Opini: Merebut Kembali Kebudayaan

Redaksi Suara Mahasiswa · 8 Februari 2024
10 menit

Pengantar

Kemarin, 4 Februari 2023, adalah sesi debat terakhir untuk calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih tanggal 14 Februari nanti. Debat kemarin, jika boleh berpendapat, cukup membosankan. Tidak banyak uji argumentasi oleh para calon yang berdebat. Tidak banyak pula argumen yang menyegarkan—kebanyakan hanyalah argumen daur ulang; daur ulang ihwal-ihwal yang acap kita dengarkan, baik sadar atau tidak.

Mungkin memang karena topik debat kemarin terlalu “tebal” dalam artian, topik kompleks disatukan dalam satu sesi sehingga sulit bagi para calon untuk dapat mengeluarkan argumennya secara utuh. Namun, tulisan ini bukanlah untuk mengomentari betapa “garing”-nya debat kemarin. Tulisan ini ingin membahas salah satu topik yang disentuh, yakni kebudayaan.

Kebudayaan, dalam debat kemarin, menjadi topik tersendiri. Pertanyaan yang disampaikan adalah perihal komersialisasi budaya dan bagaimana strategi para calon presiden dalam menyikapi atau menanggapi fenomena tersebut. Calon 01 menjawab dengan rencana membentuk Kementerian Kebudayaan, calon 02 menjawab dengan dana abadi budayawan, dan calon 03 menjawab dengan kebebasan berekspresi bagi para pelaku budaya.

Bagi ketiga calon, cara-cara ini akan melawan fenomena komersialisasi budaya dan proses destruktif yang mengikutinya—setidaknya begitu anggapan yang tertanam dalam pertanyaan panelis terkait kebudayaan. Asumsi dasar jawaban ketiga calon ialah, budaya perlu dibebaskan—pemerintah tidak perlu ikut campur. Jika budaya dibebaskan, karakter bangsa akan menguat karena kebebasan berekspresi kebudayaan akan menjadi alat pengawas pemerintah secara tidak langsung

Tidak ada yang aneh secara sekilas dengan jawaban-jawaban ini. Siapa yang tidak suka dengan kebebasan berekspresi? Siapa yang tidak ingin dengan mengekspresikan kebudayaan mereka? Namun, apakah betul budaya adalah hal yang demikian? Apakah betul budaya adalah hal yang diekspresikan? Apakah budaya itu adalah seni, mengingat salah satu calon sempat menyinggung Taman Ismail Marzuki (TIM) dan bagaimana pagelaran seni seharusnya dibuka seluas-luasnya? Mungkin iya, mungkin benar budaya adalah perihal eksotis yang dapat dipertontonkan dan menunjukkan keunikan suatu kelompok.

Akan tetapi, cobalah berbincang dengan teman Anda, mungkin teman kantor, atau teman satu kuliah. Tanyakan, “apa kebudayaan kamu?” Kemungkinan besar, mereka akan menjawab budaya yang mereka miliki dari latar belakang suku mereka. Jika mereka adalah orang Minang, misalnya, mungkin mereka akan menjawab rendang, tari piring, dan sebagainya. Namun, coba tanyakan lagi, “apakah kamu merasa sebagai orang Minang?” Kira-kira, apa reaksi mereka?

Jika teman Anda memang tumbuh besar di Sumatra Barat dan berasal dari suku Minang, kemungkinan besar mereka akan menjawab “iya, saya merasa sebagai orang Minang.” Namun, tidak semua orang merasa sebagai orang Minang, meskipun mereka memiliki darah Minang, atau tumbuh besar di lingkungan yang bernuansa Minang.

Abu-Lughdod menulis perihal ini; bahwa orang-orang yang tumbuh besar di “persimpangan” sosial, seperti para migran bahkan perempuan, tidak merasa menjadi bagian dari kelompoknya. Menurutnya, orang migran atau keturunan migran, sulit memiliki rasa “bangga” atas kelompoknya karena mereka “terbelah” antara dua kelompok; kelompok asal mereka datang dan kelompok di mana mereka hidup sekarang. Begitu pula dengan perempuan dengan “budaya perempuan” yang membuat banyak perempuan justru tidak merasa menjadi bagian kelompok mana pun.

