Preferensi Capres Mahasiswa UI: Prabowo-Gibran Raih Dukungan Terendah

Redaksi Suara Mahasiswa · 3 April 2024
18 menit

Pertengahan Februari 2024 lalu, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah dilaksanakan. Adapun hasil rekapitulasi Pemilu telah resmi dikeluarkan pada Rabu (20/3) oleh KPU. Berdasarkan Berita Acara Nomor 218/PL.01.08-BA/05/2024, Prabowo-Gibran memimpin perolehan suara pada Pemilu 2024 dengan persentase sebesar 58.58% atau 96.214.691 suara. Sementara itu, Anies-Muhaimin memperoleh suara sebesar 24.95% atau 40.971.906 suara dan Ganjar-Mahfud memperoleh suara sebesar 16,47% atau 27.040.878 suara.

Pada Pemilu kali ini, gen Z atau orang yang lahir antara tahun 1997 hingga 2006 menjadi salah satu penyumbang suara terbesar. Merujuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan KPU pada Juli 2023, jumlah pemilih yang tergolong gen Z mencapai 46.800.161 atau 22,85%.

Dalam lingkup Universitas Indonesia (UI), persentase pemilih gen Z pun sangat besar. Berdasarkan hasil survei Suara Mahasiswa UI, 100% responden mahasiswa UI adalah gen Z sekaligus pemilih pemula (88,5%). Sebagaimana semangat anak muda, 96% responden mahasiswa UI menunjukkan antusiasme yang tinggi pada Pemilu 2024 dengan menggunakan hak pilihnya.

Survei Suara Mahasiswa ini menggunakan metode penorokan acak terstratifikasi terhadap 300 responden mahasiswa UI dari rumpun Sosial dan Humaniora (Soshum), Sains dan Teknologi (Saintek), Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK), dan Program Vokasi dengan proporsi relatif terhadap total percontoh ‘sampel’ 62%, 20%, 13%, dan 5%. Para responden kemudian diacak secara terstratifikasi ke dalam kategori rumpun Soshum, Saintek, RIK, dan Program Vokasi dengan proporsi relatif terhadap total sampel 44%, 33%, 15%, dan 8%. Pengacakan sampel tersebut mengurangi jumlah responden dari 300 menjadi 200 responden. Proporsi itu dipilih agar jumlah responden dalam sampel dapat mewakili proporsi populasi mahasiswa sarjana UI dari setiap rumpun secara representatif, yaitu 44%, 33%, 12%, dan 11%. Dengan total 200 responden, relatif terhadap 33.000 populasi mahasiswa sarjana UI, survei ini memiliki tingkat kepercayaan sebesar 95% dengan batas galat ‘kekeliruan’ 7%.

Peran Penting Gen Z di Tengah Erosi Demokrasi

Gen Z terutama yang berstatus mahasiswa memiliki peran yang sangat penting dalam mengawal proses demokrasi. Pasalnya, demokrasi di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Delia Wildianti, Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), mengatakan kepada Suara Mahasiswa bahwa demokrasi di Indonesia sedang mengalami kemunduran bahkan erosi. Hal itu ditandai dengan pelemahan berbagai institusi demokrasi, mulai dari legislatif, eksekutif, yudikatif, hingga KPK.

“Tanda-tandanya banyak sekali. Kita tahu bahwa ada pelemahan berbagai institusi demokrasi. Misalnya, DPR hari ini oposisi, seolah tidak boleh ada, tidak boleh kuat. Jadi, semuanya harus koalisi pemerintah untuk menyukseskan program pembangunan pemerintah. Padahal, dalam demokrasi, peran oposisi itu menjadi sangat baik. Kedua, yaitu eksekutif, ranah presiden karena ada hak prerogatif untuk memilih siapa menteri dan lain sebagainya sehingga eksekutif lebih mudah dikooptasi oleh presiden. Yang ketiga adalah yudikatif. Kita tahu, beberapa belakangan ini, (yudikatif) mulai dikooptasi oleh kekuatan pemerintah. Hal ini sebenarnya ditunjukkan oleh beberapa potensi. Misalnya, keberadaan kerabat dari presiden di yudikatif, terus itu juga memengaruhi keputusan-keputusan yang ada di yudikatif. Lalu KPK yang dilemahkan, bahkan dijadikan alat (untuk) melegitimasi atau menjatuhkan lawan politik pemerintah hari ini,” tutur Delia.  

Tak hanya itu, Delia menyebutkan bahwa demokrasi tahun ini sangat berkaitan dengan politik dinasti di tingkat nasional. Tandanya adalah kemunculan beberapa kerabat Joko Widodo di ranah pemerintahan secara beruntun dan cepat.

“Ini dipertunjukkan oleh presiden kita untuk membangun politik dinasti secara nyata, blak-blakan gitu, ya, kalau kita istilahkan. Dipertunjukkan (bahwa) politik dinasti sedang dibangun. Pertandanya mudah sekali. Tahun 2020, kalau tidak salah, Gibran mulai maju Pilkada, lalu Bobby masuk ke ranah Pilkada juga, terus bagaimana sekarang tiba-tiba cepat menjadi capres.”

