Anak Muda di Persimpangan Peluang dan Tantangan Karier Pekerjaan Hijau

Redaksi Suara Mahasiswa · 5 Oktober 2023
16 menit

RIUH rendah obrolan khas mahasiswa mengalun di antara meja-meja kayu di kantin Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia atau yang sering disebut Dallas. Di sudut kiri area depan Dallas, Syarifa Amira Satrioputri, yang akrab disapa Syarifa, duduk sendirian menikmati segelas es teh lima ribuan yang baru saja ia beli. Mata perempuan bergaun salur hitam-putih itu sesekali terfokus pada layar tiga belas inchi di hadapannya. Syarifa, mahasiswa akhir jurusan Geologi UI, tengah mengejar tenggat akhir pengumpulan skripsinya.

Gue datang ke Geologi UI bukan buat jadi penambang, tapi karena mau jadi ilmuwan, peneliti, makanya gue pilih Geologi UI karena dia di FMIPA, bukan di Teknik kayak di kampus-kampus lainnya,“ tutur Syarifa memulai ceritanya pada Rabu siang (13/09).

Di Indonesia, kebanyakan (1:16) jurusan geologi dimasukkan ke dalam Fakultas Teknik (Teknik Geologi) yang cenderung lebih berfokus pada aspek teknis dan praktis geologi terkait konstruksi dan pengelolaan sumber daya alam. Namun di UI, jurusan yang dibuka pada 2015 didudukkan di fakultas sains (FMIPA), sehingga kurikulumnya seharusnya dapat lebih menekankan pada pemahaman dan pengembangan keterampilan ilmiah dalam bidang geologi murni.

Jauh panggang dari api. Syarifa begitu jauh terlempar dari ekspektasi. Ia justru menemukan bahwa kurikulumnya masih mengarah pada aspek teknis sehingga kariernya pun lebih didorong ke bidang industri konvensional yang bersifat ekstraktif, sebut saja tambang, minyak, dan panas bumi.

“Alasan gue milih jurusan geologi karena seharusnya kerjaan kita dekat dengan alam. Rupanya, sekalipun di kampus gue geologinya masuk sains, tapi kebanyakan dosennya berlatar belakang teknik sehingga ujungnya sama aja, semuanya diarahkan ke pekerjaan tambang dengan gaji 20 juta,” sambung Syarifa.

Dia mengingat satu-satunya mata kuliah geologi yang menurutnya cukup ‘hijau’ adalah Geologi Kebencanaan. Setiap kali ia menyanggah dosennya, mempertanyakan apakah pekerjaan di bidang geologi bisa lebih ramah lingkungan, seringkali jawabannya tidak memuaskan.

Lu coba kerja dulu dah,” tutur Syarifa. menyimpulkan jawaban dosennya saat ia bertanya mengenai prospek karier geologi yang cukup hijau.

Sebelum diwawancara oleh Suma UI, Syarifa mengaku tidak tahu ada istilah pekerjaan hijau, namun sebagai anak muda yang membaca kondisi bumi saat ini, Syarifa tahu betul pekerjaan mana saja yang dapat menghasilkan dosa-dosa eksploitasi yang mengancam keberlanjutan lingkungan.

Setelah diberikan penjelasan, Syarifa menyampaikan bahwa ia sangat tertarik untuk berkarier di bidang pekerjaan hijau, khususnya yang berkaitan dengan studi interdisiplin mengenai lingkungan.

“Gue tertarik banget dengan pekerjaan hijau, khususnya yang berkaitan dengan studi interdisiplin lingkungan, bahkan kayaknya itu alasan gue kuliah, ” tutur Syarifa.

Kendati minat setinggi langit, jika tidak ada dukungan, akan tetap jatuh ke sumur. Ia merasa kurang yakin dapat langsung terjun ke pekerjaan hijau setelah lulus, mengingat hingga semester akhir, ia merasa belum mendapatkan pengetahuan apalagi kemampuan yang cukup untuk mengarahkannya pada pekerjaan hijau. Ironis, ia mengaku ketertarikannya membuatnya terpaksa mencari sumber-sumber pengetahuan ini di tempat lain, bukan di institusi pendidikan yang sedang ia jalani.

