Akhir-akhir ini nama Kota Depok sering diperbincangkan dengan berbagai isu sosial yang menyelimutinya, mulai dari awal kemunculan kasus Covid-19 hingga drama babi ngepet yang baru saja menggemparkan masyarakat Indonesia.
Berbicara mengenai Kota Depok, mungkin yang muncul di pikiran kita adalah kota dengan banyak apartemen yang menjulang, riuhnya jalan Margonda, atau kota tempat bercokolnya universitas terbaik yang menyandang nama Indonesia. Terlepas dari hal-hal yang disematkan pada kota ini, Depok merupakan kota yang sarat akan sejarah. Banyak hal menarik yang perlu diketahui terkait Kota Depok, di antaranya adalah peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di dalamnya. Berikut adalah beberapa peninggalan sejarah yang ada di Kota Depok.
Rumah Cimanggis
Peninggalan masa kolonial di kota Depok yang masih dapat kita saksikan wujud fisiknya, salah satunya adalah Rumah Cimanggis. Keberadaan rumah ini merupakan saksi bisu adanya praktik kolonisasi yang dilakukan oleh kongsi dagang belanda (VOC). Rumah yang terletak di kelurahan Cisalak, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok ini merupakan rumah milik Albertus van Der Parra, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-29 dan bertugas pada tahun 1761-1775. Bangunan ini didirikan pada rentang waktu tahun 1771-1775 sebagai hadiah kepada istri Albertus, yakni Adrianna Johanna Bake yang merupakan pemilik dari Pasar Cimanggis dan kini dikenal sebagai Pasar Pal. Lokasi rumah Cimanggis ini juga relatif dekat dengan Pasar Pal, kurang lebih hanya satu kilometer jaraknya.
Warga sekitar akrab menyebut rumah tua ini dengan sebutan rumah Cimanggis, gedung gede, atau rumah seribu genteng karena kemegahan bangunan ini. Sepeninggal Yohana, rumah ini dimiliki oleh pengusaha bernama David Smith. Setelahnya tidak ditemukan lagi status kepemilikan dari rumah tua bersejarah ini. Hingga diketahui pada tahun 1930-an rumah tersebut dimiliki oleh keluarga Samuel de Meyer.
Pada Agresi Militer 1, Belanda menggunakan rumah ini sebagai markas tentara. Kemudian, pada tahun 1964, rumah ini dijadikan sebagai bagian dari kompleks pemancar Radio Republik Indonesia (RRI). Kemudian era Orde Baru pada tahun 1978 dijadikan sebagai rumah dinas para karyawan RRI.
Keadaan rumah bersejarah bergaya Eropa ini sekarang memprihatinkan. Setelah tidak difungsikan lagi sebagai rumah dinas karyawan RRI dan tidak berpenghuni lagi, rumah ini dipenuhi semak belukar, atap bocor dan pada bagian tertentu juga runtuh. Tahun 2016 sebagian besar konstruksi bangunan runtuh, mulai dari atap, lantai, sisi temboknya, hingga ornamen yang ada di dalamnya.
Sejarawan kota Depok, J.J Rizal dalam sesi wawancaranya oleh liputan 6 mengatakan, “Rumah Cimanggis ini hanya contoh kecil dari fenomena gunung es, di mana situs-situs sejarah tidak punya perlindungan, sangat rentan, sangat rapuh dan dianggap tidak ada artinya lagi bagi kekinian kita.”
Bangunan ini telah ditetapkan sebagai salah satu situs cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Depok Nomor:593/289/Disporyata/Huk/2018. Upaya revitalisasi pun telah digaungkan oleh pemerintah kota pada tahun 2018. Pada tahun 2019 sudah dilakukan Detail Engineering Design yang mana hal ini menjadi langkah awal proses revitalisasi. Kemudian pada September 2020 mulai dilakukan penataan dan targetnya pada tahun ini rampung.