Ihwal serupa juga pernah ditulis oleh Edward Said dalam buku paling terkenalnya, yakni Orientalism. Banyak kelompok-kelompok, di Timur Tengah terutama yang menjadi fokus beliau, yang merasa tidak menjadi bagian dari budaya Timur Tengah yang identik dengan, misal, suara musik bermoda phrygian. Tidak perlu jauh-jauh sebetulnya dan tidak perlu repot-repot membaca tulisan-tulisan akademisi ini yang kompleks.

Cukup bermain di wilayah urban dan tanyakan 2 pertanyaan yang sama seperti ditulis di atas, kemungkinan besar mereka akan bingung menjawab apa. Apakah orang-orang ini, dengan demikian, tidak memiliki budaya? Apakah mereka tidak memiliki sesuatu yang dapat diekspresikan? Apakah mereka adalah orang-orang yang acap disebut sebagai “without history”? Apakah asumsi bahwa budaya adalah hal eksotis yang menunjukkan keunikan suatu kelompok sudah benar?

Budaya, Ekostisme, dan Ideologi

Said menuliskan bahwa memandang budaya sebagai perihal yang eksotis—dalam pengertian, memandang budaya sebagai hal-hal yang unik dan terpisah dari kehidupan sehari-hari—adalah cara pandang kolonial dalam melihat masyarakat non-Barat. Menurutnya, memandang budaya secara demikian adalah upaya membangun suatu representasi atas masyarakat non-Barat, tanpa andil dari masyarakat itu sendiri. Alhasil, secara tidak langsung, yang terjadi adalah esensialisasi masyarakat non-Barat oleh para kolonialis.

Argumen Said mengenai ini memanglah kompleks, tetapi ada satu hal yang ingin saya kedepankan dalam tulisan ini; bahwa budaya adalah alat subjektivikasi. Artinya adalah, dengan merepresentasikan suatu kelompok dengan cara tertentu, ia mendefinisikan siapa dan apa kelompok tersebut, dan—implikasinya—mengapa suatu kelompok pantas untuk didominasi dalam konteks kolonialisme.

Meskipun Said menulis dalam konteks kolonialisme—dan idenya masih dipakai sampai sekarang untuk membahas neokolonialisme—idenya dapat kita abstraksikan lebih jauh untuk membahas budaya. Secara tidak langsung, Said sedang mengatakan bahwa budaya adalah bentuk ideologi; bahwa kondisi material suatu formasi sosial membutuhkan elemen ide untuk mempertahankan dirinya. Meminjam istilah yang pernah digunakan Gramsci, budaya adalah hegemoni—suatu mekanisme “mencuri” konsen masyarakat atas tatanan formasi sosial yang ada

Althusser lebih jauh menulis bahwa institusi-institusi negara adalah “aktor” yang berperan mempertahankan bentuk kontrol ini. Melalui institusi seperti sekolah, kementerian pendidikan, atau (mungkin saja) kementerian kebudayaan, institusi-institusi ini akan memperkuat tatanan formasi sosial yang ada. Alhasil, jika para calon ingin memberi ruang untuk para budayawan atau praktisi budaya, apa yang sebetulnya mereka sedang utarakan? Secara tidak langsung, memberi ruang untuk praktik budaya adalah untuk memberi ruang penguatan subjektivikasi.

Sharma dan Gupta menyebutnya sebagai reifikasi negara; upaya untuk membuat tatanan negara menjadi lumrah melalui pembangunan-pembangunan “karakter bangsa.” Memberi ruang untuk budaya tanpa campur tangan negara, alhasil, sejatinya adalah bagaimana negara menyembunyikan dirinya dalam mengontrol masyarakat. Itulah mengapa penting bagi negara, atau negarawan, dalam membicarakan budaya dalam kerangka yang eksotis.

