Nasib Pedagang Kantin Kala Lockdown Kampus

Redaksi Suara Mahasiswa · 18 April 2020
5 menit

By Nada Salsabila

Universitas Indonesia mendadak hening. Gedung-gedung fakultas yang biasanya ramai dipadati mahasiswa tiba-tiba terasa longgar, pun dengan bikun-bikun yang tidak terisi sepenuh biasanya. Hal tersebut tidak lain disebabkan oleh dikeluarkannya Surat Edaran tentang Kewaspadaan dan Pencegahan Penyebaran Infeksi Covid-19 di Lingkungan Universitas Indonesia yang dikeluarkan oleh Dirmawa UI pada 13 Maret 2020.  Serentak, semua mahasiswa dan dosen kebingungan, memikirkan nasib kuliah yang harus dilakukan dengan sistem Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) terhitung sejak 18 Maret 2020. Atau memikirkan tentang biaya sewa kamar kost yang terasa sia-sia. Di tengah hiruk pikuk sivitas akademika yang berbondong-bondong meninggalkan Depok guna menghindari wabah Corona, kita lupa memikirkan nasib pedagang kantin yang terancam kehilangan pemasukan—atau mengalami penurunan pemasukan secara drastis—selama ‘lockdown’ dilakukan.

Polemik penyampaian informasi dan pembayaran sewa
Pada Selasa (17/3), sehari sebelum kampus resmi dikosongkan, bangku-bangku Kantin Sastra (Kansas) FIB terlihat lengang. Bangku-bangku yang kosong itu diisi oleh kucing-kucing untuk tidur siang. Pun tak ada penumpukan pelanggan di konter-konter pedagang seperti biasa. Di belakang bangunan Kansas, para pedagang berkumpul, saling mendiskusikan pertimbangan mereka: apakah harus tetap membuka konter atau menutup konter masing-masing.

Ibu Ronny, seorang pedagang di Kansas, menyatakan kesediannya menerima penutupan kegiatan pembelajaran di kampus dengan lapang dada. Menurutnya, hal ini adalah langkah terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan virus Corona, meskipun ia sendiri merasa keberatan. “Ditutup sementara karena ada Covid-19, nah ya kalau maksudnya itu untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona atau Covid-19 itu terbaik, tapi apa ya, kita kan hidup mesti berjalan,” ujarnya.

Pedagang ayam goreng tersebut turut menambahkan bahwa ia tidak akan berpergian keluar kota untuk sementara waktu. Hal tersebut ia lakukan guna menghindari kemungkinan ia membawa virus ke tempat lain. Selama PJJ dilangsungkan, ia berencana tetap berjualan di Kansas selama seminggu, sembari beruji coba. Jika pemasukannya tidak menutup modal, maka ia akan meliburkan diri.

Tak seperti kebanyakan sivitas akademika yang mendapatkan informasi penutupan kampus dengan cepat, para pedagang kantin yang tim Suara Mahasiswa wawancarai tidak memiliki akses informasi tersebut. Bahkan, beberapa dari mereka mengetahui isu penutupan kampus dari mahasiswa atau berita televisi, bukan dari manajemen kantin fakultas. Hal tersebut disampaikan oleh Hasan, seorang pedagang di Kantin Teknik (Kantek). “Secara langsung sih gak ada, cuma saya hanya dapat informasi. Pertama memang dari TV, kemudian memang di sini gak ada (sosialisasi—red) secara langsung,” ujarnya.

Hasan juga menyatakan keberatannya terhadap kebijakan pelaksanaan PJJ. Menurut pedagang yang telah membuka usaha di Kantek sejak tahun 1987 tersebut, kebijakan tersebut memberatkan dirinya dan pedagang lainnya. “Ya memang kita juga mengerti dengan keadaannya seperti sekarang ini, tapi ya mau gimana lagi. Kalau dibilang keberatan, ya keberatan sih sebetulnya,” ucap pria paruh baya itu.