Gue merasa enggak punya pengalaman, enggak punya ilmu di luar geologi teknis, juga keterbatasan wawasan, keterbatasan medium, dan relasi, jadi cukup sulit”

“Tapi tetap, gua merasa jurusan gua ini harusnya punya tanggung jawab yang besar atas krisis iklim, lebih dari sekedar bekerja di industri, tapi untuk humanisme. Kurikulum tambang jadi peminatan, banyakin matkul ramah lingkungan,” tutup Syarifa.

Apa itu Pekerjaan Hijau?

Bukan hal ganjil jika mahasiswa seperti Syarifa belum mengetahui secara pasti apa itu pekerjaan hijau. Di Indonesia, meskipun sudah ada istilah ekonomi biru, ekonomi hijau, pembangunan berkelanjutan, istilah pekerjaan hijau dan prospeknya memang masih belum dikenal.

Sejak diperkenalkan International Labour Organization (ILO) pada 2010, pekerjaan hijau (green jobs) didefinisikan sebagai pekerjaan layak yang berkontribusi untuk menciptakan ekonomi berkelanjutan dan memulihkan kelestarian lingkungan.

Untuk menghindari miskonsepsi, perlu ditekankan bahwa pekerjaan hijau juga harus memenuhi standar kelayakan kerja, termasuk hak-hak asasi pekerja, pekerjaan penuh dan produktif, perlindungan sosial, serta dialog sosial.

Peneliti dari Koaksi Indonesia, Dwi Tamara menjelaskan bahwa pekerjaan hijau menggabungkan konsep pekerjaan yang layak dan berkontribusi pada penciptaan ekonomi berkelanjutan.

Green jobs itu enggak cuma green saja, dia berdiri di dua kaki, yang pertama mempromosikan kelestarian lingkungan, yang kedua adalah jenis pekerjaan yang layak,” Tamara menuturkan kepada Suara Mahasiswa UI melalui telekonferensi pada Senin (07/08).

Tidak melulu berkaitan dengan energi terbarukan, pekerjaan hijau dapat ditemukan dan diciptakan, baik di sektor tradisional seperti agraris, manufaktur, konstruksi, sains, hukum, bahkan fashion.

Di Indonesia, upaya pengembangan pekerjaan hijau beriringan dengan pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan emisi karbon rendah yang saat ini menduduki posisi prioritas nasional. Namun, berkebalikan dengan rencana, upaya penciptaan lapangan kerja hijau dan pengarusutamaannya masih belum terasa napasnya.

Padahal, riset terbaru yang dilakukan oleh Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) menggunakan skenario net zero emission, menunjukkan potensi 1,2 juta pekerjaan hijau pada 2020. Angka ini diprediksi akan terus bertambah hingga 3 juta lapangan pekerjaan pada 2060. Meski peluang ekonomi hijau yang menjanjikan di depan mata, namun belum banyak penelitian yang menunjukkan langkah-langkah konkret Indonesia untuk transisi ke pekerjaan hijau secara menyeluruh.


Cita-Cita Hijau, Anak Muda Pilih Karier Berkelanjutan
Hingga kini, kita masih kesulitan membaca minat karier anak muda Indonesia terhadap pekerjaan hijau karena belum ada data kuantitatif yang dapat menjadi rujukan awal untuk membedah peluang dan tantangan. Oleh karena itu, untuk memetakan secara faktual persepsi mahasiswa terhadap peluang dan tantangan karier pekerjaan hijau di Indonesia, Suara Mahasiswa Universitas Indonesia dan Yayasan Indonesia CERAH berupaya mengisi kekosongan data tersebut.

Tim kami melakukan survei dengan target responden mahasiswa aktif sarjana yang memiliki ketertarikan terhadap pekerjaan hijau. Survei dibuat dengan menggunakan platform Google Form lalu disebarkan secara daring selama 50 hari dari kurun waktu 25 Juli - 12 September 2023. Survei ini menerapkan metode random sampling, bergulir dari satu orang ke orang lainnya untuk menemukan responden sebanyak-banyaknya.

Survei ini diikuti oleh 563 responden. Akan tetapi, dalam tahap pengolahan data, 31 orang responden dikecualikan dari data mentah karena 3 orang responden tidak setuju (consent) untuk mengisi survei ini. Sementara 28 orang responden tidak sesuai dengan kriteria responden. Sehingga total responden yang dinilai valid sebanyak 532 orang.

