Logo Suma

Akademisi dan Praktisi Menggugat RKUHAP yang Compang-Camping

Redaksi Suara Mahasiswa · 22 Juli 2025
4 menit

Pendeknya jangka waktu penyempurnaan KUHAP merupakan problematika yang disoroti dalam Rapat Dengar Pendapat Rakyat bertajuk “Akademisi dan Praktisi Menggugat RKUHAP 2025: Revisi KUHAP untuk Siapa?”. Forum ini dihelat pada Senin (21/7), di Gedung Interdisciplinary Legal Research Center Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILRC FH UI).

Koalisi masyarakat sipil untuk pembaharuan RKUHAP mengundang masyarakat sipil dan mereka yang tidak berkecimpung dalam dunia legal untuk turut serta meramaikan ihwal RKUHAP demi kepentingan bersama. Acara ini mendatangkan sepuluh pembicara dengan latar belakang yang beragam, mulai dari praktisi hingga akademisi. Kesamaannya, mereka semua peduli pada proses hukum dan pemenuhan hak asasi manusia.

Dibagi ke dalam dua sesi talkshow, para pembicara mengutarakan keresahan mereka terhadap perluasan substansi yang tidak dibarengi dengan perpanjangan waktu ulasan RKUHAP sehingga pengesahannya seakan tergesa-gesa.

Dari delapan ahli, tidak ada satu pun yang menolak eksistensi RKUHAP. Mereka semua setuju bahwa KUHAP memang sudah saatnya diperbaharui. Akan tetapi, para pembicara menyayangkan prematurnya kelahiran RKUHAP yang berbanding terbalik dengan banyaknya pokok bahasan dalam RKUHAP saat ini.

“Kita setuju, cuma bukan seperti sekarang, gitu, baik dari segi substansi maupun cara.” Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera kemudian menyetujui penyampaian Bagir, mahasiswa FH UI yang mempertanyakan apa jadinya bila pembaruan hukum tidak didahului dengan perbaikan institusi. “Kalau pembaruan hukum acara pidananya tidak didahului dengan perbaikan institusi kepolisian, perbaikan institusi kejaksaan maupun kehakiman, sebenarnya kita hanya akan mempunyai hukum acara yang compang-camping.”

Hukum yang ‘compang-camping’ ini turut diaminkan oleh Choky Risda Ramadhan dari UI. “Daripada disahkan ala kadarnya, secara kualitas jelek gitu ya, lebih baik kita tunda dan kita lanjutkan pembahasannya,” pungkas Choky.

Dalam forum, Bivitri membagikan cerita pengalamannya dalam memberikan keterangan ahli di Mahkamah Konstitusi untuk uji formil berturut-turut, nyaris setiap pekan dalam satu bulan terakhir, mulai dari UU KSDAHE, UU TNI, hingga UU BUMN. “Kenapa formil, formil, formil? Karena proses legislasi kita memang ugal-ugalan betul.”

Permasalahan lainnya dikemukakan Bivitri terkait klaim anggota DPR atas ‘partisipasi bermakna’ yang dihitung dari kuantitas pertemuan dengan masyarakat sipil semata, padahal partisipasi bermakna seharusnya bicara tentang jaminan pemenuhan hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapat jawaban atas pertimbangan tadi.

Adapun terkait proses hukum, Bivitri menegaskan bahwa pengetahuan tidak bisa menggantikan pengalaman korban begitu saja. Namun, DPR sering kali mengecilkan partisipasi bermakna itu dengan hanya menghadirkan guru-guru besar, sementara korban tidak didengar.

Dalam proses hukum sendiri, Mamik Sri Supatmi, dosen Kriminologi UI menyuarakan bahwa penahanan terhadap kelompok rentan seperti anak, perempuan, lansia, penyandang disabilitas, juga kelompok minoritas seksual mengalami tekanan yang lebih besar lagi. Namun, RKUHAP tidak melibatkan kepekaan dan responsivitas terhadap perbedaan tekanan tersebut.

Kasus-kasus penyiksaan dalam ruang-ruang hukum dijabarkan para pembicara di kedua sesi, baik penyiksaan terhadap massa aksi demonstrasi, pelaku kejahatan, hingga mereka yang merupakan korban salah tangkap. Diungkit pula tingginya angka penyiksaan yang dilaporkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), terutama bagi mereka yang menghadapi proses pidana.

Realitas ini diperparah dengan adanya Pasal 133 RKUHAP Ayat 5 yang menyatakan bahwa negara tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi dalam proses hukum, bahkan jika terjadi insiden salah tangkap. Ahmad Sofian dari Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Asperhupiki) menuturkan, “Terdakwa tidak dapat menuntut ganti kerugian.”

