Logo Suma

Ada Paksaan Tanda Tangan di Balik Status Tersangka Mahasiswa UI

Redaksi Suara Mahasiswa · 5 Juni 2025
4 menit

Bersama 13 orang lainnya, Cho Yonggi, mahasiswa Filsafat UI, ditetapkan sebagai tersangka meski tengah bertugas sebagai relawan medis. Sebelumnya, ia sempat ikut ditangkap dalam aksi Hari Buruh Internasional di Jakarta (2/5). Di balik penangkapan itu, muncul dugaan pemaksaan tanda tangan berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap Yonggi.

"Baru istirahat lima menit, saya dibangunkan dan langsung diminta tanda tangan BAP. Padahal, saya masih mimisan dan pusing. Saat saya baca, keterangannya tidak sesuai dengan yang saya ucapkan saat interogasi," ucap Yonggi dalam konferensi pers yang digelar Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) di depan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya (Ditreskrimum PMJ) kemarin (3/6).

Bersama perwakilan program studi Ilmu Filsafat UI, TAUD memenuhi panggilan kedua dari kepolisian di PMJ. Pemanggilan lanjutan ini dilakukan setelah ditetapkannya 14 orang yang ditangkap dalam aksi May Day 2025 sebagai tersangka, termasuk Yonggi.

Saat penangkapan, Yonggi mengaku mengalami kekerasan fisik sebelum akhirnya dipaksa masuk ke tahanan mobil dan dibawa ke Polda.

Kita dipisahin, tapi malah bikin berdebar (lagi). Setelah itu sekitar 3-5 menit, penjaga mobilnya datang, (terus kami) diangkat paksa, masukin (ke) mobil, lalu dibawa ke Polda sampai sore,” kata Yonggi.

Yonggi bukan satu-satunya relawan medis yang dijadikan tersangka. Selain dirinya, tiga orang lain dari tim medis dan paralegal ikut ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian.

“Tim paralegal dan medis ini diduga melakukan tindak pidana tidak berdasarkan perintah atau dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah 3 kali atau atas nama penguasa yang berwenang yang diatur di pasal 216 dan 218 KUHP,” ujar Kepala Bidang (Kabid) Humas PMJ Kombes Pol Ade Ari dalam konferensi pers yang diwartakan oleh Kompas kemarin.

Ditangkap Paksa Saat Bertugas Hingga Dijadikan Sebagai Tersangka

Cho Yonggi memenuhi pemanggilan kedua ke Bareskrim dengan pendampingan hukum dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD).

Sebelumnya, TAUD telah menunda panggilan pertama. Permohonan izin perkara pun dilakukan melalui Surat Perintah Penghentian Penyedikan (SP3). Akan tetapi, keduanya ditolak. Belly, perwakilan TAUD menyatakan sikap tim advokasi terhadap kelanjutan proses hukum para demonstran.

“Kami pun menyayangkan, dari Tim Advokasi untuk Demokrasi, bahwa dari Polda Metro Jaya, mereka lebih cenderung melanjutkan kasus ini, di mana hari ini dilanjutkan dengan panggilan kedua. Padahal, kita sama-sama tahu bahwa dengan berlanjutnya kasus ini, ini adalah sebuah bentuk kriminalisasi, sebuah bentuk penyempitan terhadap ruang sipil bagi masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa.”

Pasalnya, mereka yang ditangkap dan melakukan tindakan represif atas dasar pembubaran massa mengalami kekerasan yang berlebihan. Kekerasan berlebihan yang dilakukan aparat sudah termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius, sebut Amnesty (2/5).

Mengutip siaran pers yang dikeluarkan, beberapa di antaranya adalah penggunaan kekuatan berlebihan yang tidak sah oleh polisi, kekerasan fisik juga penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, penangkapan semena-mena, intimidasi, pemeriksaan dan penggeledahan tidak sah, pengerahan polisi berpakaian sipil yang tidak sah, serta terhadap serangan jurnalis dan pekerja medis.

Cho Yonggi sendiri mengalami tindak kekerasan berupa pitingan, pemukulan, juga tertundanya perhatian medis saat mengemban tugas sebagai medis di May Day (1/5).

Hari itu, ketika hendak memberikan bantuan kepada sekelompok massa yang mengalami pendarahan dan luka robek, ia dan tim relawan datangi sekelompok aparat. Aparat diduga melihat GoPro yang terpasang di helm relawan medis dan termakan provokasi yang menuduh tim relawan melemparkan sesuatu.

"Ditarik, dibanting ke bawah, dipiting meniru (sama) dua orang, diinjak. Di bagian leher itu diinjak. Satu sepatu di sini (leher), terus satu lagi menutup (dada). Habis itu, ya, ini sudah memukul babi buta. Enggak tahu siapa yang memukul, enggak tahu dari mana. Itu sudah setelah memukul. Terus, ada Kak Oji. Dia datang. Dia masuk. Dia nutupin, pasang badan untuk menghentikan pemukulan itu."