Jawaban senada juga diutarakan oleh Suki, pedagang mie ayam di Kantek. Ia juga keberatan dengan durasi PJJ yang dinilai terlalu lama. “Libur sebulan aja Ibu mikirin, apalagi sekarang denger-denger enam bulan. Makan apa, dan bagaimana, jadinya ga tau, gitu,” katanya.

Kebingungannya diperparah oleh pemberitahuan resmi dari fakultas yang simpang siur. Menurut Suki, hingga wawancara dilakukan (17/3), pihak Kantek belum menyampaikan pemberitahuan apapun, alih-alih malah menagih biaya sewa bulanan. Biasanya, sebelum memungut sewa, pihak Kantek memberikan surat edaran terlebih dahulu guna menyampaikan tenggat terakhir pembayaran. Namun, tempo hari pihak Kantek tidak memberi edaran, mereka hanya mengirimkan nomor rekening lewat WhatsApp untuk membayar. Biaya sewa yang belum ditagih dari bulan Januari—dan tiba-tiba diminta dilunasi pada saat-saat sulit seperti ini—membuat Suki semakin kalut. “(Biaya sewa konter—red) harus dibayar kontan. Kalau bisa, mohon, jangan bayar sekarang-sekarang ini. Bukanya kita gak mau dagang di sini, (tapi—red) gak semua orang kaya,” tambahnya.

Keberatan mengenai biaya sewa juga disampaikan oleh Puji. Puji merupakan salah satu pedagang senior di Kantin Asrama UI. Seperti kebanyakan pedagang lainnya, ia berjualan makanan ala warteg. Menurut penuturannya, pihak Kantin Asrama UI belum memberi tahu apapun mengenai kebijakan PJJ. Penghuni asrama yang disarankan kembali ke rumah orang tua atau keluarga masing-masing tentunya membuat asrama menjadi sepi. Pendapatan pun otomatis menurun. Hal tersebut sangat berpengaruh baginya karena pendapatan yang ia terima bersifat harian. “Makanya itu kalo orang (dengan usaha—red) gede mungkin ya, mau libur berapa tahun bisa aja, nah kalo kita orang kecil? Pendapatan kan juga darimana, dari sini-sini juga,” ujarnya.

Ia juga mengeluhkan mengenai uang sewa konternya. Biaya yang ia gelontorkan untuk menyewa konter di Kantin Asrama tidaklah kecil, jumlahnya sekitar 30 juta per tahun, belum ditambah pengeluaran listrik per bulan yang harus ia tanggung sendiri. Pendapatan hariannya pun masih harus dikurangi modal berjualan. Oleh karena itu, ia mengharapkan keringanan biaya sewa konter dari pihak Kantin Asrama UI.

Berbeda dengan pedagang kantin lainnya, Bu Ronny dan pedagang-pedagang Kansas menerima informasi penutupan kampus dari grup WhatsApp. Pihak Kansas memberitahukan informasi tersebut secara daring kemudian membuka rapat bersama seluruh jajaran kantin, sekaligus membagikan surat edaran resmi. Sehingga, para pedagang di Kansas mendapat sosialisasi yang jauh lebih baik dibanding pedagang kantin lainnya yang kami wawancarai. Selain itu, pedagang Kansas juga diberikan pilihan mengenai uang sewa. Apabila mereka memilih untuk tidak berjualan, maka mereka dibebaskan membayar uang sewa selama tiga bulan. Namun bila mereka tetap memilih berjualan, mereka harus tetap membayar sewa seperti biasa.

Rencana selama lima bulan ke depan
Kami turut mewawancarai Aldi, yang berdagang di Kantin Dallas, FMIPA. Sama seperti pedagang lainnya, ia juga mengetahui rencana penutupan kegiatan pembelajaran di kampus dari mahasiswa, bukan dari pihak kantin. Dengan pasrah, ia berkata bahwa ia belum punya rencana untuk menghadapi hal tersebut. Tidak ada kejelasan dari pihak fakultas, termasuk soal kompensasi biaya sewa, juga membuatnya bertambah bingung.

