang sangat keliru atas otonomi kampus! Otonomi itu bukan berarti Rektor mengatur sepihak semuanya, tetapi tata kelola yang profesional, akuntabel, dan transparan sehingga civitas akademika bisa melakukan penelitian, menulis jurnal, dan kegiatan akademik lain,”

Guru Besar Fakultas Hukum tersebut juga menyayangkan tindakan Majelis Wali Amanat yang bukannya menyelesaikan permasalahan, tetapi justru menjadi bagian dari kemelut Revisi Statuta ini. “Mereka [MWA] yang ikut bertanggung jawab atas pengubahan pasal-pasal yang telah disetujui oleh empat organ dalam draft Statuta, tetapi mereka tidak memikirkan dampaknya bagi puluhan ribu mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan lain. Artinya apa? Mereka mengingkari hampir seluruhnya dari sembilan nilai UI, termasuk kejujuran,” tegas Prof. Sulistyowati.

Senada dengan Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Prof. Manneke Budiman, menekankan siapa yang sesungguhnya berwenang meninjau ulang Revisi Statuta. “Rektor bersikeras mau tetap laksanakan dan buat aturan-aturan turunan. Rektor dan MWA mau lakukan review sendiri. Mereka kira “executive” di situ artinya Rektor. Ini bodoh sekali. Yang teken PP [adalah] Presiden, maka yang bisa [melakukan] review, ya, Presiden,” ungkap Prof. Manneke dengan nada geram ketika diwawancara Suara Mahasiswa UI. Ia bahkan telah mencurigai adanya niat tidak baik dari pihak-pihak yang memaksakan kehendak atas Revisi Statuta ini. “Makin kental terlihat agenda politisnya. Logika dan nurani tidak dipakai lagi, cuma syahwat kekuasaan yang sekarang bicara,” pungkas Prof. Manneke pula.

Gambaran kekecewaan otoritas mahasiswa dan perwakilan Dewan Guru Besar tersebut tentu saja masuk akal, karena Statuta baru yang menguntungkan segelintir pihak dan merugikan banyak orang lainnya selama ini telah diserukan untuk dicabut dan dikembalikan ke PP 68/2013 yang jauh lebih berkeadilan dan proporsional. Pemberitaan Suara Mahasiswa UI sepanjang tujuh bulan terakhir pun telah memperlihatkan konsistensi dan kebulatan tekad mahasiswa UI untuk menolak tunduk pada pengesahan sepihak, dilakukan secara tiba-tiba, dan tidak melalui uji publik yang transparan dan demokratis. Lebih-lebih lagi, babak baru ini turut mempertegas watak antikritik dan kepala batu yang diperlihatkan pejabat-pejabat kampus, terutama Ari Kuncoro dan  Saleh Husin selaku Ketua Majelis Wali Amanat UI.

Revisi Statuta ini di penghujung Mei 2021 lalu tidak bisa dilupakan. Kala itu, setelah kedudukannya sebagai Komisaris salah satu bank pemerintah terbongkar dan menjadi persoalan publik, Revisi Statuta yang tiba-tiba bergulir dengan cepat seakan berfungsi “melegitimasi” kedudukan Ari Kuncoro yang dalam praktik sejatinya telah menyeleweng dari PP 68/2013.

Kini, kendati Ari telah melepaskan jabatannya sebagai komisaris, Statuta baru yang diteken oleh Presiden Joko Widodo tetap diberlakukan dan mengancam independensi UI sendiri, antara lain dengan frasa tendensius bahwa pejabat kampus harus “....memiliki hubungan baik dengan pemerintah”. Dengan demikian, Revisi Statuta pun terang-terangan berusaha mengebiri kebebasan akademik untuk diletakkan di bawah pengawasan kepanjangan tangan pemerintah - yang tak ubahnya menikam jantung sebuah universitas sebagai komunitas intelektual.

Patutlah publik sekarang bertanya-tanya, siapa yang sesungguhnya diuntungkan dengan pengesahan sepihak revisi Statuta ini dan mengapa klik Rektor Ari Kuncoro, dan Saleh Husin dengan MWA-nya memilih jalan terus dan begitu getol menolak pembatalan PP 75/2021? Apalagi dipertahankan dengan akrobat dalih yang berputar-putar, padahal fakta di atas cukup menunjukkan bahwa produk hukum ini lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat, terutama bagi mahasiswa UI. Misalnya, dalam PP 68/2013, UI  diwajibkan mengalokasikan  bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa berprestasi, tetapi tidak mampu secara finansial.  Namun, dalam Statuta hasil revisi yang dibela mati-matian oleh segelintir pejabat kampus, kewajiban itu justru malah dihilangkan.

Harus Lebih Menggigit
Watak kepala batu para pejabat kampus yang dinyatakan dengan arogansi penolakan melalui surat Rektor tentunya tidak bisa serta-merta memadamkan perjuangan mahasiswa dan guru besar UI yang terbukti masih berpikiran waras dan karenanya menyatakan penolakan terhadap Revisi Statuta UI. Tentu saja kita harus ikut cemas, apabila Kementerian saja bisa ditampar dengan arogansi demikian, apalagi mahasiswa dan civitas akademika lain di kemudian hari?

Produk hukum yang terang-terangan memperkuat dan memberikan kewenangan lebih kepada Rektor tidak bisa diterima begitu saja, sebab kuatnya kedudukan tersebut berpotensi menimbulkan celah penyalahgunaan kekuasaan di kemudian hari. Betapapun seorang Rektor itu benar-benar hanya mengemban amanah selurus-lurusnya, terdapat adagium Lord Acton hendaknya jangan sampai kita lupakan: “Kekuasaan itu cenderung bersalah guna, tetapi kekuasaan mutlak dipastikan bersalah guna!”

Tidak ada yang lebih diharapkan mahasiswa UI dalam mengusahakan pembatalan Revisi Statuta ini, selain perjuangan yang lebih menggigit, lebih frontal, dan dengan demikian tidak hanya berusaha memecahkan masalah Statuta, tetapi juga memecahkan kepala batu para pejabat kampus. Bukan hanya perjuangan diplomatis yang harus dilaksanakan MWA Unsur Mahasiswa terpilih, melainkan juga BEM baru di bawah kepemimpinan Bayu dan Arinny di tahun 2022, diharapkan bersenyawa dengan Taqyuddin sebagai MWA UM dalam mengeskalasi pembatalan Revisi Statuta ini dengan cara-cara yang lebih keras daripada sebelum-sebelumnya.

Teks: Chris Wibisana dan Mohammad Qhisyam Ramadhan
Kontributor: Syifa Nadia
Foto: Istimewa
Editor: Faizah Diena

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, Berkualitas!