Berhubungan dengan itu, Delia mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi demokrasi tahun ini.  Ia bahkan merasa cemas sebagai individu yang bekerja di bidang politik.

“Ternyata proses prosedural demokrasi yang dinamakan Pemilu itu justru dimanfaatkan oleh elite yang dihasilkan dari proses yang demokratis. Seolah demokrasi prosedural itu dibajak oleh para elit yang memanfaatkan ini untuk kepentingan status, untuk penguatan kekuasaan dan kewenangannya. Kita lihat ya, seperti itulah situasi politik dan situasi demokrasi kita hari ini. Ya kalau dibilang Indonesia emas 2045, sekarang ada juga narasi Indonesia cemas 2045. Saya juga cemas nih, sebagai orang yang bekerja di isu politik dan mengamati fenomena-fenomena politik ini satu kecemasan gitu bagi kita semua,” jelas Delia.

Digadang-gadang sebagai kaum intelektual, mahasiswa diekspektasikan untuk memanfaatkan privilese akademik yang dimilikinya sehingga dapat memilih secara bijak dan rasional. Sejalan dengan itu, Delia mengungkap bahwa mahasiswa dapat menjadi tumpuan pemilih rasional dalam Pemilu 2024 karena hidup di lingkungan yang mendukung.

“Partisipasi mahasiswa menjadi sangat penting karena dia ada di wilayah masyarakat atau pemilih yang memiliki pengetahuan sehingga diharapkan mahasiswa menjadi tumpuan pemilih rasional di dalam proses pemilu tahun 2024. Jadi, dia punya nilai lebih dibandingkan yang lain meskipun kita tahu bahwa dalam Pemilu itu kan one person one vote one value,” tambah Delia.

Tentu, mahasiswa yang terdidik dan berada di lingkungan yang kondusif terhadap kondisi sosial politik akan mempertimbangkan beberapa hal dalam memilih Paslon yang tepat. Lantas, bagaimana preferensi politik mahasiswa UI pada Pemilu 2024? Apakah mahasiswa UI menunjukkan kecenderungan yang serupa dengan pemilih nasional lainnya?

Keterwakilan Pemilih Paslon di Kalangan Mahasiswa UI

Hasil survei Suara Mahasiswa terhadap 200 responden, menemukan dominasi pemilih Anies-Muhaimin di kalangan mahasiswa UI, yaitu sebesar 66,91%. Adapun perolehan suara tertinggi kedua diperoleh Ganjar–Mahfud yang dipilih oleh 19,48% responden, dan disusul Prabowo-Gibran yang dipilih oleh 9,94% responden. Kendati demikian, tidak seluruh mahasiswa ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini, sebesar 3,67% responden memilih untuk tidak memberikan suaranya.

Berhubungan dengan itu, alasan yang paling mendasari representasi preferensi politik mahasiswa UI ini adalah visi misi. Berdasarkan hasil survei Suara Mahasiswa UI, 63,21% responden mahasiswa UI menjadikan visi dan misi Paslon yang sesuai sebagai dasar untuk memilih. Delia memandang argumentasi pemilihan Paslon ini sangat baik. Namun, menurutnya mahasiswa harus tetap kritis dengan memastikan kelengkapan visi misi yang dipertimbangkan. Berikut adalah visualisasi datanya.

“Apakah visi misi ini sejalan dengan akses visi misi yang komprehensif atau tidak? Khawatirnya, mereka dari visi misi, tapi visi misi yang sepotong-sepotong. Kan sekarang banyak sekali video-video yang potongan-potongan. Tapi, alasan visi misi paslon sebagai argumentasi kenapa memilih Paslon itu menjadi sangat baik, sih,” ujar Delia.

Berdasarkan data tersebut, sebesar 19,81% responden mahasiswa UI mempertimbangakan partai pendukung Paslon pula. Kemudian, disusul dengan pertimbangan pilihan keluarga yang menempati posisi ketiga terbanyak dipilih oleh mahasiswa UI.

Menanggapi hal tersebut, Delia menyatakan bahwa peran partai politik yang berada di belakang dan menjadi pengusung Paslon sangatlah penting dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan. Meskipun di negara ini tidak ada yang disebut sebagai koalisi permanen, kondisi koalisi cenderung dinamis. Sebagai contoh, hari ini mungkin berkoalisi dengan pihak A, tetapi besok kemungkinan besar bisa berubah ke pihak lain. Namun demikian, pada awalnya komitmen dalam sebuah koalisi dapat sangat memengaruhi arah kebijakan di masa depan.

Antara Pemilih UI dan Indonesia

Hasil rekapitulasi KPU Rabu (20/3) lalu menunjukkan bahwa Prabowo-Gibran memperoleh lebih dari setengah suara, yaitu 58,58%. Artinya, mayoritas warga negara Indonesia (WNI) memilih Paslon nomor urut dua sebagai Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) dalam Pemilu 2024.