Ketika ditanya mengenai rencana untuk berjualan di tempat lain, ia terlihat ragu. Di kepalanya tidak ada opsi untuk membuka dagangannya selain di Dallas karena banyaknya pertimbangan. Sehingga satu-satunya hal yang dapat ia pikirkan adalah kembali ke kampung halamannya hingga kegiatan perkuliahan berjalan normal kembali. “Kayanya engga deh, Mba, (lebih baik—red) balik deh. Balik kampung sih. Paling (bekerja—red) di sawah, ya kan? Di kebun. Apa lagi?” ujarnya pasrah.

Dengan dihentikannya kegiatan perkuliahan di kampus, Asrama UI akan menjadi sangat sepi karena kebanyakan penghuninya memilih pulang ke kampung halaman masing-masing. Puji tentu saja merasa resah. Ia tidak tahu lagi darimana ia dapat memperoleh pemasukan selain dari konternya di Kantin Asrama UI. Mengenai pilihan untuk membuka konter makanan di tempat lain, ia mengaku ragu. Pasalnya, di situasi ini, semua tempat menjadi sepi. Ia juga tidak memiliki cukup modal untuk menyewa tempat lain.

Pada hari Rabu (18/3), Puji bersama pedagang Kantin Asrama lainnya harus mengosongkan konter. Hal tersebut dilakukan karena Kantin Asrama akan disterilkan guna melancarkan proses disinfektanisasi. Seluruh bahan-bahan dan peralatan kerjanya harus diungsikan secepatnya. Kini, di mana ia harus menempatkan isi konternya sementara turut menambah beban pikirannya.

Bertahan di Situasi yang Sulit
Salah satu hal yang perlu diingat dari kebijakan penghentian perkuliahan tatap muka ini adalah kampus bukanlah soal pembelajaran dosen dan mahasiswa semata. Terdapat kehidupan lain di kampus yang harus dipikirkan, suara-suara yang harus didengarkan. Para pedagang kantin, sebagai golongan yang kerap terlupakan dalam pengambilan keputusan, juga mendapat dampak yang sangat besar. Ada keadaan yang lebih rumit bagi mereka: cicilan yang harus dibayar, biaya sewa yang besar, modal yang harus diputar, serta mulut-mulut yang harus diberi makan. Universitas sebagai lembaga intelektual tidak dapat mengesampingkan keberadaan mereka meski mereka tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan pembelajaran.

Bagi Aldi, pengambilan keputusan seperti ini sangat memberatkannya. Pemasukannya berhenti, sementara ia tidak punya cabang bisnis lain. Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, satu-satunya pilihan yang ia punya adalah pulang kampung dan menggarap sawah serta kebun. Ia tidak bisa berjualan di tempat lain karena terbentur modal.

Hal serupa juga diutarakan oleh Suki. Perempuan yang sudah berjualan di Kantek lebih dari 30 tahun itu mengharapkan kepedulian dari universitas. Ia juga mengharapkan adanya solusi terkait masalah ini, seperti pengurangan biaya sewa atau pemberian pinjaman. “Jangan sampai main seenaknya, blong, diliburkan. Pikirkan ini yang di kantin itu gak semuanya kaya. Gak semuanya orang punya rumah. Gak semuanya orang punya cabangan (usaha—red). Kalau punya cabangan dagangan mending. Dari sini gak dagang, bisa lempar ke mana (berdagangnya—red), lompat, lari ke mana. Ya kalau yang cuma punya di sini, modal kaga punya, mana-mana ga punya. Anak ibu lapar dong,” pungkasnya.



Teks: Nada Salsabila
Kontributor: M.I. Fadhil, Fila Kamilah, Rifki Wahyudi
Foto: M.I. Fadhil
Editor: Faizah Diena Hanifa