Dengan adanya pasal tersebut, negara memiliki justifikasi legal untuk lepas tangan atas kerugian yang mereka sebabkan selama proses hukum. “Jadi, saya pikir memang harus dihentikan pembahasan ini dan jangan dilanjutkan selama pasal-pasal ini masih ada dan masih melekat dalam RKUHAP yang ada saat ini,” pungkasnya.

RKUHAP untuk Siapa?

Ifdhal Kasim selaku perwakilan dari Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) mengaku bahwa DPN Peradi merasa keberatan apabila aturan mengenai advokat dimasukkan ke dalam satu bab dengan bantuan hukum. “Kami ingin advokat diatur dalam satu bab tersendiri, mengingat peran advokat dalam proses peradilan pidana dengan sangat fundamental,” ungkapnya. Dalam proses ini, keseimbangan kedudukan antara tersangka dengan aparat penegak hukum tidak akan terjadi tanpa keadilan advokat.

Ifdhal menyayangkan aturan mengenai batasan advokat untuk mendampingi tersangka dalam tindak pidana tertentu. DPN Peradi pun mengupayakan agar advokat dapat turut serta dalam tahap penyidikan dan penyelidikan. Karena tanpa adanya dampingan advokat, pelanggaran HAM rawan terjadi.

Ifdhal turut menyinggung perihal bantuan hukum bagi orang kurang mampu yang wajib diberikan oleh advokat.  “Sebetulnya bantuan hukum bukanlah kewajiban advokat, melainkan kewajiban negara. Negara yang menyediakan anggaran untuk bantuan hukum bagi orang miskin,” tegasnya.

Sementara itu, Aristo Marisi Adiputra Pangaribuan selaku dosen FH UI turut menambahkan mengenai pembuktian dalam penanganan suatu kasus. Ia memaparkan bahwa pembuktian merupakan nyawa dalam menentukan seberapa mudahnya seseorang dapat ditahan, ditangkap, atau dirampas kemerdekaannya. Akan tetapi, sistem pembuktian Indonesia masih rendah sebab hanya terfokus secara kuantitatif, yakni adanya dua alat bukti.

“Kalau angka dua dipakai, pertama, misalnya Anda ditersangkakan perlu dua alat bukti. Dipidanakan perlu berapa alat bukti? Dua juga. Artinya, kalau orang sudah jadi tersangka, sudah hampir pasti syarat formalitas untuk memidanakan sudah terpenuhi, cuma ditambahkan subjektivitas atau yang disebut keyakinan hakim,” pungkas Aristo.

Pada akhirnya, Aristo menyampaikan bahwa yang memperoleh ‘kenikmatan’ dari aturan ini adalah aparat penegak hukum yang diberi kemudahan untuk menangkap dan menahan orang.

Parameter Keberhasilan RKUHAP

Pada sesi tanya-jawab, Bivitri menyampaikan bahwa tidak ada harapan untuk pembaharuan KUHAP apabila advokasi tidak mengalami perubahan ke arah lebih baik. “Kita harus melakukan terobosan dalam advokasinya, barangkali hanya dengan cara seperti itulah, kita masih punya harapan, karena berapa kali terbukti juga undang-undang yang bisa distop pembahasannya karena dorongan dari luar begitu besar,” terang Bivitri.

Berkaitan dengan permasalahan dalam RKUHAP, Ifdhal mengungkapkan bahwa RKUHAP tidak memiliki pembaruan progresif. Ideologi negara kekeluargaan lebih besar tertuang dalam RKUHAP. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan lebih banyak diberikan kepada penegak hukum, dibanding kepada rakyat. “Rakyat dianggap harus ikut apa maunya negara. Itu tercermin dari semua pasal-pasal terkait dengan penangkapan, penahanan, sampai dengan pra-peradilannya yang ada di dalam KUHAP sekarang,” ujar Ifdhal.

Forum ini kemudian memberi ruang bagi Fatia Maulidiyanti untuk menceritakan kerugiannya sebagai tersangka yang kemudian dibebaskan. Salah satu kerugian yang dihadapinya adalah ketika ia harus menjadi saksi mahkota. Dalam RKUHAP, saksi mahkota menjadi pasal baru yang sangat berbahaya.

Berdasarkan konsultasi dengan pengacaranya, Fatia menyatakan bahwa saksi mahkota adalah bentuk self-incrimination yang pada akhirnya akan merugikan satu sama lain karena harus menceritakan seseorang dalam perkara yang sama untuk menjelaskan perannya dalam perkara tersebut. “Hal itu tidak hanya menjatuhkan teman kita, tetapi juga menjatuhkan diri kita sendiri,” pungkasnya.

Teks: Alya Putri Granita, Grace Tereneysa, Vania Shaqila Noorjannah

Editor: Naswa Dwidayanti Khairunnisa

Foto: Alya Putri Granita

Desain: Kania Puri A. Hermawan

Pers Mahasiswa UI 2025

Independen, Lugas, dan Berkualitas!