Itulah yang memberikan “warna keunikan” Indonesia sehingga memperkuat tatanan negara sebagai hegemon. Menjaga budaya dan memberi ruang pada praktisi budaya yang eksotis dan bersifat “menyeni” (tanpa bermaksud merendahkan seni itu sendiri) menjadi elemen penting; itulah yang akan memberikan Indonesia nama-nama atau prestasi-prestasi “internasional” dalam tatanan politik dunia.

Mengapa Luhut, misal, menyayangkan masyarakat Batak tidak lagi mempraktikkan budaya Batak? Karena Danau Toba yang menyemat UNESCO Global Geopark, perihal yang menjadi “kesempatan” untuk masyarakat Batak menghidupkan kembali budayanya tidak lain dan tidak bukan untuk keperluan turisme. Atau, upaya preservasi peninggalan kultural arkeologis, seperti Gunung Padang, yang terkenal karena sentimen nasionalismenya; bahwa budaya adalah untuk memperkuat imaji negara, baik di masyarakat negara itu sendiri, atau di kancah global.

Alhasil, menghadirkan kementerian kebudayaan, menganggap bahwa budaya adalah karakteristik penting suatu bangsa, atau memajukan budaya untuk memajukan bangsa pada dasarnya adalah sama; menghadirkan imaji negara secara terus-menerus. Meskipun para calon memiliki ide yang berbeda-beda terkait kebudayaan, mereka semua diikat oleh asumsi yang sama: budaya adalah suatu perihal yang eksotis; suatu representasi esensi luhur suatu bangsa; suatu tradisi turun-temurun yang digunakan untuk kepentingan modern. Singkatnya, budaya adalah milik negara; budaya didiktekan oleh negara; esensi suatu masyarakat adalah apa yang negara inginkan, terlepas siapa yang memegang kekuasaan negara.

Menghidupkan Kembali Budaya

Namun, melihat budaya sebagai murni bentuk kontrol sosial yang ideasional juga bukan tanpa masalah. Masalah utamanya ialah suatu kelompok masyarakat dilihat seperti tidak memiliki otentisitas dalam kehidupannya—bahwa semuanya adalah “efek” dari kondisi material (atau mode produksi) suatu masyarakat.

Meminjam istilah Marxian, budaya hanyalah superstruktur dari infrastruktur. Melihat budaya seperti ini tidak ada bedanya dengan cara pandang kolonialis yang merasa dirinya sudah “melebihi” atau “transcending” budaya, hanya saja bentuknya berbeda; bahwa mereka yang progresif dan revolusioner adalah orang-orang nir-budaya. Inilah yang disebut Ortner sebagai “penipisan” budaya; bahwa budaya hanyalah sekadar efek, alih-alih suatu bentuk pengetahuan yang otentik. Namun, mengatakan bahwa budaya “ditipiskan” juga tidak menyelesaikan apa-apa. Oleh karena itu, saya pikir penting untuk kembali ke pertanyaan mendasar diskusi ini: apa itu budaya?

Budaya adalah objek yang sulit untuk didefinisikan. Pada tahun 1950-an, antropolog menemukan bahwa ada lebih dari 150 definisi budaya yang sulit untuk disintesiskan menjadi satu kerangka yang koheren. Meskipun demikian, ada satu hal yang sekiranya menyatukan seluruh definisi budaya; ia adalah bentuk pengetahuan—kemampuan manusia untuk bermain dan memanipulasi simbol dan metafora. Namun, penting untuk memahami bahwa pengetahuan kultural suatu kelompok masyarakat bersifat situasional—ia lahir dalam suatu interaksi dengan kelompok lain; suatu schismogenesis atau upaya untuk memisahkan diri dari kelompok lain.