Bertolak belakang dengan data perhitungan KPU, hasil survei Suara Mahasiswa menunjukkan perbedaan preferensi politik yang cukup signifikan antara pemilih UI dengan pemilih Indonesia. Di kalangan mahasiswa UI, Anies-Muhaimin memperoleh suara terbanyak, sedangkan Prabowo-Gibran mendapatkan suara terendah. Sementara itu, Ganjar-Mahfud tak menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan.

Sebelum rekapitulasi resmi KPU digaungkan, Suara Mahasiswa UI meminta tanggapan Delia terkait perbedaan preferensi politik yang dilihat dari hasil survei Suara Mahasiswa dengan data perhitungan KPU per 5 Maret 2024, yang tidak jauh berbeda dengan hasil rekapitulasi resmi KPU pada Rabu lalu. Melalui data itu, Delia memberikan beberapa sudut pandangnya sebagai salah seorang yang berkompeten di bidang politik.

Delia menjelaskan bahwa perbedaan preferensi antara pemilih UI dengan pemilih Indonesia dibatasi oleh cara berkomunikasi Paslon. Mahasiswa UI yang hidup di dunia akademik memiliki kecenderungan untuk berdialog, didengar, dan berbicara. Sejalan dengan itu, Anies-Muhaimin membuka ruang diskusi dengan program Desak Anies dan Slepet Amin. Begitu pula Ganjar-Mahfud yang memiliki program Tabrak Prof. Jika dikonklusikan, hanya Prabowo-Gibran yang tidak memiliki program serupa. Maka tidak heran apabila Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud mendapatkan suara terbanyak di UI, sedangkan Prabowo memperoleh suara paling sedikit.

“Program-program yang seperti itu sesuai dengan gaya mahasiswa UI yang ingin ada di ruang publik dan ruang akademik untuk memperdebatkan banyak hal.  Saya sih ngelihatnya pada akhirnya pendekatan itu berhasil di mahasiswa UI, tetapi yang hal-hal yang programatik itu tidak berhasil di pemilih-pemilih lainnya,” jelas Delia.

Perihal pemilih Indonesia yang didominasi pendukung Prabowo-Gibran, Delia menduga bahwa mereka memiliki preferensi komunikasi yang berbeda dengan pemilih UI. Jika pemilih UI mengedepankan dialog sebagai cara komunikasi Paslon, mungkin pemilih Indonesia memiliki preferensi gaya komunikasi atau gaya kampanye yang lain.

“Tapi apakah semua orang suka dengan gaya itu atau tidak? Apakah pemilih kebanyakan itu lebih suka gaya-gaya kampanye yang justru tidak programatik? Jadi, kalau mahasiswa UI menginginkan hal-halnya yang sifatnya programmatik dengan mengedepankan visi dan misi, jangan-jangan pemilih lain di luar sana, yang menghasilkan 58.58% untuk Pak Prabowo justru punya gaya atau cara yang berbeda dari mahasiswa UI,” terang Delia.

Tendensi Golput pada Mahasiswa UI

Preferensi politik yang berbeda pun terepresentasi di antara empat rumpun UI, yaitu RIK, Saintek, Soshum, dan Program Vokasi. Setiap rumpun memiliki kecenderungan yang berbeda meskipun suara Paslon nomor urut satu tetap memimpin.

Di sisi lain, 6,82% responden dari rumpun Ilmu Kesehatan menunjukkan kecenderungan golongan putih (golput) bersama dengan 6,25% responden dari RIK. Secara umum, Delia menerangkan bahwa preferensi pemilih untuk golput dapat didorong oleh faktor budaya politiknya, antara partisipan atau parokial.

“Kalau misalnya budaya politiknya partisipan, dia sangat tahu sekali makanya dia memutuskan untuk golput. Dia merasa tidak ada yang sesuai. Tetapi, ada juga yang budaya parokial, partisipasi politiknya sangat rendah. Di mana orang  tidak peduli dengan proses politik. Ada yang beranggapan bahwa mau presidennya siapapun juga nggak akan mengubah hidup kita, mau presidennya siapapun nasib gue gini-gini aja, dan lain sebagainya,” kata Delia.

Selain itu, Delia pun mengungkap bahwa kecenderungan sebagian mahasiswa UI untuk golput kemungkinan besar dipengaruhi oleh lingkungan yang kurang kondusif terhadap isu sosial politik.

“Lingkungan yang kondusif untuk diskusi sosial politik, pengetahuan-pengetahuan tentang isu sosial politik itu juga akan memengaruhi bagaimana dia memutuskan untuk memilih atau tidak memilih. Nah, kalau misalnya terjadi golput, ya bisa jadi soal diskusi yang kurang kondusif itu terjadi di situ,” tutur Delia.

Sementara itu, responden dari Soshum menunjukkan angka golput yang paling sedikit (1,98%). Delia menerangkan bahwa hal ini dipengaruhi oleh eksistensi mahasiswa Soshum yang berada di lingkungan yang kondusif. Bahkan, mahasiswa Soshum terpapar pengetahuan sosial politik secara masif dari bangku perkuliahan.

