SIPDUGA UI sebagai Peralihan Pelayanan Pengaduan Kekerasan Seksual, Satgas PPKS UI: "Tidak Kompatibel"

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 April 2024
4 menit

Menindaklanjuti pengunduran diri Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Indonesia (Satgas PPKS UI), pihak UI dalam publikasinya (17/4) mengumumkan bahwa pelayanan pengaduan terkait kekerasan seksual (KS) akan dialihkan kepada Sistem Pelaporan Dugaan Pelanggaran (SIPDUGA) UI.

Mengutip dari laman www.ui.ac.id, dijelaskan bahwa SIPDUGA merupakan sistem pelaporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku, baik yang terkait dengan kebijakan internal Universitas Indonesia maupun peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh warga UI, yang telah diresmikan pada tahun 2018 lalu.

“Dalam masa penataan (penyelenggaraan dan tata kelola Program PPKS) ini, pelayanan pengaduan dugaan KS dikembalikan melalui saluran SIPDUGA lewat hotline WhatsApp nomor 085904202000 atau datang langsung ke Sentra Informasi dan Pelayanan Publik (SIPP) di Gedung PPMT UI.” Tulis UI di dalam keterangannya.

Alif Lathif, selaku ketua BEM Fakultas Hukum (FH) UI 2024 berpendapat bahwa pengalihan pelaporan kekerasan seksual melalui SIPDUGA sangat tidak tepat dan tidak efektif.

“SIPDUGA merupakan layanan pelaporan untuk seluruh pelanggaran di UI. Melalui sistem ini, jelas potensi penanganan KS tidak akan diprioritaskan karena dianggap sama dengan pelanggaran yang lain,” terang Lathif ketika diwawancarai oleh Suara Mahasiswa UI (19/4).

Berdasarkan pernyataan Lathif, sebelum dipublikasikannya pengalihan layanan, Ketua BEM FH UI dan Ketua BEM UI sempat berdiskusi dengan Wakil Rektor Bidang SDM dan Aset UI, Dedi Priadi, terkait rencana pengalihan penanganan KS ke SIPDUGA dan Panitia Penyelesaian Pelanggaran Tata Tertib (P3T2) oleh pihak Rektorat. Kala itu, Wakil Rektor menyatakan bahwa UI tidak akan mengalihkan penanganan ke SIPDUGA dan P3T2.

“Kami merasa percuma diskusi dengan pihak Rektorat karena omongan mereka tidak pernah (bisa) dipercaya dan mereka tidak pernah mendengar keluhan mahasiswanya,” tutur Lathif.

Mekanisme Pelayanan Pengaduan Kasus Kekerasan Seksual oleh SIPDUGA

Kepala Bagian Publikasi Informasi Biro Humas dan KIP, Ardiansyah, menyatakan bahwa sebelum adanya Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang PPKS, segala pelanggaran yang ada di UI dapat dilaporkan melalui SIPDUGA, termasuk kasus kekerasan seksual.

“Ketika terbit Permendikbud tentang Satgas PPKS, induk dari organisasi UI yang menangani dugaan pelanggaran itu di bawah Biro Transformasi, Manajemen Risiko, dan Monitoring Evaluasi (TREM) yang telah  menangani SIPDUGA sebelumnya. Jadi, TREM itu unit kerja terkait dengan evaluasi dan monitoring dan di situlah dia bertugas melakukan pengawasan. Di bagian itu ada manajemen risiko. SIPDUGA ditempatkan di situ. Tugasnya adalah melakukan pengawasan pelaporan terkait dengan terjadinya pelanggaran-pelanggaran,” tuturnya.

Terkait mekanisme penanganan, Ardiansyah memaparkan bahwa laporan yang masuk melalui SIPDUGA akan diverifikasi, lalu diteruskan oleh tim. Tim biasanya akan dibentuk panitia ad hoc Penyelesaian Pelanggaran Tata Tertib (P3T2). Ia kemudian menambahkan bahwa mekanisme tersebut telah ada sejak UI berdiri. Timnya pun akan direkrut sesuai dengan kriteria kasus yang terjadi.

“Di TREM akan dibentuk tim penyelesaian itu. Kalau yang kemarin ada Satgas PPKS, ya diselesaikan Satgas PPKS. Kalau ini nanti kita akan bentuk sesuai dengan kompetensi dari yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus tersebut,” lanjut Ardiansyah.

Ardiansyah menambahkan bahwa apabila pelapor membutuhkan pendampingan, maka pihak UI bersedia menyediakan bantuan.

“Kalau mereka butuh pendampingan, boleh dari PLK. Pokoknya pasti. Kalau misal dalam kasus tertentu butuh psikolog, ya pasti akan ada psikolognya. Kalau butuh pihak hukum, ya pasti akan ada ahli hukumnya. Sebetulnya, walaupun sudah ada Satgas PPKS, kita juga berharap pada saat itu seandainya butuh psikolog, mereka bisa mengajukan ke Klinik Makara."

Lathif pun menerangkan bahwa SIPDUGA hanya sistem yang menampung pelaporan terkait pelanggaran yang ada di UI. Penanganan untuk pemberian sanksi kepada pelaku akan diurus oleh P3T2. Selain itu, dalam publikasi, UI menyatakan bahwa pelaporan KS akan diserahkan melalui SIPDUGA, SIPP, dan PLK untuk layanan darurat. Sedangkan penanganan untuk korban akan diserahkan ke Klinik Makara dan Dirmawa.

