Hingga sekarang, status tersangka masih disematkan pada Cho Yonggi, mahasiswa Filsafat UI yang ditangkap saat bertugas sebagai medis. Penangkapan ini seakan mengaburkan adanya kekerasan oleh aparat yang juga dialami oleh 13 orang lainnya, termasuk dua medis lain dan satu paralegal, yang ikut ditangkap dalam Aksi Hari Buruh Internasional lalu (1/5).
Demi menegakkan keadilan, 14 korban bersama Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) bergerak untuk melaporkan kekerasan dan pelanggaran kode etik dalam proses penyelidikan maupun penyidikan sebelumnya (6/5).
Kekerasan yang dilaporkan mencakup kekerasan fisik, verbal, hingga kekerasan seksual. Guntur, perwakilan dari TAUD, juga menyatakan bahwa pihaknya akan menambahkan laporan karena adanya dugaan tindak pidana penganiayaan dan pengeroyokan.
“Kami duga dilakukan oleh sejumlah orang yang mengenakan pakaian bebas tanpa atribut kepolisian,” ujar Guntur saat diwawancarai di Kantor Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) pada Senin (16/6).
Dalam laporan pelanggaran kode etik, aduan ini diajukan karena adanya tindakan aparat kepolisian yang diduga menyalahi prosedur selama proses penyelidikan dan penyidikan. Laporan itu kemudian diterima dengan cepat oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Biro Pengawas Penyidikan (Wassidik) Bareskrim Polri.
Di satu sisi, laporan aduan tindak pidana kekerasan terhadap 14 orang tersebut justru baru diterima pada malam harinya, setelah menunggu lama sejak pukul 15.00 WIB. Proses yang lama ini terjadi karena petugas menunggu persetujuan dari atasannya terlebih dahulu.
Merayakan Impunitas atau Menutup Ruang Kekerasan?
Kekerasan oleh aparat penegak hukum terhadap warga sipil bukan lagi persoalan insidental karena telah berulangkali terjadi dari waktu ke waktu. Penanganannya pun kerap tidak tuntas, seperti yang terjadi saat Reformasi Dikorupsi tahun 2019, Omnibus Law tahun 2020, hingga saat peringatan darurat tahun lalu. Bahkan, jika berkaca dari kasus Kanjuruhan, penegakan hukum terlihat setengah hati dan penuh ketimpangan.
Andrie Yunus, perwakilan TAUD, menyampaikan bahwa kekosongan penghukuman atau impunitas terhadap pelaku kekerasan dari kepolisian ini, akan menimbulkan keberulangan peristiwa serupa. Situasi ini bertentangan dengan tanggung jawab kepolisian dalam melindungi hak masyarakat untuk menyatakan kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat.
“Sebentar lagi institusi Polri akan ulang tahun di 1 Juli mendatang. Laporan ini semestinya menjadi momentum bagi mereka menerima laporan kami dan segera melakukan proses-proses hukum terhadap para pelaku,” kata Andrie.
Dia menyebutkan bahwa ini juga menjadi momentum bagi kepolisian untuk melakukan reformasi dari dalam.
“Sudah saatnya institusi Polri berbenah, harus 0% melakukan kekerasan dan memberikan jaminan terhadap perlindungan hak warga negara,” tambahnya.
Namun, reformasi kepolisian tidak akan mungkin terwujud jika RUU Polri yang masih dibahas oleh DPR, malah memperkuat praktik impunitas terhadap anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran hukum dan kejahatan.
Mengambil kutipan dari rilis pers Pusat Studi Hukum & Kebijakan lalu, impunitas ini berakar pada perbaikan mekanisme pengawasan internal yang diabaikan dalam draf pembahasan RUU tersebut. Bahkan hingga berita ini naik, belum ada respons resmi dari kepolisian mengenai pelaporan ini.
Teks: Intan Shabira
Editor: Naswa Dwidayanti Khairunnisa
Foto: Beritasatu
Desain: Naila Shafa Zarfani
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!