Survei ini tidak menggambarkan pandangan dan sikap mahasiswa Indonesia secara keseluruhan, tetapi dapat memberikan bagian gambaran ihwal persepsi terkait peluang dan tantangan karier pekerjaan hijau di Indonesia. Sebanyak 344 responden (63%) merupakan mahasiswa dari perguruan tinggi negeri, dan 201 mahasiswa (37%) lainnya berasal dari perguruan tinggi swasta di Indonesia. Mayoritas mahasiswa berasal dari rumpun soshum (52,35%), saintek (32,7%), pendidikan (6,74%), pertanian (5,15%), dan lainnya (7,13%).

Adapun usia pengisi survei berkisar 17-37 tahun. Sebagian besar responden berusia 18-23 tahun, yaitu sebanyak 495 orang (98,18%). Untuk kategori gender, didominasi oleh responden perempuan yaitu sebanyak 355 orang (65%), responden laki-laki sebanyak 155 orang (28%), non-biner 30 orang (6%), dan responden memilih tidak mengungkapkan gender 5 orang (1%)

Berikut merupakan temuan-temuan utama dalam survei kami:

Secara umum, ketertarikan anak muda pada pekerjaan hijau tidak bisa dilepaskan dari kekhawatirannya mengenai dampak krisis iklim dan degradasi lingkungan yang makin parah.

Keprihatinan terhadap dampak krisis iklim yang meluas dan memburuk telah menjadi pendorong kuat bagi anak muda untuk bercita-cita memiliki karier hijau. Berbagai riset menunjukkan kaum muda saat ini mengalami tingkat keterpaparan yang sangat tinggi terhadap perubahan iklim. Mereka juga tumbuh dalam era informasi di mana secara luas terpapar informasi mengenai dampak krisis iklim, seperti naiknya suhu global, cuaca ekstrem, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ancaman tenggelamnya daratan yang membuat sebagian daerah di bumi menjadi kurang layak huni.

Hasil survei yang dilakukan Suma UI dan Yayasan Indonesia CERAH menunjukkan bahwa hampir seluruh responden (90%) merasa cemas terhadap dampak dari krisis iklim yang terus memburuk. Tidak hanya itu, sebanyak 95% responden sepakat bahwa permasalahan krisis iklim merupakan masalah serius yang perlu ditangani segera.

Dalam konteks yang sama, sebagian besar responden juga meyakini bahwa pekerjaan hijau memberikan peluang yang menarik bagi anak muda. Sebanyak 71% dari mereka menganggap bahwa pekerjaan hijau memberikan peluang yang menarik untuk dikembangkan dalam karier mereka, sehingga mereka dapat memberikan dampak positif pada lingkungan dan masyarakat (98%).


Temuan ini selaras dengan hasil riset terbaru Plan Internasional tahun 2022 yang menunjukkan bahwa mayoritas anak muda di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat bercita-cita memiliki pekerjaan yang ramah lingkungan dalam 10 tahun mendatang. Begitu pula Survei Good Energy terhadap 1.000 anak muda di Inggris menemukan bahwa semakin banyak anak muda yang menginginkan pekerjaan layak yang juga berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Pergeseran pemikiran generasi muda yang semakin menyadari eskalasi masalah lingkungan dan menganggapnya sebagai tugas moral untuk bertindak. Dalam pandangan mereka, pekerjaan hijau bukan hanya sekadar sumber penghasilan, tetapi juga alat untuk menciptakan perubahan yang positif bagi bumi dan masyarakat secara keseluruhan.


Sambil menyelam, minum air.

Sementara bagi negara, keuntungan mengembangkan pekerjaan hijau dua kali lipat lebih banyak daripada pekerjaan konvensional. Tidak hanya mengatasi masalah ketenagakerjaan seperti pengangguran, namun juga peluang untuk mengurangi emisi karbon, meminimalisasi limbah polusi, serta melindungi dan memulihkan ekosistem.

“(Pengembangan–red) green jobs itu sebenarnya nguntungin, karena dia juga menjawab solusi permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia, dan juga menjawab permasalahan lingkungan,” Tamara menegaskan.

