Mari Cerita Papua: Framing Media Terhadap Papua

Redaksi Suara Mahasiswa · 15 Maret 2020
2 menit

By Giovanni Alvita

Papua tidak pernah lepas dari sorotan media. Beragam pemberitaan seringkali bermunculan terutama mengenai konflik di tanah Papua. Dari pemberitaan inilah banyak masyarakat memiliki persepsi yang buruk mengenai Papua. Oleh karena itu, Mari Cerita (MaCe) Papua dan yayasan EcoNusa ingin mengubah stigma negatif tersebut melalui diskusi interaktif. Membawa tema “Ragam Karya Anak Papua di Indonesia”, diskusi ini berlangsung pada tanggal 27 Februari 2020 di Auditorium Pusat Kegiatan Mahasiswa (pusgiwa) Universitas Indonesia.

Diskusi pada hari itu (27/02) menghadirkan beberapa pembicara yaitu Ronald Manoach (Komisioner Bawaslu Papua), Jean Richard Jokhu (Dosen President University dan doktor asli Papua termuda di UI) dan Nanny Uswanas (Direktur Institut Kalaway Muda). Ketiganya memiliki pandangan masing - masing terhadap Papua terutama mengenai framing media terhadap keadaan di Papua.

Nanny Uswanas mengatakan bahwa selama ini media terlalu mengekspos Papua dengan narasi yang negatif seperti perilaku kasar dan demonstrasi. Pada kenyataannya Papua tidak seperti itu.

“Saya tuh resah sekali, narasi yang dibuat buruk, Papua yang dilihat hanya yang demonstrasi kemudian baku pukul (baca: ricuh) kalau bahasa orang Papua, bahasa kami kemudian yang kasar-kasar padahal sebenarnya kita juga punya wajah (baca: sisi) lain”

Nanny mengungkapkan bahwa pluralisme di Papua tidak membuat masyarakat menjadi tidak bertoleransi antara satu dengan yang lain. Ia memberi contoh tempat kelahirannya yaitu Kabupaten Fakfak, Papua Barat di mana mayoritas penduduk di daerah tersebut beragama Islam. Namun, Setiap tanggal 5 Februari tetap memperingati sebagai Hari Damai yang mana pada tanggal tersebut Injil masuk di tanah Papua.

Nanny bercerita bahwa di Papua sendiri terdapat 7 wilayah adat dengan tipologi wilayah kepemimpinan tradisional yang berbeda dan kurang lebih terdapat 400 suku di Papua. Kondisi Papua yang sangat multikulturalisme ini mendorong Nanny untuk membentuk Kalaway Institut yang berfokus pada pendidikan toleransi dan keberagaman untuk menjaga nilai-nilai budaya.di Papua. “Bicara soal keberagaman mengenai multikulturalisme, di Papua itu sudah sangat ada. Jadi, wajah ini yang ingin ditonjolkan di Indonesia bahwa Papua tidak seperti yang kalian lihat,” Ungkapnya.

Dengan itu, Nanny berharap media dapat memberi narasi yang positif kepada masyarakat Indonesia mengenai Papua. Ia juga menghimbau agar masyarakat memandang Papua dengan utuh, tidak hanya secara parsial. Sebab, banyak hal-hal positif yang dapat disorot dari Papua bukan hanya mengenai toleransi dan keberagamannya namun juga prestasi-prestasi anak-anak Papua saat ini. Maka dari itu informasi yang disajikan media harus berimbang.

Ia juga berharap agar anak muda papua dapat bersama-sama membangun Papua. Menurutnya akan lebih mudah jika anak-anak muda Papua bersinergi dalam membangun tanah kelahirannya.

Teks: Giovanni Alvita
Foto: Giovanni Alvita
Editor: Faizah Diena H.

Pers Suara Mahasiswa UI 2020
Independen, Lugas, dan Berkualitas!