"Sudahi Bungkam, Lawan!": WMJ 2023 Tuntut Kebijakan Gender yang Adil dan Inklusif

Redaksi Suara Mahasiswa · 21 Mei 2023
4 menit

Sabtu (20/05), jalanan sekitar Pintu Barat Daya Monas dipenuhi oleh peserta aksi Women’s March Jakarta 2023. Tepat pukul 7 pagi massa aksi berkumpul di IRTI Monas, lalu bergerak melakukan long march ke titik aksi di Patung Merak. Slogan “Sudahi bungkam. Lawan!” tidak henti-hentinya diserukan massa selama berjalannya aksi.

Beberapa komunitas turut mengikuti aksi ini, di antaranya JALA PRT, Feminis Themis, Lembaga Alam Tropika Indonesia (Latin), Greenpeace, dan masih banyak lagi. Massa aksi yang tidak bergabung dengan komunitas manapun juga turut meramaikan, ada dari kalangan mahasiswa hingga pelajar.

Aksi ini bertujuan untuk menyuarakan kesetaraan dan perlindungan bagi perempuan, kelompok minoritas, rentan, dan marginal dengan menyampaikan 9 tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan-tuntutan tersebut antara lain meningkatkan keterwakilan politik perempuan, mengesahkan kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan dan diskriminasi, mencabut kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, menghentikan praktik-praktik berbahaya bagi perempuan dan kelompok marginal, mendorong kurikulum pendidikan yang komprehensif, adil gender, dan inklusif, melindungi perempuan dan kelompok marginal, memastikan berjalannya perlindungan sosial yang adil gender, menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, dan menyelesaikan konflik wilayah ASEAN atau Asia Tenggara.

Menjadi Perempuan Itu Sulit

Sebagian besar perempuan menghadapi masalah karena tumbuh di lingkungan yang patriarkis, sehingga perempuan menjadi kelompok yang rentan akan diskriminasi dan kerap menjadi korban dari ketimpangan gender. Keresahan ini dibawa oleh salah satu massa aksi bernama Jessica.

“Keresahan aku sebagai perempuan tuh, sekarang ‘kan sudah 2023, tetapi ternyata masih banyak ketimpangan. Misalnya, gaji perempuan dibedakan, perempuan masih rentan dapat kekerasan, KDRT, seperti yang sering diberitakan belakangan ini,” ungkap Jessica.

Hal ini turut diamini oleh Bambang, perwakilan Lembaga Alam Tropika Indonesia (Latin) yang ikut serta dalam aksi ini. Bambang berpendapat bahwa dalam hal lingkungan pun khususnya terkait pengelolaan hutan lestari masih terdapat ketimpangan di mana ruang bagi perempuan dalam kegiatan pengelolaan masih butuh perbaikan dari pemerintah.

“Misalkan, ada lembaga dalam pengelolaan hutan itu sebagian besar adalah laki-laki yang bertanggung jawab sebagai kepala keluarga. Namun, tidak diperhitungkan bagaimana misalkan ada kepala keluarga perempuan, begitu,” terang Bambang.

Ia juga menyampaikan bahwa berdasarkan data dari KataData serta riset Forth Foundation dan Kemendagri, keanggotaan perempuan sebagai pengurus dari Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) itu hanya sekitar 1,4 persen dari keseluruhan persentase yang ada. Menurutnya angka yang demikian terlalu kecil dan membuktikan tidak adanya upaya negara untuk mendorong perempuan ikut andil dalam pengembangan dan pengelolaan hutan.

“Jadi, negara harus rekognisi dan juga mengakui peran para perempuan dalam pengelolaan hutan agar lestari,” ujar Bambang. Ia berharap perempuan-perempuan yang menjadi anggota maupun pengurus dari kelompok Perhutanan Sosial atau Kelompok Tani Hutan (KTH) diakui tempatnya.

Salwa, salah satu mahasiswa yang ikut serta dalam aksi ini menyuarakan isu tentang pemaksaan berhijab dalam posternya. Ia sempat merasa bahwa tubuhnya bukan lagi miliknya karena cara berpakaian yang terus diatur oleh orang-orang di sekitarnya.

“Mungkin beberapa orang mikir, ini cuma pakaian, ini cuma hijab, gitu. Namun, bukan itu yang aku rasakan, masalahnya adalah aku nggak merasa aku berhak atas diriku sendiri, aku gak merasa tubuh ini milikku gitu,” jelas Salwa.

Tidak mudah baginya untuk berani melepas hijab, ia mengaku mendapat banyak tantangan dari keluarga dan teman-temannya yang menentang keputusannya. Namun, Salwa mengaku senang dan puas atas keputusannya karena sudah mengikuti apa yang dirinya inginkan.