Cho Yonggi menambahkan, Oji atau Jorjiana, paralegal sekaligus mahasiswa S2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) mengalami tindak kekerasan fisik berupa penutupan, pemukulan, serta kekerasan lainnya saat ingin melerai pemukulan terhadapnya. Oji juga menjadi salah satu relawan yang ditetapkan sebagai tersangka dan harus memenuhi panggilan ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) PMJ.

Tak hanya itu, kekerasan psikis juga turut dialami oleh Yonggi melalui tertundanya perhatian medis setelah dibawa pergi menggunakan mobil tahanan. Kurang lebih pemeriksaan berlangsung selama jam 9 jam, yakni dari pukul 11 ​​malam hingga jam 6 pagi.

"Iya, kalau di pemeriksaan itu enggak ada kekerasan fisik (secara) langsung. Tapi, sekitar pukul 11 ​​malam itu, saya ada pendarahan atau mimisan. Sampai jam 01.30 subuh itu masih berlangsung pemeriksaannya."

Cho Yonggi mengubah pernyataan atau keterangan pada surat dokter maupun berkas yang ditawarkan kepadanya. Ia mengaku harus diperiksa oleh dokter polisi beberapa kali selama pemeriksaan karena mengalami demam dan mimisan yang tidak kunjung berhenti.

"Saya misalnya mengucapkan ABC, tapi tulisan surat yang ditandatangani itu CBA, XYZ lah. Pokoknya, itu tidak sesuai sama apa yang saya nyatakan. Dan itu menurut saya berbahaya."

Pendampingan hukum pun sempat memakan waktu cukup lama sebelum ia ditemukan dengan tim advokasi. Terlebih lagi, kekerasan fisik dan psikis yang ia alami cukup berbekas dalam ingatan.

Mahasiswa Ditangkap, Kampus UI Senyap

Hingga kini (4/6), pihak kampus belum memberikan pernyataan resmi dalam menanggapi penetapan tersangka ini.

Meski begitu, kesunyian rektorat bukan berarti Yonggi berdiri sendiri tanpa dukungan. Selain pendampingan hukum dari TAUD, dukungan juga datangan dari Komunitas Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia (KOMAFIL UI) hingga dosen Taufik Basari dan Ketua Program Studi Ilmu Filsafat Ikhaputri Widiantini.

Setelah penetapan tersangka ini mendapat banyak sorotan, Aliansi BEM Se-UI pun ikut memberikan dukungan melalui pernyataan sikap melalui Instagram @bemfibui dan @bemui_official.

Sebenarnya, bukan hanya Yonggi yang terjerat. Dua relawan medis lainnya yang juga ikut ditangkap dan kini berstatus tersangka diketahui merupakan alumni UI. Melihat situasi ini, Taufik pun menyatakan diri untuk ikut mendampingi ketiganya ke depan.

“Ada 2 alumni Universitas Indonesia (yang akan kami advokasikan bersama) dengan berkoordinasi bersama pihak kampus. Tentunya, selama ini kita mengetahui kampus pun juga memberikan perhatian terhadap alumni-alumninya,” ujar Taufik dalam konferensi oleh TAUD kemarin.

Penetapan Tersangka Jadi Strategi Lanjutan Pembungkaman?

Tidak hanya satu dua kali penetapan tersangka ini terjadi. Yonggi bukanlah siswa pertama yang mengalami penangkapan atau penangkapan sebagai tersangka. Melansir Harian Kompas (23/5), terdapat sejumlah penangkapan serta pembungkaman terhadap elemen selama bulan masyarakat Mei. Banyak di antaranya merupakan pelajar.

Ketika membacakan pernyataan sikap Program Studi Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Ketua Program Studi Ikhaputri Widiantini pun menekankan kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai syarat yang mutlak dan dijamin hak legalnya oleh negara.

Ia menilai kembali prinsip perlindungan sipil yang berlaku, menilai tindakan represif yang tetap dilanggengkan hingga dialami Cho Yonggi dan lawan lainnya, bahkan ketika atribut lengkap medis yang dikenakan.

“Kebebasan berekspresi dan berpendapat bukan sekedar sekedar hak hukum, tapi juga ekspresi terdalam dari keberadaan manusia sebagai makhluk politik. Demokrasi yang sehat itu seharusnya memberikan ruang bagi perbedaan, kritik, dan partisipasi, bukan untuk mengekang dan membungkam sehingga kekuasaan untuk mengekang hak tersebut menjadi penodaan.”

Ia mengharapkan proses hukum ditangani dengan tujuan dan berkeadilan, dengan mempertimbangkan posisi Cho Yonggi yang sedang menjalankan tugas kemanusiaan sebagai relawan medis.

Teks: Grace Tereneysa, Intan Shabira

Redaktur: Naswa Dwidayanti Khairunnisa

Foto: Cho Yonggi

Desain: Kania Puri A. Hermawan

Pers Suara Mahasiswa UI 2025

Independen, Lugas, dan Berkualitas!