“Terlihat angka golput di rumpun Sosial Humaniora paling rendah. Mungkin karena lingkungannya kondusif untuk memperhatikan proses Pemilu, ada awareness tentang penting banget nih kita untuk menggunakan hak pilih yang 5 tahun sekali, dan ini akan menentukan nasib kita. Teman-teman di Sosial Humaniora ini terpapar juga dengan informasi-informasi sosial politik dengan sangat masif karena bagian dari kehidupan perkuliahannya,” kata Delia.

Delia pun mengungkap bahwa minimnya pemilih Prabowo-Gibran di kalangan mahasiswa Soshum didasari oleh kepekaan dan pengetahuan mahasiswa Soshum terhadap isu sosial politik dan HAM di Indonesia. Wacana terkait keterlibatan Prabowo dalam isu pelanggaran HAM tentu berkontribusi terhadap preferensi politik mahasiswa UI di rumpun Soshum.

“Mungkin yang lebih peka terhadap perkembangan situasi politik dan sosial hari ini ya teman-teman dari Sosial Humaniora. Misalnya, ketika kita bicara soal HAM. HAM itu diobrolin di Sosial Humaniora. Makanya, mungkin kenapa (pemilih) Pak Prabowo sangat rendah karena kita belajar soal HAM, kita belajar soal demokrasi. Bagaimana penegakan HAM dan lain sebagainya. Sedangkan Pak Prabowo punya isu tentang itu,” terang Delia.

Soal perolehan suara tertinggi Prabowo-Gibran di Saintek, Delia mengungkapkan bahwa hal itu kemungkinan terjadi karena Paslon nomor urut dua kerap menekankan eksakta di beberapa debat, “Sains dan Teknologi juga menarik tuh, Pak Prabowo tinggi ya. Mungkin karena dia menekankan eksakta di beberapa debat. Mungkin itu bisa memengaruhi banyak pemilih,” tuturnya.

Perbedaan Preferensi Politik Antargender

Perbedaan preferensi politik mahasiswa UI tidak hanya tergambar dari kategori lingkup nasional dan rumpun, tetapi juga gender. Survei Suara Mahasiswa UI terhadap 200 responden yang terdiri dari 57% perempuan, 38% laki-laki, dan 5% gender lainnya, menunjukkan hasil yang cukup menarik. Para responden yang bergender perempuan cenderung memilih Paslon Anies-Muhaimin, dengan persentase sebesar 80,51%. Sementara itu, Paslon nomor urut dua dan tiga paling banyak dipilih oleh responden bergender lainnya. Di tengah mahasiswa UI bergender lainnya, Prabowo-Gibran memperoleh suara sebesar 12,50% dan Ganjar-Mahfud memperoleh suara sebesar 31,25% responden.

Delia mengatakan bahwa responden perempuan cenderung memilih Paslon nomor urut satu karena Anies cukup vokal terhadap isu perempuan pada sesi debat.

“Kalau Pak Anies saya malah ngeliatnya karena dia sempat (memberi) statement ya terkait isu perempuan pada debat. Malah waktu itu agak memojokkan Pak Prabowo saat debat, di mana isu perempuan bukan hanya soal gizi, tetapi banyak hal. Mungkin itu alasan mengapa perempuan lebih banyak memilih Pak Anies,” kata Delia.

Berdasarkan hasil survei, perolehan suara Ganjar-Mahfud paling banyak berasal dari pemilih bergender lainnya. Delia melihat bahwa kecenderungan politik ini dipantik oleh partai pendukung Paslon nomor urut tiga yang kerap mendorong keberagaman.

“Saya melihatnya itu karena PDIP itu dia sebagai partai yang mendorong kemajemukan, selalu multikultural, dan lain-lain. Jadi, mungkin ruang untuk mereka itu ada di sana, untuk yang gender lainnya,” terang Delia.

Apa Kata Mahasiswa UI tentang Pilihan Paslonnya?

Pendukung Anies-Muhaimin

Sebagian besar mahasiswa UI yang memilih Anies-Muhaimin merasa bahwa visi misi dan program yang mengarah ke arah “perubahan” tepat untuk membangun negeri lima tahun ke depan. Hal ini dipandang Delia sebagai bentuk keberpihakan mahasiswa UI terhadap narasi perubahan dibandingkan keberlanjutan.

“Iya kalau misalnya tadi dilihat dari alasan mereka memilih kan dari visi misi ya, dari visi misi yang menjadi perhatian mereka adalah ini soal perubahan. Nah, berarti kalau kita bisa simpulkan teman-teman di UI memang punya keberpihakan terhadap narasi perubahan dibanding keberlanjutan,” ungkap Delia.

Pendukung Anies pun merasa bahwa Anies memiliki kinerja atau rekam jejak yang bagus sebagai Gubernur Jakarta. Tak hanya itu, mereka semakin mantap untuk memilih Anies-Muhaimin karena gaya kampanyenya yang mengedepankan diskusi terbuka, seperti Desak Anies.