Selain situasional, alhasil, ia juga relasional; bergantung pada situasi apa dan dengan siapa suatu budaya itu lahir. Oleh karena itu, budaya adalah ihwal yang hidup; ia berubah terus-menerus dalam waktu karena kelompok manusia selalu mengalami perubahan situasi. Memang, perubahan-perubahan ini memiliki levelnya sendiri; ada yang sangat sulit untuk diubah—hal yang acap disebut sebagai longue durée—ada elemen budaya yang mudah untuk berubah. Jika ditulis lebih tepat, budaya selalu mengalami transformasi (bukan murni perubahan). Alhasil, budaya adalah bentuk pengetahuan otentik yang dimiliki masyarakat yang lahir dalam situasi tertentu—ia adalah respons atas apa yang terjadi.

Budaya yang didiktekan oleh negara dapat direspons dengan cara yang berbeda; direspons dengan budaya lain. Geger Riyanto menjelaskan perihal ini dalam risetnya di Indonesia timur. Meneliti di Maluku—di Seram lebih tepatnya, ia menemukan bahwa masyarakat yang ditelitinya memiliki mitos yang saling membantah satu sama lain. Hal ini dilakukan, menurut Riyanto, untuk menempatkan masyarakat Seram dalam suatu posisi sosial tertentu, meskipun itu berarti harus “melawan” budaya atau mitos para pendahulu mereka atau masyarakat tetangga yang dianggap tidak sesuai dengan nilai mereka.

Budaya justru menjadi suatu argumen tersendiri dan terlibat dalam suatu perdebatan kultural. Budaya, alih-alih menjadi suatu hal yang esensial, menjadi hal yang “dipermainkan” — suatu cosmic play meminjam istilah yang digunakan oleh Graeber. Budaya justru menjadi suatu hal yang kreatif, tidak dalam kerangka “menyeni” yang dikemukakan oleh calon presiden, melainkan suatu cara pikir imajinatif yang menghadirkan suatu ke dalam eksistensi meskipun ia tidak ada sebelumnya Kembali menggunakan istilah Marxian, superstruktur atau budaya justru memiliki bentuk yang beragam, meskipun mereka semua terikat pada satu infrastruktur atau satu kondisi material yang sama.

Budaya mirip dengan berjalan kaki; ketika berjalan, ketika terus bergerak tanpa henti (tanpa titik henti yang pasti). Berbeda dengan “mencapai tujuan,” berjalan kaki adalah kegiatan membangun pengetahuan; kita perlu berhati-hati dengan kondisi sekitar dan menegosiasikan posisi kita dalam suatu jalan dengan hal-hal yang mengelilingi kita; membentuk suatu peta mengenai apa yang ada pada suatu momen.

Implikasi melihat budaya secara demikian, saya pikir, luas. Implikasinya tidak hanya terbatas pada argumen atau jawaban para calon presiden mengenai budaya. Melainkan, ia memiliki implikasi terhadap argumen atau visi-misi lain yang dimiliki oleh masing-masing calon.

Dalam debat mengenai ketahanan negara, misalnya, tidak ada yang menyinggung pentingnya kerja-kerja keperawatan sebagai bentuk ketahanan penduduk negara. Meskipun tidak semua calon berfokus pada apa yang disebut sebagai pertahanan tradisional—atau fokus pada aspek militer—tidak ada yang berani menyebut bahwa bentuk kerja keperawatan adalah apa yang menjaga keberlangsungan masyarakat. Kerja-kerja keperawatan, padahal, adalah bentuk pengetahuan kultural yang prevalen dan hidup dalam masyarakat. Bukan dalam bentuk gotong royong yang developmentalis ala Orde Baru (Orba), melainkan bahwa kerja keperawatan menunjukkan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan mengenai bagaimana mengatur dan mereproduksi dirinya dari hari ke hari.