Gereja GPIB Immanuel Depok
Gereja yang berlokasi di jalan Pemuda, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok ini juga memiliki sisi historis yang tak kalah menarik untuk diketahui. Bangunan yang berkaitan erat dengan berdirinya Kota Depok ini didirikan pada tahun 1713. Nama gereja saat pertama kali didirikan yaitu “De Protestanse Kerk”. Awal keberadaannya ditujukan sebagai rumah peribadatan bagi para budak yang dimerdekakan oleh Cornelis Chastelein.
Chastelein merupakan sosok tuan tanah yang kiprahnya tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Kota Depok. Hidup sebagai pegawai tinggi VOC telah memberikan beliau hidup berkecukupan di tanah jajahan. Melalui kekayaan yang ia miliki, Chastelein membeli lahan untuk mengembangkan sektor agraria di wilayah selatan Batavia. Ia membeli tanah-tanah di kawasan Batavia dan sekitarnya, khususnya wilayah bagian selatan. Di antaranya Sringsing (Srengseng), Depok, Mampang, dan Karanganyar (Cinere).
Beberapa kali tempat ibadah yang sudah ada ratusan tahun ini mengalami renovasi. Pada awal pembangunannya, gereja ini cukup sederhana dengan dinding dari anyaman bambu. Kemudian pada 1792 gereja mengalami perbaikan dengan bahan pokok bangunanya menggunakan batu. Adanya petaka letusan Gunung Krakatau yang berlangsung pada 26-27 Agustus 1883 telah memberikan dampak destruktif bagi Hindia Belanda, bahkan dunia, bahkan data yang dicatat oleh pemerintah Hindia Belanda menyebutkan korban jiwa mencapai 36.417 jiwa.
Tentunya ini juga berdampak pada kerusakan bangunan gereja dan mengakibatkan para jemaat beribadah di bangunan darurat. Hingga pada tahun 1854 dibangunlah gereja ini secara permanen. Kemudian pada tahun 1989 sebagian besar bangunan mengalami perombakan dan perluasan. Adanya renovasi ini mungkin menjadi penyebab tidak ditetapkannya gereja ini sebagai salah satu bagian dari cagar budaya, yang mana mengharuskan setidaknya bangunan memiliki orisinalitas sebanyak separuh dari yang telah direnovasi atau revitalisasi.
Chastelein meninggal pada tahun 1714 dan meninggalkan wasiat yang mana berisi tentang pembebasan para budaknya dan tanah yang dimiliki akan diwariskan kepada bekas budaknya. Tanah tersebut dapat dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari dan dipergunakan juga untuk keturunan-keturunannya. Keberadaan gereja GPIB Immanuel Depok juga turut memelihara keberadaan komunitas yang dibuat oleh Chastelein dan telah ada sejak ratusan tahun ini. Melalui gereja ini juga diletakkan harapan terkait keberlangsungan komunitas ini.
Rumah Tua Pondok Cina
Di samping Jalan Margonda yang tak pernah sepi pengendara ini terdapat sebuah rumah kuno yang dibangun pada era kolonial abad ke- 19. Bangunan ini berada di samping Mall Margo City, yang siapa saja dapat melihatnya ketika memasuki pelataran salah satu mall di Kota Depok tersebut. Rumah tua Pondok Cina adalah salah satu jejak peninggalan keberadaan orang-orang Tionghoa di kawasan yang sekarang disebut Kota Depok. Rumah ini dibangun pada abad ke-19 oleh seorang arsitektur Belanda. Kemudian dimiliki oleh Lauw Tek Lock yang mana dia adalah dikenal sebagai saudagar kaya. Selanjutnya, rumah ini diwariskan kepada sang putra yang bernama Lauw Tjeng Shiang.
Sebelum bangsa Eropa menjalin hubungan dengan pribumi Nusantara, orang Tionghoa lebih dahulu telah sampai di kawasan ini dan banyak dari mereka yang bermukim di Jawa pada era kurun niaga atau sekitar abad ke-15. Banyak dari penduduk Tiongkok yang sukses berdagang di Batavia, hal ini menjadi daya tarik tersendiri dan memicu adanya imigran. Sebagian imigran memilih mendiami wilayah Ommelanden (daerah sekitar Batavia) yang salah satunya adalah Depok.