Delia menerangkan bahwa opini sebagian besar mahasiswa UI perihal Anies dan Jakarta lahir dari sosok Anies yang besar. Selain itu, kehadiran Anies di berbagai forum diskusi dan kedekatan dari segi geografis turut memengaruhi pandangan mahasiswa UI terhadap Anies-Muhaimin.

“Itu mungkin sesuai dengan karakteristik anak-anak mahasiswa UI dibandingkan anak-anak lainnya. Maksudnya, mungkin acara-acara pak Anies itu bisa diakses gitu oleh teman-teman UI. Kalau misalnya anak-anak dari Papua sana atau dari mana itu mungkin agak susah untuk mengakses agenda-agendanya,” tambah Delia.

Pendukung Prabowo-Gibran

Mahasiswa UI yang memilih Prabowo-Gibran memiliki sudut pandang yang cukup sederhana. Mereka yakin untuk mendukung Paslon nomor urut dua karena visi misi dan program yang berarah “melanjutkan”. Sebagian besar mahasiswa yang memilih Prabowo-Gibran merasa puas dengan hasil kepemimpinan Jokowi selama sepuluh tahun terakhir. Oleh sebab itu, mereka memiliki keyakinan bahwa Prabowo-Gibran ialah pilihan yang paling tepat untuk melanjutkan program Jokowi dan IKN.

Delia memandang hal ini sebagai sesuatu yang masuk akal, “Ini alasan dipilihnya karena Prabowonya dan program visi misinya yang melanjutkan. Make sense juga.”

Pendukung Ganjar-Mahfud

Visi dan misi menjadi faktor utama sebagian mahasiswa UI memilih Ganjar-Mahfud. Mereka merasa bahwa visi misi dan program Paslon nomor urut tiga sangat realistis dan relevan, seperti program satu keluarga satu sarjana. Rekam jejak Ganjar-Mahfud pun turut membuat pendukungnya merasa bahwa Paslon nomor urut tiga ini layak menjadi Presiden dan Wakil Presiden di masa mendatang. Berkat rekam jejak Ganjar sebagai Gubernur Jawa Tengah dan pengalaman Mahfud di bidang hukum, langkah mereka untuk memilih Ganjar-Mahfud semakin mantap.

Dibanding Paslon lain, Delia memandang Paslon nomor urut tiga sebagai Paslon yang merepresentasikan keseimbangan antara Capres dan Cawapresnya, “Yang menarik bahwa Paslon nomor urut tiga dia lebih balance antara capres dan cawapresnya. Ada Pak Ganjarnya, ada Pak Mahfudnya, karena Pak Mahfud juga dikenal publik,” kata Delia.

Dewasa ini, data dari KPU menunjukkan bahwa Ganjar-Mahfud memperoleh suara paling sedikit di Pemilu 2024. Berhubungan dengan itu, Delia menerangkan bahwa kepopuleran seseorang tidak menjamin elektabilitasnya, seperti halnya Mahfud.

“Pak Mahfud itu orang populer, tapi belum tentu elektabilitasnya tinggi. Ini menunjukkan banget kan ya hari ini tuh terjadi seperti itu. Setiap popularitas belum tentu sejalan dengan elektabilitas,” tambahnya.

Bagaimana Kritik Mahasiswa terhadap Paslon Lain?

Anies-Muhaimin

Sebagian besar mahasiswa UI yang tidak memilih pasangan Anies-Muhaimin karena faktor Calon Presiden Anies Baswedan yang dikaitkan dengan politik identitas agama, tentu saja ini mengingatkan dengan perhelatan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Responden menilai saat itu, Anies Baswedan yang merupakan calon gubernur DKI Jakarta cukup masif menggunakan politik identitas agama dalam kampanye pemilihan gubernur yang diselenggarakan dalam lima tahun sekali. Kemudian, sebagian besar mahasiswa UI juga menyinggung janji-janji Calon Presiden Anies Baswedan yang masih belum tuntas di DKI jakarta. Lalu, slogan perubahan dirasa tidak cocok bagi sebagian mahasiswa UI yang menginginkan keberlanjutan, dan terakhir adalah faktor Calon Wakil Presiden Abdul Muhaimin Iskandar yang dinilai tidak cocok disandingkan dengan Anies Baswedan.

Ketika menanggapi hasil ini, delia tidak terkejut dengan tuduhan politik identitas yang disematkan kepada pasangan calon nomor urut satu ini, dan politik identitas yang terjadi pada pilkada DKI tahun 2017 ini juga terjadi kembali pada perhelatan Pilpres tahun 2019 maka wajar jika publik masih terus teringat akan hal itu.

“Saya juga nggak heran kalau misalnya alasannya adalah karena politik identitas karena memang masih banyak orang yang percaya kalau misalnya Pak Anies ini menggunakan politik identitas ketika terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta di 2017 lalu. Hebohnya juga sampai ke seluruh Indonesia kan waktu Pilkada itu, mengamplifikasi politik identitas di pemilu 2019, gitu. Jadi dampaknya sangat besar, bahkan sampai ke perpecahan di masyarakat. Jadi, sangat dirasakan dan sangat mungkin masih terngiang gitu, ya sampai sekarang, meskipun Pak Anies sebenarnya dalam beberapa kesempatan itu selalu mencoba menunjukkan diri bahwa dia ingin keluar dari narasi politik identitas,” tutur Delia.

Prabowo-Gibran

Alasan sebagian besar Mahasiswa UI yang tidak memilih Prabowo-Gibran dapat dikatakan cukup beragam. Mulai dari faktor Calon Presiden Prabowo Subianto yang memiliki rekam jejak sebagai terduga pelanggar HAM atas penculikan aktivis tahun 1998, kemudian faktor proses pencalonan Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dinilai cacat moral karena melewati putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perubahan batas umur calon wakil presiden. Hal itu oleh masyarakat dinilai telah melanggar kode etik MK sesuai putusan MKMK.

Selain itu, faktor nepotisme yang dibuktikan dengan adanya dinasti politik Presiden Aktif Joko Widodo dengan menjadikan sang anak sulung Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden dari Calon Presiden Prabowo Subianto. Kemudian faktor lainnya adalah keterlibatan Presiden aktif dalam kampanye pasangan calon Prabowo-Gibran, salah satunya dapat dilihat dari statement kontroversial Presiden Jokowi mengenai presiden boleh berkampanye.

Menurut Delia, sejak awal, pasangan nomor urut dua ini sudah bermasalah dan melanggar secara konstitusional, hal ini bisa dilihat dari putusan pelanggaran kode etik oleh MKMK yang dilimpahkan kepada ketua Mahkamah Konstitusi yang berdampak kepada pemberhentian posisi sebagai ketua Mahkamah Konstitusi.

“Narasi yang bermasalah dari 02 kan memang sejak pencalonan. Misalnya, ini secara konstitusional, ya, proses pencernaan kita ini memang bermasalah dan melanggar konstitusi sebenarnya, ya, dan bahkan ketika salah satu ketuanya diberhentikan dari posisi ketua, itu sudah menunjukkan ada pertanyaan kode etik,” tutur Delia.

Lebih lanjut, Delia mengatakan isu HAM menjadi salah satu pertimbangan bagi orang-orang kritis ketika memilih pasangan calon, hal ini juga menyangkut latar belakang militer seorang Prabowo Subianto, sedangkan dua calon lainnya memiliki latar belakang sipil.

“Jadi, isu HAM ini tentu juga menjadi salah satu pertimbangan teman-teman yang kritis dalam memilih. Kita lihat dari yang lainnya, kan mereka nggak ada yang melakukan pelanggaran karena mereka adalah warga sipil, seperti yang punya ruang lebih besar adalah Pak Prabowo karena dia punya background militer,” tutur Delia.

Kemudian, Delia juga menanggapi faktor alasan tidak memilih karena adanya keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam proses pemilu 2024. Ia merasa alasan itu merupakan suatu hal yang baik.

“Jadi, kita bukan saja tidak setuju dengan keberlanjutan, tetapi juga dia tidak setuju dengan keterlibatan Presiden Joko Widodo di dalam cawe-cawe proses politik itu. Ini yang menarik sebenarnya. Kalau tadi kan (alasan memilih) lebih ke program ya, Pak Jokowi mau melanjutkan, kalau ini lebih ke mereka tidak suka karena keterlibatan Pak Presiden Jokowi di dalam proses politiknya. Itu menunjukkan bahwa mahasiswa UI itu kritis ya, mereka tidak menerima begitu saja proses politik Pak Jokowi yang bar-bar ini. Jadi, menurut saya, ya ini menunjukkan hal yang baik dari teman-teman,” lanjut Delia.

Ganjar-Mahfud

Sebagian mahasiswa UI yang tidak memilih Ganjar-Mahfud mengungkapkan bahwa faktor latar belakang Calon Presiden Ganjar Pranowo yang menjadi batu sandungan, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), faktor ketidaksukaan terhadap salah satu partai ini disebabkan karena partai ini masih dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri yang mana memiliki sentimen negatif yang tinggi di kalangan masyarakat.

Menanggapi hasil ini, Delia mempertanyakan mengenai apa alasan mereka yang tidak suka dengan Megawati selaku ketua umum PDIP. Apakah karena rekam jejak Megawati sebagai presiden atau PDIP selaku partai pengusung Ganjar Pranowo.

“Saya sebenarnya selalu mempertanyakan juga, sih, kenapa dengan Bu Megawati. Selain karena personal, ya, maksudnya selain karakternya begini dan lain sebagainya. Apakah misalnya karena rekam jejak Bu Mega sebagai presiden di masa lalu, keputusan-keputusan sebagai ketua umum PDIP. Mengenai PDIP, (padahal) partai itu yang selama ini sering dikaitkan dengan partai wong cilik, kemudian kaderisasinya sangat baik gitu, ya. Saya belum bisa menangkap secara komprehensif, sih, argumentasi soal itu,” tutur Delia.