Tinggi Minat, Namun Terhambat

Meski sudah berminat, yang didamba belum tentu didapat. Berbagai kendala dihadapi mahasiswa yang ingin terjun ke pekerjaan hijau. Sebagai penggerak ekonomi utama, apakah anak muda Indonesia sudah siap berkarier di pekerjaan hijau?


Survei kami menunjukkan separuh  responden (55%) merasa belum pernah mengetahui atau belum terlalu familiar dengan konsep pekerjaan hijau, 68% di antaranya bahkan tidak mengetahui potensi pekerjaan hijau di Indonesia. Dari sebagian besar responden yang mengetahui, 72% di antaranya mengaku mendapatkan informasi mengenai pekerjaan hijau dari media sosial. Hanya sekitar 14% yang mendapatkan informasi serupa dari lembaga pendidikan seperti sekolah, universitas, atau lembaga pendidikan lainnya. Yang cukup mencolok, hanya 2 orang (0,3%) yang menyatakan pernah mendapatkan informasi mengenai pekerjaan hijau dari sosialisasi pemerintah.

Hasil ini menggambarkan bahwa meskipun pekerjaan hijau seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan berkelanjutan, pemerintah dan lembaga pendidikan, yang memiliki tanggung jawab dalam mempercepat peralihan ke pekerjaan hijau di Indonesia, belum sepenuhnya memenuhi peran serta kewajiban mereka dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan.

“Waktu aku Sarjana di Indonesia, seinget aku nggak pernah dapet mata kuliah mengenai krisis iklim, sedangkan pas ngambil Pasca-Sarjana di Selandia Baru itu banyak banget bahasan tentang climate change gitu, padahal jurusannya sama Kesejahteraan Sosial atau Development Studies,” ucap Fara Shabira Arrasya, mahasiswa Pasca-Sarjana membandingkan pengalamannya berkuliah di Indonesia dan di luar Indonesia, Selasa (05/09).

Fara tidak membual. Kondisi ini dialami oleh sebagian besar responden dalam survei ini. Dari 545 responden, 34% mengalami kesulitan dalam mengakses informasi mengenai peluang pekerjaan hijau di Indonesia, sedangkan 40% di antaranya merasa ragu bahwa informasi tentang peluang pekerjaan hijau di Indonesia mudah diakses.


Terdapat kesenjangan antara minat dan kesiapan anak muda dalam memasuki dunia pekerjaan hijau, baik dari segi pemahaman maupun keterampilan. Sehingga, sekalipun anak muda memiliki ketertarikan yang cukup besar pada pekerjaan hijau, banyak dari mereka yang merasa kurang kompeten untuk berkarier di pekerjaan hijau.

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini, sebagian besar institusi pendidikan masih cenderung mengarahkan mahasiswa untuk mengejar karier di jalur konvensional. Jalur konvensional sering dianggap sebagai jalur yang lebih stabil dan pasti dalam hal pendapatan dan menjamin masa depan. Pekerjaan di sektor-sektor ini seringkali menawarkan gaji yang terjamin dan manfaat lainnya seperti tunjangan kesehatan dan pensiun, yang menggugah minat para mahasiswa.

Bahkan, banyak mahasiswa mungkin tidak menyadari bahwa pekerjaan hijau adalah pilihan yang dapat memberikan karier yang memuaskan secara finansial dan berkontribusi pada keberlanjutan planet ini.

Seperti dengan yang dialami Syarifa dan Fara, kaum muda yang ingin mengambil keputusan untuk berkarier di bidang pekerjaan hijau memang menapaki jalan berbatu. Bukan hanya karena keterbatasan pengetahuan dan pemahaman (306 orang), namun juga kurang yakin akan prospek pekerjaan hijau di masa depan (299 orang), kurang yakin akan penghasilan yang layak dari pekerjaan hijau (351 orang), merasa kurang memiliki keterampilan dan kemampuan yang mumpuni di sektor hijau (254 orang).

“Pekerjaan hijau masih sangat minim peminat karena memang prospek yang ditawarkan kurang menjanjikan, apalagi dengan tuntutan hidup yang ada sekarang, sehingga ekonomi menjadi prioritas utama di samping alih-alih memelihara lingkungan, setidaknya itulah yang terjadi di daerah saya yang mana sumber perekonomian terbesar adalah tambang dan kelapa sawit,” ujar Eko Aditya, mahasiswa Fakultas Pertanian Angkatan 2018.