Penyebutan nama Pondok Cina sudah ada sejak masa Chastelein yang mana dikenal sebagai tuan tanah Depok pada abad ke-17. Ketika masa Chastelein berkuasa di Depok telah terjadi proses hubungan perdagangan antara pedagang Batavia dan penduduk Depok, para pedagang Batavai, tak terkecuali para pedagang Tionghoa, telah menyuplai kebutuhan para penduduk Depok.
Di masa sekarang, lokasi ini menjadi sangat ramai karena lokasinya yang strategis di antara dua pusat perbelanjaan besar di Kota Depok. Rumah ini pernah dialihfungsikan menjadi kafe yang mana menawarkan sensasi kongko dengan nuansa masa kolonial. Kondisinya pun masih kokoh berdiri, meski terlihat telah mengalami perbaikan di beberpa bagiannya. Kesan neo-klasik bergaya ala Eropa dengan sedikit sentuhan filosofi China-nya tidak begitu saja hilang, nampak pada bagian depan bangunan dengan tiang-tiang besar penyangganya dan tiga pintunya. Namun, keberadaannya kini tidak lagi nampak di lihat dari sudut jalan margonda, karena terhalang oleh proyek pembangunan Margo Hotel.
Jembatan Panus
Jembatan Panus didirikan oleh insinyur Andre Laurens pada tahun 1917 silam. Alasan Laurens membangun Jembatan Panus adalah untuk membantu para pribumi Depok yang pada saat itu kesulitan dalam membawa hasil taninya ke Bogor dan Jakarta. Selain itu pada masa perang Jembatan Panus juga sering digunakan untuk tank dari pasukan belanda menyeberang.
Sejarawan Depok, Ferdy Jonathan mengatakan bahwa nama Panus didapatkan dari warga yang tinggal pada ujung jembatan bernama Stevanus Jonathans. Stevanus sering diminta oleh warga untuk menjaga jembatan dikarenakan tempat tinggalnya yang berada di ujung jembatan. Lambat laun namanya semakin terkenal dan akhirnya jembatan inipun dinamakan ‘Jembatan Panus’.
Walaupun pada zamannya jembatan ini sangat kokoh, bahkan kuat untuk mewadahi tank-tank besar, pada saat ini kekuatannya sudah meluruh. Ketua Umum Depok Heritage Community, Ratu Farah Diba menjelaskan bahwa terdapat lubang yang cukup luas pada salah satu tiang penyangga jembatan. Hal ini menyebabkan getaran apabila kendaraan besar dan bermuatan berat melewati Jembatan Panus. Meskipun demikian, warga masih dapat menggunakan Jembatan Panus sebagai tolak ukur ketinggian air untuk antisipasi banjir. Meski sangat disayangkan, kondisi bangunan ini yang sudah memprihatinkan sampai saat ini pihak PUPR Kota Depok belum juga melakukan tindakan lanjutan.
Masjid Jami’ Riyadussolihin
Sumber: https://merahputih.com/post/read/jejak-sunan-kalijaga-di-depok
Masjid Jami’ Riyadussolihin, masjid tak berkubah yang juga sering dikatakan sebagai peninggalan Sunan Kalijaga. Masjid yang terletak pada Kampung Cikambangan ini juga pernah diberitakan sebagai Masjid paling tua yang ada di Kota Depok. Akan tetapi, sejarawan JJ Rizal berpendapat bahwa ini hanya keyakinan warga sekitar dan diperlukan uji sejarah jika ingin memastikan kebenaran dari berita ini. Selain itu, rumor ini juga dibantah oleh Ketua Dewan Kemakmuran, Zaenal Arifin. Ia menyanggah pernyataan ini karena masjid ini baru didirikan pada tahun 2000 dan baru digunakan sebagai tempat beribadah pada tahun 2002. Arifin juga menjelaskan bahwa ia kenal dengan orang orang yang dahulu terlibat dalam pembangunan masjid ini.
