1917: Berpacu dengan Waktu dalam Perang Dunia I

Redaksi Suara Mahasiswa · 26 Februari 2021
3 menit

Judul : 1917
Sutradara : Sam Mendes
Produser  : Sam Mendes, Jeb Brody, Callum McDougall, dll.
Genre : War, Historical Drama
Tanggal Rilis  : 18 Januari 2020 (Indonesia)
Durasi   : 119 menit
Pemain : George McKay, Dean-Charles Chapman, Benedict Cumberbacth, dll.

“Time is the Enemy”


Bukan kemiskinan, bukan kemalasan, bukan juga saingan, waktu memanglah musuh sejati manusia. Keberhasilan maupun kegagalan yang mereka peroleh di dunia ini tidak terlepas dari campur tangan waktu. Segala sesuatu yang pernah disesali manusia mungkin tidak akan pernah terjadi jikalau mereka menyadari bahwa time is the enemy. Tagline tersebut memang mendefinisikan film 1917 dengan tepat, tentang gambaran sebuah ketidakmungkinan yang disebabkan oleh waktu.

Terinspirasi dari kisah nyata pada Perang Dunia I, 1917 berhasil dibanjiri pujian dari para kritikus film. Tayangan yang pantas disebut mahakarya ini menceritakan dua orang kopral muda Inggris, William Schofield (George McKay) dan Tom Blake (Dean-Charles Chapman), yang ditugaskan untuk mengirim sebuah pesan kepada Kolonel Mackenzie (Benedict Cumberbatch), pemimpin pasukan garis terdepan perang di Western Front yang terletak di sekitar utara Prancis.

Pada 6 April 1917, Jerman yang kala itu sudah terdesak, memutuskan untuk menarik mundur pasukannya dari Western Front. Hal tersebut merupakan kabar gembira bagi pasukan batalion kedua dalam Resimen Devonshire yang berada di sana dan terdiri dari 1.600 orang itu, termasuk kakak kandung Blake. Mereka merencanakan serangan terakhir untuk menghabisi sisa-sisa pasukan Jerman. Akan tetapi, Jerman ternyata sudah menyiapkan sebuah rencana berupa jebakan, di mana mereka akan menggempur habis pasukan Inggris di sana dengan seluruh kekuatan artileri mereka. Jenderal Erinmore mengetahui rencana itu. Namun, mengingat semua saluran komunikasi di sana sudah terputus secara total, ia hanya bisa menyampaikan pesan peringatan dalam bentuk surat secara langsung, menggunakan manusia sebagai transporter. Mereka harus menyelesaikannya dengan tepat waktu, melintasi wilayah musuh yang tak bertuan hanya dalam waktu kurang dari 24 jam, agar tidak terjadi pertumpahan darah yang lebih besar.

Sam Mendes, sang sutradara, berhasil membawa suasana mendebarkan dalam film. Mengingat sisa waktu yang ada sebelum pasukan dari Resimen Devonshire “menyerahkan diri” ke dalam jebakan, misi tersebut memang terdengar mustahil. Sepasang sahabat, Schofield dan Blake, berpacu dengan waktu dan melawan segala ketidakmungkinan yang mereka hadapi, namun tetap yakin bahwa mereka akan berhasil. Terlebih, beriringan dengan keberhasilan itu, kakak Blake akan terselamatkan juga. Mendes juga sukses menyampaikan pesan berupa semangat yang membara meski pemain terus berlomba dengan waktu. Semangat mereka dapat dirasakan oleh penonton dengan jelas. Berbagai drama disajikan selama perjalanan misi mereka dengan beban 1.600 nyawa di pundak. Perjalanan mendebarkan yang berpacu dengan waktu, melalui keseraman tanah tak bertuan, melihat ratusan mayat, sisa-sisa ranjau, sampai bertemu prajurit dari pihak lawan menjadi bumbu dramatis yang disajikan di dalam film ini. Film 1917 membawa pesan tersirat kepada para penonton bahwasannya semangat kita tidak boleh runtuh untuk mencapai sesuatu, bahkan dalam keterbatasan waktu sekalipun.

Keistimewaan lain dari mahakarya ini terletak pada eksekusi filmnya yang disajikan dalam one-long-shot, yang membuat penonton merasa seakan-akan berada di medan perang secara terus menerus, tanpa adegan yang terlihat dipotong. Meskipun bukan satu-satunya atau malah bukan yang pertama yang menggunakan konsep tersebut, film ini tetap memiliki pencapaian teknis yang luar biasa. Sinematografi, efek visual dan suara, musik yang membangkitkan atmosfer mencekam, serta akting apik dari para pemainnya juga merupakan keunggulan karya ini. Film 1917 berhasil mencampur aduk emosi penonton dan membawa simpati luar biasa setelahnya dengan menampilkan adegan-adegan dramatis sebagai dampak dari peperangan. Oleh karena itu, film ini juga mampu membawa pesan perdamaian dengan menunjukkan bahwa manusia tidak ada memperoleh keuntungan dari peperangan. Tidak heran jika 1917 meraih tiga Piala Oscar 2020, mendapat respon positif, bahkan dibanjiri pujian oleh para kritikus film.

Berbeda dengan film-film pemenang Piala Oscar yang cenderung mengangkat plot rumit, kali ini tidak banyak yang ditawarkan dalam plot 1917. Film ini tidak mengandung konflik yang berarti selain konflik utama yang diangkat. Sebagai film perang, 1917 tidak terlalu banyak menyajikan adegan selayaknya film perang pada umumnya, seperti desingan peluru, ledakan, dan sebagainya. Hal tersebut sesungguhnya membuat atmosfer peperangan kurang terasa. Aktor hebat seperti Benedict Cumberbatch dan Colin Firth juga tidak muncul dalam banyak adegan. Sejatinya, 1917 memang sebuah film yang menawarkan pengalaman visual luar biasa yang dijadikan sebagai nilai jualnya.

Akhir kata, terlepas dari kekurangan tersebut, eksekusi luar biasa dalam pembuatan 1917 menjadikannya sebuah mahakarya dalam dunia perfilman modern. Kecanggihan teknologi yang membuat film ini seolah hanya dibuat dengan sekali take saja tidak boleh diabaikan karena merupakan trik yang fenomenal. Tekanan waktu yang mencekam dalam 1917 juga membuat penonton terhanyut, memunculkan sebuah asumsi tentang berharganya setiap detik yang dimiliki manusia. Film ini mampu menyentuh hati dan membawa penonton menyelami estetika luar biasa sebuah mahakarya. Untuk itu, 1917 merupakan film wajib tonton dari segala kalangan, baik penyuka film perang maupun bukan.

Teks: Radite Rahmadiana
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!