Hal senada juga disampaikan Gamma Maulana Akbar, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI yang tertarik berbisnis di bidang waste management atau recycling. Selain informasi dan edukasi tentang pekerjaan hijau di Indonesia yang terbatas, Gamma juga menyoroti pekerjaan hijau yang belum terlalu diapresiasi. Menurutnya, hal ini juga dapat mempengaruhi minat anak muda untuk terlibat dalam pekerjaan hijau.

Pertama, kalau terjun di pekerjaan hijau itu, pertama masyarakatnya yang belum teredukasi. Terus, apresiasi yang minim juga dari masyarakat dan pemerintah. Kayak ngelakuin hal-hal kayak gini ‘tuh, masyarakatnya masih nganggepnya tabu gitu. Kayak ngapain sih, kerja-kerja di bidang lingkungan kayak gini, enggak ada duitnya. Kasarnya gitu,” tutur Gamma mengutarakan keresahannya.

Menurut Gamma, mata kuliah atau program pendidikan yang fokus pada pekerjaan hijau masih jarang tersedia di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini menyulitkan mereka yang ingin mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berkarier di bidang ini. Bahkan beberapa di antaranya secara langsung menyampaikan bahwa mereka merasa tidak dapat memenuhi persyaratan rekrutmen saat lapangan kerja hijau dibuka.

“Ilmu yang bisa didapetin untuk pekerjaan hijau tuh, dasar-dasarnya tuh di Indonesia masih sangat terbatas. Universitas-universitas saja jarang banget kan buka mata kuliah kayak gini,” ujar Gamma.

Tidak hanya Gamma, hampir setengah (40%) mahasiswa menyatakan bahwa perguruan tinggi mereka TIDAK memberikan pendidikan/pelatihan/kegiatan non-akademik yang berkaitan dengan pekerjaan hijau. Hanya 1 dari 4 anak yang merasa pendidikan dan pelatihan yang tersedia cukup membantunya untuk mempersiapkan karier di bidang pekerjaan hijau.

“Aku ngerasanya di New Zealand ini lebih banyak informasinya, dosennya juga lebih aware sama pekerjaan hijau, dan ngasih tahu kita sebagai anak sosial caranya masuk ke sana, Career Development juga ngasih pameran khusus green jobs jadi bisa diikutin dan disesuaikan sama jadwal kuliah,” ujar Fara.

“Sementara dulu aku juga pernah datang ke expo career-nya UI, lebih banyak perusahaan profit kayak bank, Pertamina dll,” lanjut Fara membandingkan pengalamannya.

Laporan Institute for Essential Service Reform (IESR) (2021) menilai bahwa pemerintah kurang serius dalam menangani hulu masalah yang ada di bagian pendidikan. Persoalan hilangnya jembatan antara dunia pendidikan dan karier hijau harus diperbaiki. Setidaknya hal itu yang juga disampaikan Tamara, menurutnya perbaikan ini bisa dimulai dari segi kurikulum yang bersifat akademik.

“Jangankan green jobs, prinsip berkelanjutan kemudian bagaimana caranya kita mendorong sikap peduli terhadap lingkungan itu saja belum ada di pendidikan kita,” kritik Tamara.

“Paling penyampaian pesan untuk bersikap peduli terhadap lingkungan itu cuma disampaikan pas masa-masa OSPEK gitu, terus sepanjang kita kuliah kayak semester 1-8 gitu enggak ada tuh. Tandanya, lembaga pendidikan kayak universitas belum mengarusutamakan pekerjaan hijau dalam kurikulum mereka,” ujar perempuan muda ini menuturkan pengalamannya.

Pernyataan  Tamara sejalan dengan hasil survei Suma UI dan CERAH yang menggambarkan urgensi dalam pembaruan kurikulum di perguruan tinggi. Hampir semua responden (89,9%) menganggap penting adopsi kurikulum yang memasukkan pembelajaran tentang krisis iklim dan pekerjaan hijau.

Tamara menjelaskan, pemahaman dan keterampilan hijau  dalam kurikulum mestinya tidak terbatas pada rumpun atau bidang studi tertentu karena prinsip hijau dapat diletakkan dalam konteks studi manapun. Di bidang sains dan teknologi, kemampuan meminimalkan konsumsi energi serta inovasi dalam teknologi terbarukan dapat menjadi fokus utama.