Sumber Informasi Pemilu 2024 bagi Mahasiswa UI

Mahasiswa UI dalam menentukan preferensi politik, menentukan pilihan pasangan calon mereka, dan alasan mereka memilih dan tidak memilih suatu pasangan calon tentu tidak terlepas dari sumber informasi yang mereka dapat. Survei Suara Mahasiswa juga mengajukan pertanyaan mengenai sumber informasi yang mereka dapatkan. Hasilnya adalah 65,44% mahasiswa menjawab berita sebagai sumber informasi mengenai pemilu 2024, dilanjutkan dengan tayangan debat capres-cawapres (29,05%), diikuti dengan laman web independen (1,83%), selebaran capres-cawapres (1,22%), dan media sosial(0,92%).

Menurut Delia, hal ini menandakan bahwa mahasiswa UI adalah pemilih rasional karena melihat hasil survei yang sejalan dengan jumlah pemilih mahasiswa UI yang mayoritas merupakan pemilih Anies-Muhaimin, alasan memilih pasangan calon adalah dengan melihat visi dan misi mereka, serta kanal berita yang menjadi sumber informasi mereka.

”Sebenarnya ini menunjukkan satu tren yang sinkron ketika dia memilih Anies-Muhaimin lebih banyak, dengan alasan visi misinya, terus juga kanal yang digunakan adalah berita. Kita bisa menyimpulkan bahwa anak UI ini adalah pemilih yang rasional,” tutur Delia.

Rendahnya Kepercayaan Mahasiswa UI terhadap KPU dan Bawaslu

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki tugas yang sama, yaitu melaksanakan dan mengawal jalannya Pemilu. Untuk menilai kinerja mereka cukup dengan melihat tingkat kepercayaan masyarakat, jika mendapatkan kepercayaan yang tinggi, maka KPU dan Bawaslu dapat dikatakan efektif dalam menjalankan tugas mereka. Namun, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Suara Mahasiswa terhadap beberapa mahasiswa UI menunjukan tingkat kepercayaan mereka terhadap KPU tergolong rendah.

Dalam survei, diajukan dua pertanyaan, yaitu skor tingkat kepercayaan mahasiswa terhadap KPU dan Bawaslu pada masa pra-Pemilu dan pasca-Pemilu. Hasilnya, ketidakpercayaan terhadap KPU dan Bawaslu semakin meningkat pasca-Pemilu. Pada masa pra-Pemilu, sebanyak 60 mahasiswa memberi skor sangat rendah, 65 mahasiswa memberi skor rendah, 68 mahasiswa memberi skor tinggi, dan 21 mahasiswa memberi skor sangat tinggi. Apabila dilihat dari masa pasca-Pemilu, sebanyak 121 Mahasiswa memberi skor sangat rendah, 46 memberi skor rendah, 32 mahasiswa memberi skor tinggi, dan 15 mahasiswa memberi skor sangat tinggi. Berdasarkan data itu, dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan angka ketidakpercayaan yang  meningkat dari masa pra-Pemilu hingga pasca-Pemilu, sementara tingkat kepercayaan mahasiswa UI terhadap KPU dan Bawaslu mengalami penurunan.

Menurut Delia, permasalahan sirekap menjadi pengaruh utama dari rendahnya kepercayaan mahasiswa UI terhadap KPU. Padahal, sirekap bukan alat penghitungan yang sah, karena perhitungan yang sah masih dilakukan secara konvensional yang dihitung secara berjenjang, tetapi publik tidak menangkap hal itu dan menganggap sirekap menjadi alat hitung yang sah.

“Nah, ini kayaknya (yang) ditangkap publik, sirekap sebagai alat yang dikeluarkan oleh KPU. Maka, kepercayaan terhadap penyelenggara Pemilu menjadi sangat berkurang, dan khawatirnya dampak keberlanjutannya adalah karena sirekapnya bermasalah, maka publik juga melihat penghitungan yang dilakukan secara konvensionalnya itu secara berjenjang juga tidak valid karena banyak kecurangan yang terjadi,” tutur Delia.

Kinerja KPU yang bermasalah juga menjadi alasan utama lainnya, seperti adanya pemungutan suara ulang di beberapa tempat, proses pemilu yang dinilai tidak jujur dan adil, dan Bawaslu yang dinilai tidak tegas dan tidak bisa melakukan apa-apa untuk menangani hal tersebut.

