Pada Selasa (5/8), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan siaran pers bertajuk “Kongkalikong” Polisi dalam Memelihara Impunitas dan Kekerasan terhadap Massa Aksi May Day 2025 di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat.
Dalam konferensi pers tersebut, Teguh Apriyanto dan Cho Yong Gi menceritakan serangkaian intimidasi yang dialami oleh empat belas korban kekerasan aparat saat mengikuti aksi May Day 2025. Di antaranya adalah penculikan dan penyiksaan yang terjadi di sekitar area Universitas Indonesia (UI).
Kejadian bermula saat terjadi penangkapan terhadap empat belas orang dari massa aksi May Day 2025. Salah satunya yaitu Cho Yong Gi, mahasiswa Filsafat UI yang saat itu berperan sebagai bagian dari tim medis. Para korban kemudian dibawa ke Polda Metro Jaya untuk diinterogasi tanpa bukti yang jelas.
Tanggal 17 Juni, para korban yang didampingi oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) melaporkan empat kasus pidana ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim). Di antaranya tiga kasus pengeroyokan/penganiayaan, serta satu kasus kekerasan seksual.
Korban dan TAUD juga melaporkan adanya pelanggaran etika dan profesi kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri, serta mengajukan pengaduan kepada Biro Pengawas Penyidikan (Rowassidik) Bareskrim Polri. Keenam laporan ini diajukan langsung kepada kepada Mabes Polri sebagai Instansi yang membawahi Polda Metro Jaya.
Alih-alih mendapatkan kabar yang baik dari Mabes Polri, para korban justru diberitahu pada 19 Juni bahwa laporan yang mereka ajukan dilimpahkan kepada Polda Metro Jaya, padahal institusi tersebut merupakan pihak yang dilaporkan. Korban kemudian dipanggil ke unit yang sama, yakni tempat mereka sebelumnya diinterogasi setelah penangkapan
Keesokan harinya, empat belas korban mulai mengalami serangkaian upaya intimidasi. Tempat tinggal salah satu korban dibobol dan digeledah saat ia sedang tidak berada di rumah. Tak hanya itu, para korban juga mengalami serangan digital berupa panggilan berulang dari nomor tak dikenal, serta upaya peretasan akun Whatsapp yang terjadi setiap jam 01.00 dini hari.
Teguh dan Cho Yong Gi juga mengungkapkan bahwa kawasan tempat tinggal dan aktivitas mereka kerap diawasi oleh orang-orang yang diduga merupakan penyidik dari Polda Metro Jaya. Pengintaian ini selalu terjadi setiap kali korban hendak mendatangi lembaga yang menangani kasus penangkapan dan kriminalisasi tersebtu.
Bahkan, salah satu korban pernah diikuti oleh seseorang yang mengenakan seragam militer. Selain itu, mereka juga menemukan bangkai tikus di dasbor motor yang biasa digunakan oleh korban di pagi hari menjelang audiensi dengan kementerian/lembaga.
Puncaknya terjadi pada subuh tanggal 30 Juli 2025. Salah satu dari 14 korban, Nanda (bukan nama asli), ditabrak oleh sebuah Xenia hitam tak dikenal, lalu disekap di dalam mobil tersebut oleh lima orang yang menggunakan topeng balaclava. Lokasi kejadian hanya berjarak 200 meter dari Gerbang Kukusan Teknik (Kutek) UI.
Selama 40 menit, ia disiksa samnil diinterogasi mengenai keterkaitan dengan sejumlah orang yang tampaknya juga dicurigai oleh para penculik. Salah satu pelaku menyundut wajah Nanda dengan rokok setiap kali jawaban yang ia berikan tidak memuaskan. Setelah merampas kartu identitasnya, ia dibiarkan kembali kembali ke tempat tinggalnya.
Setibanya di rumah, Nanda kemudian menggunakan alat komunikasi yang terdapat di ruangan CCTV untuk berteriak meminta pertolongan. Ketika korban kriminalisasi lainnya bergerak menuju lokasi tempat Nanda ditabrak dan disekap, mereka melaporkan bahwa di tengah jalan terdapat dua mobil terparkir dengan seseorang berdiri di dekatnya, seolah tengah mengawasi situasi.
Melalui wawancara bersama Suara Mahasiswa UI, salah satu korban menyatakan bahwa hingga saat ini ia bersama korban lainnya masih terus mengalami intimidasi fisik dan digital, serta penguntitan.
Kesaksian ini menguatkan dugaan bahwa kasus-kasus kriminalisasi tersebut bukanlah insiden terpisah, tetapi mencerminkan pola sistematis yang perlu ditanggapi secara serius sebagai potensi pelanggaran hak asasi manusia.
“Kami semua sudah sepakat untuk tidak akan takut, tidak akan diam, dan tetap akan terus melawan,” tukas Teguh dalam siaran pers tersebut.
Dilansir dari akun X resmi @KontraS, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan bahwa menurut TAUD, pelimpahan laporan dari Mabes Polri ke Polda Metro Jaya perlu dipandang sebagai bentuk undue delay dan impunitas.
Atas dasar ini, TAUD menegaskan 5 poin desakan:
1. Kapolri untuk melakukan supervisi dan memerintahkan penarikan kembali pelimpahan LP dan pengaduan dari Polda Metro Jaya.Kabareskrim, Kadiv Propam, dan Karowassidik Mabes Polri untuk menindaklanjuti LP.
3. Kompolnas untuk menindaklanjuti sepenuhnya ajuan.
4. Komnas HAM dan Perempuan untuk memastikan perlindungan dan jaminan penegakan hukum.
5. LPSK untuk segera memberikan jaminan perlindungan hukum bagi korban kriminalisasi.
Teks: Cut Khaira
Editor: Dela Srilestari
Foto: Istimewa
Desain: Aqilah Noer Khalishah
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas