Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage: Semua Elemen Berlabel “Murakami”

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 Maret 2020
3 menit

By Rahmania Nerva

Judul: Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage
Pengarang: Haruki Murakami
Jumlah Halaman: 386 (AS)
Penerbit: Alfred A. Knopf
Tahun terbit: 2014 (terjemahan Inggris)

“Each individual has their own unique color, which shines faintly around the contours of their body. Like a halo. Or a backlight. I’m able to see those colors clearly”. Penggalan kutipan tersebut mewakili wajah dari novel Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage. Tokoh-tokoh penuh warna dan keutuhan setiap individu sebagai manusia yang hidup. Tentu saja semuanya metafora belaka. Namun, dalam fiksi Murakami, metafora adalah kenyataan.

Ketika membaca novel ini, bagi yang sudah familiar dengan gaya penulisannya akan merasa kalau ini sangat Murakami, karena hal yang sama sering terjadi di setiap novelnya. Mulai dari tokoh utama yang terasing dari dunianya, jiwa yang menyelip keluar dari tubuh, seksualitas, seseorang yang menghilang pada suatu titik di kehidupan, ataupun percakapan telepon di malam hari. Dalam novel ini, Murakami bermain kembali dengan elemen-elemen yang lekat dengan karya-karya sebelumnya, yang mana membuat Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage familier, setidaknya cukup familiar untuk memahami gaya penulisan Murakami secara keseluruhan. Hal ini yang membedakan Murakami dari penulis lain dan genre baru yang hanya dimiliki olehnya seorang.

Di sisi lain, Haruki Murakami hanya bekerja di lingkup yang sudah ia ciptakan sendiri. Familiarisasi antar karya-karyanya hanya akan berulang dan berujung tumpul. Pembaca setia Murakami mungkin bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Kendati begitu, setiap elemen khas ala Murakami ini tetap ditulis dengan brilian. Dalam novel Colorless Tsukuru Tazaki and his Years of Pilgrimage, elemen-elemen tersebut mampu berkomplementer dengan misteri dalam plotnya secara epik.

Novel ini bercerita tentang Tsukuru, si tokoh utama yang sudah tidak ingin hidup lagi. Seperti berjalan dalam tidur, ia hidup di dunia tanpa menyadarinya. Hasratnya akan kematian muncul ketika keempat sahabatnya memutuskan hubungan dengannya–meninggalkan Tsukuru dalam kehampaan dan luka mendalam–tanpa memberitahu alasan apa pun. Hingga enam belas tahun berlalu, hal tersebut masih menjadi misteri baginya.

Keempat sahabatnya itu kebetulan memiliki unsur warna pada namanya masing-masing, yakni Aka (merah), Ao (biru), Shiro (putih), dan Kuro (hitam). Mereka menyisakan Tsukuru yang sendirian tanpa warna dan melihat dirinya sendiri sebagai suatu kekosongan.

Tsukuru kembali menelusuri masa-masa depresinya pada masa kuliah, yang mana ia juga bertemu dengan Haida (abu-abu), satu-satunya hubungan pertemanan yang berhasil ia jalin setelah keempat sahabat lamanya. Ketika hidupnya sudah kembali normal, ia bertemu dengan Sara. Keduanya menyadari bahwa ketika sahabatnya meninggalkannya memberikan pengaruh psikologis pada diri Tsukuru. Akhirnya Sara memutuskan untuk membantu Tsukuru mencari tahu penyebab sahabat masa SMA-nya meninggalkannya. Pencarian inilah yang membawa Tsukuru hingga ke Finlandia demi jawaban atas misteri yang tidak pernah ia coba pecahkan sebelumnya.

Soal plot dalam Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage, merupakan hal yang patut diapresiasi. Novel ini merupakan salah satu karya Murakami yang ringan untuk dibaca. Tidak ada adegan surealis yang kelewat “ajaib”. Alurnya realistis dan mengejar klimaks. Bonus, perjalanan Tsukuru dalam mengupas jawaban atas titik balik kehidupannya memberikan suasana suspense setiap kali ia bertemu dengan sahabat lamanya dan kebenaran baru terungkap. Hal ini cukup jarang ditemukan pada novel Murakami yang kebanyakan memiliki alur konstan. Karena alasan ini pula, novel ini bagus untuk dibaca oleh siapa pun yang ingin mulai memasuki dunia Haruki Murakami.

Sebagai karyanya yang terbilang masih muda, Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage (2013) bagai upgrade karya Murakami yang paling baik. Seperti fusi dari kedua novel pendahulunya, Norwegian Wood (1987) dan Sputnik Sweetheart (1999), novel ini tidak hanya menceritakan tentang realita kehidupan, tetapi juga dipenuhi metafora magis realis yang dominan. Perjalanan Tsukuru Tazaki akan membawa pembaca melayang di atas tirai tipis pembatas antara mimpi dan kenyataan. Lewat novel ini kita diajak berkontemplasi mengenai moral dan penemuan jati diri masing-masing. Sekali lagi, Murakami tampaknya berhasil membuat cerita yang berkesan tanpa meninggalkan ciri khasnya sendiri.

Teks: Rahmania Nerva (kontributor)
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2020
Independen, Lugas, dan Berkualitas