By Irene Paramitha
Judul: All the Light We Cannot See\
Pengarang: Anthony Doerr
Jumlah Halaman: 531 (paperback)
Penerbit: Scribner
Tahun terbit: 2014
“Open your eyes and see what you can with them before they close forever”. Kutipan tersebut merupakan satu kalimat yang melambangkan dua makna berbeda. All The Light We Cannot See karya Anthony Doerr menceritakan dua anak remaja yang tumbuh pada masa Perang Dunia Kedua bernama Marie-Laure dan Werner. Marie-Laure adalah seorang gadis buta yang tinggal bersama ayahnya yang duda di Paris, sedangkan Werner adalah seorang anak yatim piatu yang tumbuh di panti asuhan bersama saudara perempuannya di sebuah kota pertambangan Jerman.
Berbeda dari buku-buku fiksi sejarah lainnya, Doerr memilih untuk menggambarkan dunia melalui mata seorang gadis remaja buta dari Paris dan seorang anak yatim genius dari Jerman Barat. Marie-Laure LeBlanc, yang buta sejak usia enam tahun, telah berjuang untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat karena semuanya tampak seperti labirin. Ayahnya, yang selalu berada di sebelahnya, membangun miniatur kota untuk navigasinya dan mengajarkannya tentang dunia yang luas di tempat kerjanya di Museum Sejarah Nasional. Werner Pfennig, seorang yatim piatu yang tinggal di desa pertambangan di Jerman, mendapat kesempatan untuk menghadiri sekolah bergengsi di Berlin alih-alih pergi ke tambang pada saat ia berusia empat belas tahun.
Secara keseluruhan, novel ini merupakan kisah menyentuh tentang perjuangan internal yang dihadapi orang-orang, yang tidak disadari oleh dunia luar. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada kebaikan dan tekad manusia untuk melakukan kebenaran, bahkan ketika seseorang dikelilingi oleh banyak kejahatan. Dalam kata lain, cahaya masih ada bahkan di balik kegelapan manusia.
Pada novel karya Doerr, kegelapan diungkapkan melalui dua bentuk, secara harfiah dan metaforis. Kegelapan yang dirasakan oleh Marie-Laure adalah kegelapan harfiah karena kebutaannya sejak kecil sehingga tidak dapat melihat cahaya. Secara metaforis, Werner merasakan bahwa kegelapan pelan-pelan menelannya ketika ia bergabung pada kelompok Hitler Youth yang sedang mendominasi masyarakat muda di Jerman. Namun, pada saat yang sama, kedua karakter tersebut menemukan cahaya dengan caranya masing-masing.
Buku ini memiliki plot yang cukup unik, yang mana terdapat pergantian bab pendek dari masing-masing kisah mereka. Ada juga lompatan waktu dari kehidupan dua karakter tersebut. Walaupun buku ini mungkin agak sulit untuk dipahami—karena lompatan waktu dan konsep militer—bagi pembaca baru, All the Light We Cannot See menyenangkan untuk dibaca karena kita diberi perspektif baru tentang fenomena tersebut. Kita mengikuti masa pertumbuhan kedua karakter tersebut pada masa kritis. Bolak-balik dalam waktu, ia menciptakan ketegangan bagi para pembaca.
Penulisan Doerr cukup detail dan spesifik. All the Light We Cannot See membuat pembaca merasakan hubungan spesial dengan karakter-karakter di dalam novel. Novel ini ditulis dengan sangat indah dengan suara yang kuat dan begitu banyak emosi. Doerr berhasil menutupi detail kekerasan atau kematian pada novel tersebut, walaupun dari awal cerita sudah jelas bahwa tidak ada satu pun karakter yang akan tertinggal tanpa luka.
Novel tersebut membawa para pembaca kembali kepada masa yang cukup signifikan pada sejarah dunia. Pembawaan ceritanya cukup mentah jika dibandingkan dengan penulisan Perang Dunia lainnya. Namun, hal ini memberikan tarikan tersendiri kepada para pembaca. Karakter-karakter dalam All the Light We Cannot See menunjukkan emosi mereka yang sebenarnya. Selain itu, konflik internal mereka juga memberikan rasa sentimental lebih dalam kepada para pembaca.
Sebagai salah satu pemenang Pulitzer Prize for Fiction, novel karya Doerr ini merupakan buku yang patut dibaca bagi mereka yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai fenomena Perang Dunia dan merasakan kementahan emosional dari karakter dan peristiwa dalam cerita. Novel ini sangat direkomendasikan bagi para pembaca yang menyukai bahasa kiasan, terutama citra dan simbolisme yang mendalam. Tidak salah, All the Light We Cannot See merupakan salah satu karya terbaik dari penulis asal Amerika tersebut.
Teks: Irene Paramitha
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.
Pers Suara Mahasiswa UI 2020
Independen, Lugas, dan Berkualitas!