Lantas mengapa banyak pihak kerap mengambil kesimpulan bahwa Masjid Jami’ Riyadussolihin ini merupakan peninggalan Sunan Kalijaga sekaligus masjid tertua yang ada di Depok? Beberapa waktu yang lalu, H Medan yang mengaku sebagai sesepuh Kampung Cikambangan, menyatakan bahwa bangunan ini dibangun oleh Raden Said. Kemudian, Zaenal Arifin membantah pernyataan tersebut. Arifin mengungkap bahwa H Medan bahkan bukan merupakan sesepuh dari Kampung Cikambangan. Arifin melanjutkan pernyataannya dan mengatakan bahwa, banyak pihak yang menyebarluaskan rumor-rumor tersebut karena infrastruktur dan lokasi masjid ini. "Di satu sisi orang kan melihat dari bentuk bangunan karena sudah tua, padahal dulu kita bangun ini karena biaya seadanya. Dibangun pas tahun 2000, di sini juga kan di pedalaman. Jadi warganya enggak banyak," jelasnya. Terlepas dari segala rumor yang beredar terkait Masjid Jami’ Riyadussolihin, merupakan masjid dengan model bangunan yang unik.
Monumen Chastelein
Menjadi salah satu destinasi wisata yang terkenal, Tugu Cornelis Chastelein memiliki sejarah yang panjang dan unik. Nama ‘Cornelis Chastelein’ berasal dari orang Belanda yang tiba di tanah air Indonesia pada tahun 1674. Pada saat itu beliau bekerja dan tinggal di Batavia. Selain itu Chastelein juga memangku jabatan yang tinggi di Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Meskipun bekerja untuk VOC, Chastelein justru kurang setuju dengan gaya pemerintahan pada saat itu. Ia mengatakan bahwa untuk menciptakan kestabilan dalam lahan koloni, maka para pekerja harus diberi kebebasan dan dipenuhi kebutuhan hidupnya. Lambat laun, metode pemerintahan pada lahan Depok berjalan secara demokratis, dan para budak ikut menjalaninya.
Sebelum Chastelein wafat, ia menulis wasiat yang berisi memerdekakan budaknya dan memberikan lahan Deponya kepada para budak. Terlebih ia juga tak pernah memanggil budaknya dengan sebutan ‘budak’ namun dengan istilah ‘mijn volk’ atau masyarakatku. Tahun 1914, Tugu Cornelis Chastelein dibangun sebagai perayaan kematian Chastelein yang ke-200 dan bentuk apresiasi masyarakat Depok kepadanya.
Akan tetapi, pada tahun 1960-an, monumen Cornelis Chastelein dirobohkan. Banyak asumsi soal perusakan tugu ini, ada yang mengatakan karena Chastelein anggota VOC sehingga membawa ingatan penjajahan, ada pula yang mengatakan untuk dibangun menjadi markas kepolisian depok, dan yang terakhir karena Presiden Soekarno yang menghancurkan banyak monumen untuk menutup luka dari kekejaman Penjajah Belanda pada masa lampau. Meskipun demikian, pada hari kematian Chastelein yang ke-300 atau 28 Juni, 2014, Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) kembali meresmikan Monumen Cornelis Chastelein. Pembangunan kembali ini tentunya membangkitkan banyak kontroversi baik pada dunia maya dan dunia nyata. Namun, pemerintah akhirnya tetap menyetujui pembangunan ini dengan syarat menghapus prasasti yang berisikan harapan Cornelis yang sudah tidak sesuai dengan kelangsungan masyarakat Depok pada saat ini.
Judul: 6 Lokasi Bersejarah di Depok
Penulis: Rifki Wahyudi, Fadhila Afrina
Editor: Faizah Diena
Foto: Istimewa
Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!