Dalam domain ilmu sosial, keterampilan menganalisis dan merumuskan kebijakan yang mendukung perlindungan lingkungan adalah hal yang penting. Sementara di rumpun ilmu kesehatan (RIK), contohnya diajarkan untuk membantu masyarakat dalam meningkatkan ketahanan iklim (resilience) sehingga dapat mengurangi dampak kesehatan yang buruk.

“Dari segi akses pelatihannya, sangat sulit bagi teman-teman fresh graduates untuk mengakses pelatihan green jobs itu sendiri,” tutur Tamara.

Kendala-kendala ini menggarisbawahi pentingnya langkah lebih lanjut dalam bidang pendidikan untuk meningkatkan pemahaman, akses, dan pengarusutamaan yang konsisten terhadap pekerjaan hijau di lingkungan sivitas akademika.


‘Gimana Mau Effort, Kalau Pemerintah Saja Nggak Support?’

Jika dilihat dari aspek fiskal, finansial, dan non-finansial, upaya pemerintah tampaknya belum mampu menciptakan iklim positif untuk menghidupkan pasar pekerjaan hijau di Indonesia. Enda Grimonia, bekerja sebagai Policy and Advocacy Associate di New Energy Nexus, menyampaikan bahwa belum ada langkah serius pemerintah Indonesia dalam merancang regulasi pajak yang dapat memberikan insentif kepada perusahaan swasta atau individu yang ingin mengembangkan model bisnis hijau.

“Seharusnya, dengan penguatan regulasi fiskal ini bisa menumbuhkan semangat pengusaha dan menarik investor untuk menanam modal ke usaha hijau di Indonesia,” kata Enda kepada Suara Mahasiswa UI melalui telekonferensi pada Jumat (25/08).

Hal ini senada dengan harapan yang diutarakan Tamara. Dalam persoalan ini pemerintah hendaknya masuk sebagai regulator yang dapat mempengaruhi sistem pendidikan dan iklim swasta di Indonesia agar dapat segera mengarusutamakan prinsip-prinsip berkelanjutan.

“Indonesia belum punya payung hukum terkait pekerjaan hijau, itu sangat diperlukan agar pemerintah dapat memberikan insentif, enggak hanya untuk swasta tapi juga lembaga pendidikan dan pelatihan untuk mempercepat implementasi pekerjaan hijau di Indonesia,” ungkap Tamara.


Selanjutnya, dari aspek finansial, pemerintah belum menyediakan dukungan finansial yang efektif dan berkelanjutan bagi para inisiator bisnis yang punya nilai tambah di aspek lingkungan.

“Misalnya, setelah lomba bisnis berkelanjutan yang diadakan pemerintah, mereka (para inisiator) hanya dapat nominasi, penghargaan, kelanjutannya enggak ada. Ini yang buat mereka enggak sustain dan pekerjaan hijau juga bertumbuh pasif,” tutur Enda.

Dari aspek non-finansial, pemerintah juga belum memberikan kemudahan akses dalam pengembangan riset, seperti laboratorium, legalitas produk, dan fasilitas pengembangan lainnya. Terutama dalam pengembangan riset di perguruan tinggi, Enda mengatakan bahwa produknya masih sebatas publikasi semata, belum diintegrasikan secara efektif ke perusahaan, organisasi, start-up, atau gerakan lainnya dalam mengembangkan keilmuan untuk penciptaan lapangan kerja hijau.

Menurut Tamara, pada dasarnya, akar permasalahan kemauan pemerintah yang seringkali terlihat setengah hati dalam mendorong pertumbuhan pekerjaan hijau di Indonesia adalah ketergantungan yang kuat pada sektor energi fosil dalam pembangunan negara.

Tamara mengatakan “pembangunan Indonesia masih sangat bergantung terhadap sektor energi fosil, di sisi lain masalah ketenagakerjaannya juga enggak selesai-selesai, kemudian sistem pendidikannya juga enggak support, jadi kayak lingkaran setan yang enggak berhenti-henti.”