Misalnya saja, bentuk-bentuk keperawatan masyarakat pedalaman di Kalimantan ketika menghadapi pandemi. Negara tidak hadir pada waktu itu, tetapi masyarakat ini dapat bertahan dengan berbagai macam praktik kerja keperawatan mengandalkan pengetahuan kultural mereka terkait kerja keperawatan yang “dieksperimentasikan” dengan pandemi. Mungkin, ada yang melihat ini sebagai upaya kembali meng-eksotis-kan suatu kelompok.

Namun, tidak perlu jauh-jauh sebetulnya masuk ke pedalaman Kalimantan atau pulau lainnya. Kita bisa menemukan perihal ini di sudut-sudut kota. Misal, di sebuah kampung dekat Stasiun Duri Jakarta—sebuah kampung yang berdampingan langsung dengan rel kereta, masyarakat sekitar kampung ini selalu pergi bekerja dengan tetangga dari kampung yang sama, mulai dari kerja ringan seperti mengumpulkan sampah untuk dibawa ke bank sampah, atau kerja yang berat seperti kerja di perkapalan. Pengetahuan-pengetahuan kultural ini adalah apa yang membolehkan mereka bertahan dan terus hidup.

Budaya hidup bersama yang terus hidup; yang terus mereka eksperimentasikan, adalah apa yang membuat hidup mereka mungkin. Pemilu tahun ini (dan pemilu sebelum-sebelumnya sebetulnya) tidak pernah mengakui pentingnya eksistensi budaya yang lahir secara organik. Budaya selalu harus secara terus-menerus diproduksi dengan bantuan negara.

Nilai kultural yang dominan (paramount value) terus menutup relasi-relasi nilai kultural yang berada di bawahnya. Seakan-akan, masyarakat tidak dapat hidup tanpa negara, padahal masyarakat selalu menemukan cara untuk terus hidup. Negara, atau calon pemegang negara, tidak pernah belajar dari masyarakat; aspirasi masyarakat dianggap hanya sebagai alat penggaet suara, alih-alih sebagai hal nyata yang dapat dipelajari.

Budaya tidak pernah dilihat sebagai objek yang hidup; hanya sebagai pemuas keinginan rekreasional. Banalitas kultural selalu dikesampingkan. Kebijakan yang dibentuk oleh “policy maker” dengan pengetahuan saintifiknya acap dianggap yang rasional. Tidak salah, tetapi kebijakan tidaklah pernah benar-benar rasional karena sejatinya kebijakan adalah agregasi berbagai macam hal yang dibuat rasional, alih-alih rasional secara sifat. Kebijakan memang penting dan harus dibuat seefektif mungkin, tetapi pertanyaannya ialah siapa dan atas dasar apa kebijakan itu dibuat.

***

Jika budaya tidak pernah dilihat sebagai perihal yang hidup dan penting dalam kehidupan sehari-hari, saya pikir pemilu tahun ini tidak akan mengubah banyak hal; akan selalu ada elemen yang hilang dalam politik elektoral kita, yakni otentisitas dan kreativitas masyarakat kita sendiri.

Daftar Referensi

Althusser, 1970, On the Reproduction of Capitalism: Ideology and Ideological State Apparatuses, Verso Books.

Ardhianto & Prasetyo, 2023, “Precarious Frontier and the Handling of COVID-19 in Indigenous Communities in Borneo,” Melbourne Asia Review: https://melbourneasiareview.edu.au/precarious-frontier-and-the-handling-of-covid-19-in-indigenous-communities-in-borneo/

Borofsky, 1994, Assessing Cultural Anthropology, McGraw-Hill College.

Clastres, 1990, Society Against the State: Essays in Political Anthropology, Zone Books.

David Graeber, 2013, “Culture as Creative Refusal,” The Cambridge Journal of Anthropology, Vol. 31, No. 2, pp. 1-19.

David Graeber, 2013, “It is Value that Brings Universes into Being,” HAU: Journal of Ethnographic Theory, Vol. 8, No. 2, pp. 219-243.

David Graeber & David Wengrow, 2021, The Dawn of Everything: A New History of Humanity, Penguin Books.