Salah satu contoh kasus yang disebabkan oleh pemaksaan hijab di Indonesia adalah kasus yang terjadi di SMAN 1 Banguntapan, Yogyakarta. Seorang siswi dipaksa berhijab di sekolah dan trauma karena dipanggil dua kali oleh Bimbingan Konseling (BK). Siswi tersebut menerima perundungan dari guru-guru di sekolahnya, yang mengatakan kalau tidak pakai hijab, ia akan berbeda di sana. Hal ini membuat siswi tersebut depresi sehingga harus pergi ke psikolog secara rutin.

Diskriminasi Terhadap Kaum Minoritas dan Disabilitas

Tidak hanya perempuan yang sering mendapat diskriminasi, kaum minoritas dan marginal juga kerap mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari masyarakat.

Riska Carolina adalah salah satu peserta aksi Women’s March Jakarta yang menyuarakan isu LGBT di Indonesia. Ia menuntut kepada pemerintah agar Perda yang bersifat diskriminatif segera dihapuskan. Perda-Perda tersebut terkait Ketertiban Umum, Penyakit Masyarakat, Moralitas, dan Identitas.

Ia juga menuntut pemerintah membuat legislasi anti diskriminasi. Bagi Riska, dengan adanya stigma dan diskriminasi, ia dan kelompok marginal lainnya hanya mendapatkan kekerasan, represi, dan ketidakadilan.

“Jadi, yang kami minta tidak lebih dan tidak bukan hanyalah legislasi anti diskriminasi yang tidak hanya melindungi kami, tapi juga kelompok-kelompok yang memang rentan, tapi tidak pernah diakui kerentanannya oleh negara,” jelas Riska.

Kelompok-kelompok yang dimaksud Riska adalah masyarakat adat, penghayat kepercayaan, ODHA, dan ODHIV. Ia mengungkapkan bahwa kelompok ODHA dan ODHIV tidak diakui secara manusia dan hak-hak mereka tidak dilindungi.

Selain itu, Riska juga menyuarakan keresahannya terkait praktik konversi yang merupakan bentuk ketidakadilan bagi LGBT. Riska menyatakan bahwa sudah ada Perda diskriminatif terkait praktik konversi di Bogor, dan akan direplikasi di sepuluh daerah di Indonesia. Tujuan dari Perda ini adalah untuk mengkonversi LGBT.

“Emang kita mata uang? ‘Kan bukan. Jadi kamu saja yang sukanya pakai daster kemana-mana, disuruh pakai kemeja, itu ‘kan nggak nyaman. Apalagi kami, yang mana ini adalah identitas. Itu adalah bentuk penyiksaan, dan kami juga tidak ada yang perlu untuk direhabilitasi kalau kami tidak sakit apa-apa. Itu yang menurut kami adalah perbuatan penyiksaan dan itu yang harus kita lawan,” jelas Riska.

Ia menyampaikan bahwa menjadi LGBT bukan sesuatu yang dipilih, mereka memang terlahir demikian adanya sehingga tidak ada yang perlu diubah. Menurutnya, justru tekanan, penghakiman, dan pelecehan dari masyarakatlah yang membuat ia dan teman-temannya tidak berkembang menjadi manusia seutuhnya.

Jessica, penyandang disabilitas yang mengikuti Women’s March Jakarta kemarin pun turut menggaungkan tuntutannya. Ia menyuarakan isu terkait terbatasnya fasilitas umum untuk para penyandang disabilitas. Baginya, masih banyak tempat yang tidak memiliki akses ramah disabilitas.

Tidak hanya fasilitas umum yang kurang, kelompok disabilitas juga kerap mendapatkan stigma dari masyarakat. “Disabilitas rentan dapat stigma. Misalnya, ‘Dia kurang bisa ngelakuin apa-apa’. Kalau disabilitas mental itu rentan juga dapat stigma dalam pekerjaan dan mereka sering diremehkan,” ujar Jessica.

Jessica bersyukur bahwa lingkungannya sangat mendukungnya sebagai penyandang disabilitas. Namun, Jessica khawatir dengan teman-teman penyandang yang lain, karena belum tentu lingkungannya akan mendukung penyandang disabilitas. Maka dari itu, ia ingin membantu teman-teman sesama penyandang disabilitas untuk mendapatkan keadilan di masyarakat.

"Pancasila tuh ada lima ya, salah satunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu jangan dilupain,” pungkas Jessica.

Teks: Khadijah Putri

Foto: Farhan N., Ammara S.

Kontributor: Choirunnisa N., Siti Aura, Aulia Arsa

Editor: M. Rifaldy Zelan

Pers Suara Mahasiswa UI 2023

Independen, Lugas, dan Berkualitas!