“Kinerja KPU itu bermasalah. Saya melihat data ini gitu. Dari yang sangat rendah (yaitu) 60 kemudian jadi 121. Sangat wajar dengan apa yang terjadi hari ini. Ada PSU (Pemungutan Suara Ulang), lalu juga sirekapnya bermasalah, terus kalau kita lihat bagaimana proses Pemilu tidak berjalan secara jujur dan adil. Misalnya, kita tahu beberapa pendukung Paslon yang merupakan menteri berkampanye secara blak-blakan, terus juga menggunakan Bansos sebagai alat politik untuk berkampanye. Itu kan sebenarnya adalah suatu pelanggaran. Tapi, itu tidak ditindak secara tegas dan Bawaslu juga sangat terbatas sekali untuk menangani. Apa yang biasa dia lakukan, nggak bisa membatalkan juga gitu,” tutur Delia.

Pendidikan Sebagai Isu Terpenting dalam Pemilu 2024 bagi Mahasiswa UI

Sebagai mahasiswa, tentu pendidikan menjadi isu penting dalam pemilu 2024 karena berkaitan dengan keberlanjutan pembangunan SDM, dan ini dibuktikan dengan hasil survei terhadap mahasiswa UI mengenai isu strategis dalam pemilu 2024. Hasilnya, 36,25% mahasiswa menjawab pendidikan menjadi isu strategis dalam pemilu 2024. Kemudian diikuti dengan isu riset dan inovasi (22,46%), pertahanan dan keamanan (16,30%), lingkungan hidup (11,23%), politik luar negeri (8,33%), dan korupsi (5,43%).

Menanggapi survei ini, Delia cukup terkejut dengan isu pertahanan dan keamanan yang menjadi isu strategis bagi para mahasiswa UI. Menurutnya, faktor eksternal seperti konflik Israel-Palestina mungkin menjadi pengaruh dari naiknya isu tersebut.

“Untuk yang pertahanan keamanan ini menarik sebenarnya kalau misalnya mahasiswa menjadikan ini satu isu yang juga strategis. Saya nggak tahu ya faktornya. Apa mungkin bisa jadi faktor eksternal, seperti konflik yang sekarang masih terjadi. Misalnya, Palestina-Israel. Mungkin itu bisa jadi pengaruhnya juga,” tutur Delia.

Lebih lanjut, Delia cukup kagum dengan mahasiswa UI memilih isu riset dan teknologi sebagai salah satu isu strategis utama pemilu 2024 yang menandakan bahwa mahasiswa UI memiliki interest besar terhadap hal itu.

”Termasuk dalam riset dan inovasi, saya sebenarnya kagum juga kalau riset dan inovasi ini menjadi fokus utama teman-teman mahasiswa, karena ini juga berarti menunjukkan ada interest dari mahasiswa untuk membicarakan (serta) mendorong penguatan riset dan inovasi,” tambah Delia.

Harapan terhadap Pemilu 2024

Dengan berbagai dinamika politik yang terjadi pada pra-Pemilu dan pasca-Pemilu, tentu saja memiliki secercah harapan. Dalam survei tersebut, Suara Mahasiswa UI menyediakan kolom kosong untuk mahasiswa agar dapat menuliskan harapannya terhadap Pemilu 2024.

“Siapapun presiden yang terpilih, kita terima saja sebagai bentuk demokrasi, tetapi kita juga boleh mengkritik apabila terjadi penyimpangan selama kepemimpinan presiden tersebut,” tulis salah satu responden.

“Apa pun hasilnya, saya harap jumlah suara final memang sesuai realita di lapangan, tidak ada manipulasi suara atau kecurangan lainnya,” tulis responden lainnya.

Harapan turut disampaikan oleh Delia Wildianti selaku peneliti di Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI.

”Apapun hasilnya, kita tetap konsolidasi untuk demokrasi. Makna dari konsolidasi untuk demokrasi tersebut dalam demokrasi adalah bahwa oposisi merupakan elemen yang penting untuk check and balances, gitu. Jadi, kita berharap dan mendorong ada kekuatan partai politik agar menjadi oposisi untuk mengimbangi kekuasaan pemerintah sekarang,”tutur Delia.

Delia juga menambahkan bahwa setelah pemilu 2024 ini, pendidikan politik harus digencarkan di seluruh wilayah. Ia sadar bahwa masih banyak wilayah-wilayah yang belum tersentuh oleh pendidikan politik.

“Dan harapan kedepannya, sebenarnya ini menjadi refleksi bagi kami, ya, di dunia pendidikan. Setelah Pemilu selesai itu langsung berpikir bahwa kami terlalu banyak main di wilayah sini-sini aja, sedangkan masyarakat di luar sana itu butuh kecerdasan, butuh pendidikan politik yang lebih besar lagi dan lebih banyak lagi. Hal itu (mari) sama-sama kita lakukan dan teman-teman mahasiswa termasuk juga gitu. Sebagai pendidik, saya merasa benar-benar perlu melakukan itu,” tambah Delia sebagai penutup.

Teks: Wina Afriyani A.P., Naufal Maulana

Data dan Visualisasi: Qaulan M. Indra, Dita Pratiwi, Syifa Anggun A., Genis Liontina M. (Tim Litbang Suma UI)

Editor: Choirunnisa Nur Fitria

Pers Suara Mahasiswa UI 2023

Independen, Lugas, dan Berkualitas!