Otorita sebagai Nama Baru: Ada Konsep Inkonstitusional dalam UU IKN

Redaksi Suara Mahasiswa · 6 Februari 2022
3 menit

Sejak masih menjadi wacana hingga sudah menjadi undang-undang, grasah-grusuh proyek pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) hingga saat ini masih menjadi perdebatan besar, baik dari segi sosial, politik, maupun lingkungan. Dari ruang-ruang diskusi publik, kritik demi kritik ditembakkan kepada kantor-kantor penentu kebijakan negara.

Tabrakan dengan berbagai kepentingan industri tidak bisa dihindarkan sehingga berpotensi menimbulkan perampasan hak masyarakat adat, prioritas penggunaan anggaran yang tidak tepat, kerusakan lingkungan, konsep non-konstitusional serta akan menghapus pertanggungjawaban reklamasi dan pasca-tambang yang disebabkan tambang batubara.

Dengan seabrek masalah, baik secara substansi maupun prosedural, DPR 2019–2024 berhasil mengesahkan UU Ibu Kota Negara (IKN) pada Selasa 18 Januari lalu setelah digodok dengan sistem kebut semalam. Namun, ini bukan lagi hal yang ganjil. Sihir ajaib ini sudah tiga kali digunakan Senayan di bawah kepemimpinan Puan, yakni pada pengesahan UU Cipta Kerja dan UU Minerba. Lebih cepat daripada mengurus SIM, puluhan pasal dapat disahkan dalam waktu kurang dari 1x24 jam..

Pasca pengesahannya (18/01), Bidang Studi Hukum Tata Negara FH UI turut mengkritisi substansi UU yang dinilai inkonstitusional melalui Seminar daring bertajuk “Membedah Konstitusionalitas UU Ibu Kota Negara”. Webinar yang ditayangkan secara langsung dalam kanal YouTube Tata Negara FH UI pada 28/1/2022 lalu menggandeng sejumlah akademisi UI sebagai pembicara untuk menyampaikan paparan akademisnya.

“Secara Hukum Konsep Otorita dalam IKN Itu Bermasalah”

Tidak hanya aktivis demokrasi dan lingkungan, para akademisi juga turut memeriksa apakah rancangan IKN sudah sesuai konstitusi. Sorotan diarahkan pada konsep otorita dalam UU IKN yang menimbulkan tanda tanya besar mengenai konsepnya secara hukum.

Dalam Pasal 8 UU IKN, penyelenggara pemerintahan daerah khusus IKN Nusantara adalah otorita IKN Nusantara. Adapun yang dimaksud dengan otorita IKN Nusantara adalah lembaga setingkat kementerian yang beroperasi paling lambat akhir 2022.

Mohammad Novrizal, Dosen Ilmu Hukum Tata Negara FH UI mengatakan bahwa permasalahannya karena bentuk pemerintahan bernama otorita tidak ada dalam Undang-Undang manapun di Indonesia. Dalam UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kebupaten dan kota.

“Yang jelas tidak ada dalam Konstitusi kita daerah yang bernama otorita itu nggak ada,” terang Novrizal.

Ketiadaan kejelasan hukum ini akan menjadi masalah karena implementasinya rawan menyalahi konstitusi. Kendati dikatakan setingkat provinsi, tetapi penyebutannya dengan sebutan otorita jelas tidak bisa disamakan dengan ketentuan yang berada di dalam provinsi. Hal tersebut yang bisa menimbulkan problema dalam perumusan aturan dan implementasi.

Sementara itu, Fitra Asril, Ketua Bidang Studi HTN menilai ada penggabungan dua konsep khusus yang membuat UU tersebut menuangkan sebutan otorita.

“Tidak ada pemerintah daerah namanya otorita. Iyalah pakai PDK (Pemerintah Daerah Khusus—Red), supaya dia kira-kira pas kalau dimasukin pasal 18 B ayat 1. Karena ada kekhususan,” tukas Fitra.

Dalam pasal 18 B ayat 1, daerah khusus merupakan bagian dari daerah yang memiliki kekhususan dalam tata kelola. Berbeda dengan daerah istimewa yang berbicara perihal unsur histori yang terdapat pada daerah tersebut. Dengan demikian, IKN ini disebut sebagai PDK yang mengambil nama otorita sebagai penyebutan.

Dari draf terdahulu, yakni draf 2020, Fitra melihat ada pemisahan antara otoritas dan sistem pada IKN. Namun, draf terbaru justru mengungkapkan adanya penggabungan dari kedua konsep tersebut yang menjadikan otorita sebagai penyelenggaranya.

Adanya dua konsep besar yang menjadi diskusi polemik terjadi karena penyatuan keduanya. “Mau setingkat provinsi, tapi gak mau pakai aturan provinsi. Mau setingkat kementerian, tapi gak mau pakai aturan kementerian. Mau setingkat kementerian, tapi mau punya aturan yang lebih hebat daripada menteri,” pungkas Fitra. Berbagai pihak khawatir sebutan otorita ini akan beralih menjadi otoritarianisme tingkat lokal.

Catatan untuk Pengalokasian Dana di Tengah Ketergesaan

Untuk kebijakan yang menghabiskan triliunan rupiah, pembentukan UU IKN yang akan menjadi payung hukum kebijakan tersebut dinilai sangat tergesa-gesa.  Dian Puji Simatupang, Dosen HAN FH UI, berharap ketergesaan tersebut tidak menimbulkan beban jangka panjang bagi fiskal negara karena alokasi dana yang menggunakan dana APBN.

Penggunaan dana APBN merupakan hal yang sah dilakukan selama tidak mengurangi kewajiban konstitusional pembiayaan yang dialokasikan APBN, seperti pendidikan, kesehatan, mandatori subsidi iuran peserta BPJS, dan dana transfer daerah. Namun, menurut Dian penggunaan anggaran pemindahan IKN harus fokus pada persiapan dan pemindahan saja, bukan proses pembangunan. Hal ini agar publik dapat memperhatikan detail-detail penggunaan anggaran dengan lebih teliti ditengah terburu-burunya proses.

“Pembangunan sebaiknya menggunakan mekanisme lain, tetapi dipertanggungjawabkan dengan mekanisme APBN,” ujar Dian terkait pendanaan.

Prosesnya yang terburu-buru dan minim partisipasi publik tentu sangat membuka kemungkinan pengajuan uji formil UU IKN kepada Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, perhatian terhadap asas keterbukaan perlu dipenuhi.

“Pengujian formil lebih penting dari substansi. Karena pengujian formil itu bicara soal kedaulatan, soal siapa yang membentuk peraturan, (dan–Red) soal rakyat yang membuat peraturan. Jadi dia lebih penting,” ujar Fitra menjelaskan.

Teks : Siti Sahira Aulia

Editor : Kamila Meilina dan Dian Amalia Ariani

Foto : Msn.com

Pers Suara Mahasiswa UI
Independen, Lugas, dan Berkualitas!