Akan tetapi, pernyataan tersebut mendapat kritik dari Lathif. Menurutnya, penanganan kasus kekerasan seksual tidak bisa dilakukan sembarangan. Layanan pelaporan melalui SIPDUGA dan SIPP menjadikan layanan pelaporan tidak terpusat sehingga memungkinkan pelaporan tidak akan diproses karena ketidakpastian layanan yang berpotensi menimbulkan kebingungan bagi korban. Layanan korban melalui Klinik Makara dan Dirmawa pun dapat menimbulkan ketidakpastian layanan bagi korban.

"Setelah melapor melalui SIPDUGA, penanganan pelanggaran akan melewati P3T2, tetapi kami juga menilai (bahwa) penanganan KS melewati P3T2 tidak tepat," tuturnya.

Lathif mengungkapkan bahwa TAP MWA UI No.8/MWA-UI/2004 yang menjadi dasar hukum P3T2 menyamakan pelecehan seksual dan tindak asusila serta pelanggaran lainnya. Hal ini hanya akan menempatkan kesalahan pada korban, bahwa korban akan disalahkan atas kekerasan seksual yang dialaminya.

Tanggapan Satgas PPKS UI atas Pengalihan Pelayanan Pengaduan kepada SIPDUGA

Manneke Budiman, Ketua Satgas PPKS UI, menyatakan bahwa pihak kampus tidak mengadakan pertemuan khusus untuk membahas isu ini lebih lanjut dengan tim Satgas PPKS UI. “Tidak ada. Dan saya tidak heran. Mereka ‘buta huruf' soal KS, tapi sok tahu. Itu problem-nya,” ungkap Manneke.

Terkait efektivitas pengalihan penanganan KS kepada SIPDUGA, menurut Manneke, tidak ditentukan oleh saluran pelaporannya, tetapi oleh penanganan dan tindak lanjutannya.

“Setelah lapor ke SIPDUGA, lalu apa? Bagaimana menjamin konfidensialitas korban atau pelapor? Sesudah laporan masuk, bagaimana mekanisme penanganannya? Siapa di Pusat Administrasi Universitas (PAU) yang telah dilatih untuk tangani kasus KS? Adakah trust dari warga UI?” ungkapnya ketika diwawancarai Suara Mahasiswa UI.

Manneke menilai SIPDUGA sebagai pelaporan penanganan kasus kekerasan seksual tidaklah kompatibel jika ditilik dari ketentuan-ketentuan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.

“Kalau melihat ketentuan-ketentuan dalam Permendikbud No. 30 Tahun 2021, ya jelas jauhlah. Tidak kompatibel,” tuturnya.

Ia juga menuturkan bahwa Satgas PPKS dibentuk karena kekhususan sifatnya yang tidak dapat disamakan dengan kasus-kasus lain. Hal itulah yang mendorong adanya peraturan menteri yg khusus dalam mengaturnya. Sedangkan menurutnya, SIPDUGA tidak didesain secara khusus untuk menjadi kanal pelaporan KS.

Manneke pun berkomentar mengenai kriteria anggota yang perlu diperhatikan dalam pembentukan tim penanganan kasus kekerasan seksual.

"Syarat seseorang untuk menjadi anggota Satgas adalah pernah mendampingi korban KS, memiliki pengetahuan solid tentang KS dan seluk-beluknya (dibuktikan dengan publikasi, aktivisme, dll), dan mendapat pelatihan dari Pusat Penguatan Karakte (Puspeka) Kemdikbud. Silakan simpulkan mereka yang mengurus SIPDUGA memenuhi kriteria ini atau tidak."

Di akhir wawancara, Manneke berpesan bahwa pihak UI mesti memberi status yang pasti dan kokoh kepada Satgas PPKS dengan tidak dititip-titipkan, seperti anak yatim kepada unit-unit lain.

"Terakhir, Satgas itu membantu Rektor untuk ciptakan kampus aman dan bebas dari KS. Masa yang dibantu sama sekali tidak pernah ada pertemuan dengan unit yang khusus dibentuk untuk bantu dia? Apa gak ada minat atau tertarik sama sekali untuk tahu situasi di UI terkait KS? (Sebanyak) 78 kasus dalam setahun itu bukan (hal) normal atau baik-baik saja, lho. Itu darurat KS!”

Sementara itu, Lathif juga memberikan tanggapannya, “Kami berharap agar korban mendapatkan keadilannya dengan baik. Kami tidak dapat berharap apapun (kepada) UI atau SIPDUGA.”

Untuk memberi kenyamanan atau mengembalikan kepercayaan sivitas akademika UI terkait kasus kekerasan seksual tersebut, Lathif berpendapat bahwa pihak kampus harus memiliki komitmen yang kuat, tetap mengupayakan ruang aman, melaksanakan pencegahan serta penanganan KS, juga memfasilitasi tim Satgas PPKS yang baru dengan baik agar kejadian serupa tidak terulang.

Teks: Tri Handayani, Naswa Dwidayanti K.

Ilustrasi: Ferre Reza

Editor: Choirunnisa Nur Fitria

Pers Suara Mahasiswa UI 2024

Independen, Lugas, dan Berkualitas!