Terlebih, transisi ke pekerjaan hijau akan membawa dampak yang signifikan di dunia kerja, misalnya berkurangnya beberapa jenis pekerjaan yang terkait dengan energi fosil dan industri yang berdampak negatif pada lingkungan (brown jobs). Dengan demikian, tugas pemerintah untuk mempersiapkan masa depan ekonomi hijau, harus lebih dari sekadar mengembangkan keterampilan dalam sektor-sektor berkelanjutan (green skills), namun juga upaya upskilling dan reskilling harus dimulai sejak dini untuk pekerja-pekerja yang mungkin kehilangan pekerjaan akibat transisi ini.

“Nah, ketika bahas masa depan itu berarti nggak hanya mempersiapkan green skill, tapi gimana caranya buruh yang akan kehilangan pekerjaan (brown jobs) itu sudah mulai kita upskilling dan reskilling dari sekarang, supaya dampak negatifnya dapat diminimalkan,” jelas Tamara.

Untuk mengatasi permasalahan ini, dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk merancang kebijakan dan regulasi yang mendukung energi bersih, investasi teknologi hijau, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di sektor-sektor berkelanjutan.


Hal ini disepakati oleh sebagian besar mahasiswa yang mengisi survei (52%) menganggap pemerintah sebagai pihak yang dianggap paling bertanggung jawab dalam mengatasi tantangan dalam mengembangkan pekerjaan hijau, perlu menjadikan isu pengembangan pekerjaan hijau sebagai prioritas kebijakan/program politik di Indonesia (80%).

Mengapa Pemerintah Harus Mengembangkan Pekerjaan Hijau?

Berbagai riset sosial menunjukkan pekerjaan hijau akan menimbulkan dampak positif untuk masa depan peradaban manusia. Di Indonesia sendiri, pekerjaan hijau paling berdampak pada sektor ketenagakerjaan. Penelitian Dewi dan Ma’ruf (2017) menyebutkan bahwa pada tahun 2016, pekerjaan hijau di tiga sektor (energi, pertanian, dan kehutanan) menghasilkan lebih dari 4 juta lapangan kerja di Indonesia. Pada tahun yang sama jumlah pengangguran menyentuh angka 7 juta. Adanya keseimbangan penawaran dan permintaan dari pekerjaan hijau dapat mengurangi angka pengangguran di Indonesia.

Dampak jangka panjang adalah terciptanya ekonomi yang berkelanjutan. Dengan adanya pekerjaan hijau, ketahanan kegiatan produksi barang dan jasa menjadi elemen kunci konsep berkelanjutan. Penelitian ini, secara gamblang menjelaskan bahwa ketahanan kegiatan produksi dan jasa akan berdampak pada stabilitas ekonomi makro, seperti pendapatan netto dan bruto. Pada akhirnya, pekerjaan hijau juga menorehkan dampak skala besar.

Inti pekerjaan hijau adalah menyeimbangkan kegiatan ekonomi dengan daya dukung lingkungan yang terbatas. Indonesia telah menetapkan komitmen ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29% pada tahun 2030. Untuk mencapai emisi nol bersih, transisi energi menjadi pilihan yang sangat penting, dengan target penggunaan energi terbarukan sebanyak 25% dari total energi bauran pada tahun 2025.

Meski target-target ini telah ditetapkan, implementasinya memerlukan tindakan nyata. Saat ini, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2019), sektor energi adalah penyumbang emisi terbesar dengan persentase sekitar 46,53%, diikuti oleh sektor transportasi (26,39%), manufaktur dan konstruksi (17,75%), dan sektor lainnya (4,63%). Tantangan ini memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana komitmen dalam ratifikasi Perjanjian Paris dapat diwujudkan dalam tindakan nyata.

Begitu pula di sektor ketenagakerjaan, pertumbuhan pekerjaan hijau terhambat oleh kurangnya sumber daya manusia yang memiliki keterampilan hijau yang memadai, terutama dalam aspek teknis. Dwi Tamara, peneliti dari Koaksi, menekankan pentingnya keterampilan hijau,

"Yang utama dari pertumbuhan green jobs adalah gimana kita memiliki green skills, bukan sekedar menghilangkan brown jobs. Kesadaran dan wadah sudah ada, tetapi sumber daya manusianya belum siap. Kalau dibiarkan, hal ini akan menghambat pertumbuhan pekerjaan hijau. Secara tidak langsung mempengaruhi percepatan transisi energi."