Edward Said, 1995, Orientalism: Western Conceptions of the Orient, Penguin Books.

Geger Riyanto, 2018, “Myth as Argument, Mythmaking as Field of Play,” Zeitschrift für Ethnologie, Vol. 143, No. 2, pp. 153-170.

Goldman, 1910, “Anarchism and Other Essays,” The Anarchist Library: https://theanarchistlibrary.org/library/emma-goldman-anarchism-and-other-essays

Gramsci, 1971, Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, Lawrence and Wishart.

Hobsbawm & Ranger, 2012, The Invention of Tradition, Cambridge University Press.

Ingold, 2010, “Footprints through the Weather-World: Walking, Breathing, Knowing,” The Journal Royal Anthropological Institute, Vol. 16, pp. S121-S139.

James Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance, Yale University Press.

Joel Robbins, 2013, “Beyond the Suffering Subject: Toward an Anthropology of the Good,” Journal of the Royal Anthropological Institute,” Vol. 19, No. 3, pp. 447-462.

Karunia & Pratama, 2022, “Luhut Prihatin Banyak Generasi Muda yang Jauhi Adat Istiadat dan Budaya Batak,” Kompas: https://money.kompas.com/read/2022/10/20/204000826/luhut-prihatin-banyak-generasi-muda-yang-jauhi-adat-istiadat-dan-budaya-batak

Keith Hart, 2008, “The Human Economy,” Association of Social Anthropologists of the UK and Commonwealth, No. 1, pp. 1-13.

Kropotkin, 1902, “Mutual Aid: A Factor of Evolution,” The Anarchist Library: https://theanarchistlibrary.org/library/petr-kropotkin-mutual-aid-a-factor-of-evolution

Kropotkin, 1892, “TheConquest of Bread,” The Anarchist Library: https://theanarchistlibrary.org/library/petr-kropotkin-the-conquest-of-bread

Lila Abu-Lughdod, 2014,  “Writing Against Culture,” dalam Moore & Sanders (peny.),  Anthropology in Theory: Issues in Epistemology, pp. 386-399.

Ohnuki-Tierney, Culture through Time: Anthropological Approaches, Stanford University Press.

Ortner, 1995, “Resistance and the Problem of Ethnographic Refusal,” Comparative Studies in Society and History, Vol. 37, No. 1,  pp. 173-193.

Raymond Williams, 1977, Marxism and Literature, Oxford University Press

Rohrer & Thompson, 2023, “Imagination Theory: Anthropological Perspectives,” Anthropological Theory, Vol. 23, No. 2, pp. 186-208.

Sharma & Gupta, 2005, “Introduction: Rethinking Theories of the State in an Age of Globalization,” dalam The Anthropology of the State: A Reader, Wiley Blackwell.

Sulistyowati & Foe, 2021, “Indonesia’s Own ‘Pyramid’: The Imagined Past and Nationalism of Gunung Padang,” International Review of Humanities Studies, Vol. 6, No. 1, pp. 125-137.

Tatang Sinaga, 2024, “Isu Kementerian Kebudayaan dan Kebebasan Berekspresi Mencuat dalam Debat,” Kompas: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/02/04/di-debat-kelima-tiga-calon-presiden-sampaikan-strategi-pemajuan-budaya

Tate, 2020, “Anthropology of Policy: Tensions, Temporalities, Possibilities,” Annual Review of Anthropology, Vol. 49, pp. 83-99.

Terence Turner, 2008, “Marxian Value Theory: An Anthropological Perspective,” Anthropological Theory, Vol. 8, No. 1, pp. 43-56.

Wagner, 2016, The Invention of Culture, The University of Chicago Press.

Wedel, Shore, Feldman & Lathrop, 2005, “Toward an Anthropology of Public Policy,” The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 600, pp. 30-51.  

Teks : Althaf Nandiati Yusfid
Foto : detikcom
Editor : Dita Pratiwi

Pers Suara Mahasiswa UI 2024
Independen, Lugas, dan Berkualitas!