Aksi Kamisan Tetap Bersuara Meski Negara Hanya Bungkam selama 18 Tahun

Redaksi Suara Mahasiswa · 18 Januari 2025
2 menit

Ratusan orang berkumpul di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, pada Kamis (16/01) untuk memperingati Aksi Kamisan ke-878. Peringatan yang telah berlangsung sejak 2007 ini dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat sebagai bentuk dukungan terhadap upaya pencarian keadilan bagi korban pelanggaran HAM.

Aksi diawali dengan hening sejenak menghadap istana negara dengan massa aksi mengarahkan gawainya menghadap Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Gerakan yang mengimplisitkan Rekam dan Suarakan tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia.

Usai hening sejenak, aksi dilanjutkan dengan penampilan teatrikal dan dilanjutkan dengan penuturan refleksi dari sejumlah tokoh, mulai dari penulis, anak muda, komedian, korban kekerasan aparat hingga akademisi.

Dalam refleksi tersebut,  massa aksi menyerukan kekecewaannya kepada pemerintah atas ketidakmampuan mereka dalam mengatasi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia, yang dibuktikan dengan ketidakhadiran pejabat negara selama 18 tahun dalam Aksi Kamisan.

Amarah dan kekecewaan massa diekspresikan melalui orasi dan poster. Sejumlah kritik verbal dilayangkan kepada pejabat negara, mulai dari kepolisian, menteri, hingga presiden. Beberapa narasi sarkas dan retoris, seperti “Bayar Pajak Untuk Beli Peluru Polisi!” dan “How About Tragedy 98’ Mr. President?” juga terhampar di sekitar tempat aksi.

Bejo Untung, Pendiri Aksi Kamisan dan korban tragedi 65, menuntut agar para penjahat diadili dan korban memperoleh hak-haknya. “Langit bisa runtuh, tetapi Aksi Kamisan (kami, para korban) tetap berdiri di depan Istana Negara. Apabila keadilan terwujud, kami akan tetap berdiri di sini,” tuturnya kepada Suara Mahasiswa UI.

Tak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, melainkan  juga bagi teman-temannya yang menjadi korban tragedi 65. Sebagai ketua YPKP (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan) tahun 1955-1966, Bejo Untung menyatakan kekecewaannya karena negara tetap bungkam selama 18 tahun. “Bahkan secara langsung, belum ada pejabat negara yang datang ke Aksi Kamisan ini. Artinya apa? Mereka betul-betul tidak ingin bertanggung jawab,” ucapnya.

Absennya para pejabat dan bungkamnya negara terhadap Aksi Kamisan ini menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi jauh sebelum Aksi Kamisan ini berdiri. Menurutnya, pemerintah harus menyadari bahwa kekuasaan mereka telah  melukai hati rakyat.

Aksi Kamisan merupakan “aksi damai” yang diberlangsungkan setiap hari Kamis. “Apabila mereka melawan aksi damai ini, berarti malapetaka bagi mereka.” Meskipun begitu, aksi ini pernah diminta untuk pindah ke area Patung Kuda, tetapi permintaan ini ditolak karena aksi ini dilakukan tanpa tindak anarkis. “Saya boleh pindah apabila negara bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan pada kami,” ungkapnya.

Pada mulanya, mereka rutin mengirim surat kepada Presiden RI. Kini, presiden yang terpilih merupakan pelaku penculikan kepada para aktivis. Oleh karena itu, Bejo Untung tidak banyak meletakkan harapan. “Hingga saat ini, kami tidak mengakui Prabowo sebagai presiden.”

Melalui Aksi Kamisan ini, ia sama sekali tidak berharap pada negara karena negara merupakan bagian dari penjahat-penjahat masa lampau hingga saat ini. Bejo Untung mengundang pada seluruh aktivis dan pemuda untuk menyatukan barisan atas kejahatan dan penjahat jelas duduk pada tampuk kepemimpinan negara.

Teks: Anita Theresia dan Aida Amalia

Editor: Jesica Dominiq Mozzarella

Pers Suara Mahasiswa UI 2024

Independen, Lugas, dan Berkualitas!