Meskipun Indonesia menghadapi tantangan yang besar, pekerjaan hijau tetap menjadi langkah yang penting. Ini adalah investasi jangka panjang yang akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, menciptakan peluang ekonomi, dan menjaga lingkungan yang berkelanjutan di masa depan.

Kolaborasi Pemerintah, Swasta, dan Pendidikan: Apa yang Bisa Dilakukan?

Adanya minat dan kepedulian yang tinggi terhadap keberlanjutan lingkungan, para pemangku kepentingan perlu mengimbanginya dengan menciptakan iklim kerja yang mendukung. Persoalannya, sebagian besar anak muda (45%) mengaku masih merasa belum didukung dan memiliki keraguan (39%) terkait adanya dukungan dari pemerintah dan institusi pendidikan saat ini.


Untuk menghadapi tantangan yang terkait dengan pengembangan pendidikan dan pekerjaan hijau di Indonesia, dibutuhkan komitmen yang luar biasa dari pemerintah serta kerja sama yang efektif dari semua pihak terkait. Kerja sama yang dilakukan harus bersifat inklusif sehingga pendekatannya bersifat grassroot dan melibatkan masyarakat sipil di luar pemerintahan untuk membuat rencana jangka panjang pembangunan yang hijau. Enda memberikan contoh praktik tersebut di India dan Korea Selatan yang menjalin kerja sama menggunakan konsep Public Private Partnership.

“Di sini peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) bisa menjadi penghubung antara kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam membuat kebijakan,” ujar Enda.

Upaya ini memang sudah dilakukan, tetapi belum maksimal karena pendekatannya masih berasal dari atas atau top-down. Selain itu, penguatan kementerian atau lembaga juga diperlukan, sinergitas antara kementerian akan membuat pemerintah bisa memberikan dukungan fiskal, finansial, bahkan non-finansial.

Tantangan utama lainnya adalah memastikan bahwa pendidikan yang disediakan oleh institusi pendidikan, baik itu tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, mencakup aspek-aspek yang relevan dengan pekerjaan hijau dan pemahaman mendalam tentang krisis iklim. Kurikulum yang memadukan konsep berkelanjutan, teknologi hijau, dan inovasi perlu diperkenalkan agar siswa dan mahasiswa memiliki pemahaman yang kuat tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan pilihan karier berkelanjutan.  

Selain itu, diperlukan tindakan konkret untuk menjembatani kesenjangan antara pendidikan dan dunia kerja hijau. Ini mencakup pengembangan program pelatihan dan kerja sama aktif antara institusi pendidikan, industri, dan pemerintah. Program ini harus mendorong pemahaman praktis dan pengalaman di lapangan, sehingga lulusan siap untuk menghadapi tuntutan dan perubahan dalam pekerjaan hijau.

“Swasta bisa menyediakan program magang ataupun penyediaan lapangan kerja hijau bagi tenaga kerja atau pun fresh graduates, mereka juga bisa bermitra dengan lembaga pendidikan atau pelatihan untuk supaya tercipta match making antara sektor pendidikan dan sektor industri,” tutur Tamara.

Pendidikan dan lapangan kerja berkelanjutan merupakan pilar kunci dalam upaya menuju masyarakat yang lebih hijau dan berkelanjutan. Oleh karena itu, penting untuk mengatasi berbagai masalah struktural yang saat ini mempengaruhi ketersediaan, aksesibilitas, dan relevansi pendidikan dalam konteks pekerjaan hijau.

Dalam konteks ini pula, pemerintah memiliki peran penting dalam memberikan insentif bagi perusahaan untuk mempekerjakan pekerja hijau, dan memastikan bahwa pekerjaan hijau diakui dan dihargai secara layak.

Liputan ini didukung oleh Yayasan Indonesia CERAH sebagai bagian dari program riset Persepsi Pekerjaan Hijau di Kalangan Anak Muda Indonesia.

Teks: Dian Amalia Ariani dan Nadiyah Fairuz Zahirah
Survei: Qaulan Maruf Indra, Caesi Rosprianti, Dita Pratiwi
Foto: Yayasan Indonesia CERAH
Editor: Kamila Meilina

Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, Berkualitas!