Siapa sangka, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) mampu menghasilkan ilustrasi visual hanya dalam hitungan menit? Kemudahan ini memang menggiurkan, tetapi di baliknya, tersimpan keresahan para seniman, terutama mereka yang menggantungkan hidup pada karya-karya seni yang dibuat dengan tangan dan hati. Ketika tren ilustrasi bergaya Ghibli ramai diperbincangkan di media sosial Maret lalu, keresahan para pekerja seni pun semakin menjadi-jadi. AI tidak hanya mempersingkat waktu produksi, tetapi juga mengancam peluang kerja dan penghasilan mereka.
AI bekerja berdasarkan prompt, alias semakin spesifik permintaan pengguna, semakin sesuai pula hasil yang akan diberikan. Sayangnya, kemudahan ini dimanfaatkan banyak pihak untuk menciptakan ilustrasi instan yang digunakan dalam strategi pemasaran, tanpa melibatkan seniman profesional. Hal ini berujung pada hilangnya peluang komisi bagi para pekerja seni, terlebih sampai sekarang, tidak ada regulasi jelas yang membatasi penggunaan AI.
Lebih menyedihkannya lagi, beberapa tokoh publik ikut menormalisasi penggunaan AI dalam kampanye visual mereka. Dalam kontestasi Pilpres 2024, misalnya, tim sukses Prabowo-Gibran menggunakan ilustrasi gemoy berbasis AI dalam berbagai media. Strategi ini tidak hanya menunjukkan kurangnya empati terhadap pekerja seni, tetapi juga memperparah hilangnya ruang apresiasi publik terhadap karya seni manusia.
Tren AI Mengancam Para Pekerja Seni
Marizza Fahmi, seorang pekerja seni yang telah berkarya sejak remaja, menyampaikan keresahannya pada Suara Mahasiswa (Suma) UI mengenai tren penggunaan AI dalam dunia seni. Menurutnya, AI berpotensi menggantikan proses pembuatan karya, yang bisa melemahkan kemampuan seseorang dalam menghasilkan karya secara orisinal.
“AI jadi agak menakutkan,” kata Marizza.
“Aku pernah bikin sebuah karya seni itu bisa tiga [sampai] empat jam, bahkan berhari-hari. Bikin sebuah lukisan, bikin sebuah ilustrasi, [semuanya] itu butuh effort dan waktu yang panjang,” ujarnya.
Menanggapi tren ilustrasi ala Ghibli yang sempat ramai, Marizza mengungkapkan kekecewaannya. Ia menilai, penggunaan AI untuk meniru gaya visual Studio Ghibli justru mengabaikan puluhan tahun kerja keras Hayao Miyazaki, sang pencipta sekaligus tokoh sentral di balik studio tersebut.
Sebagai seniman yang aktif membagikan karyanya di Instagram, Marizza merasa miris melihat orang-orang kini melewatkan proses goresan kuas di atas kanvas. Menurutnya, keinginan untuk mendapatkan ilustrasi secara instan justru menghilangkan esensi dari sebuah karya seni yang dibuat dengan sepenuh hati.
Tidak hanya dirinya, adik Marizza yang juga seorang pekerja seni turut merasakan dampaknya. Adiknya bercerita, pernah menemukan beberapa ilustrasi yang dijual di pasar daring. Sekilas, ilustrasi-ilustrasi itu tampak seperti karya seni buatan tangan, namun nyatanya buatan AI.
“Jadi dia nemu, nih, [di creative market], beberapa gambar yang ternyata dibuatnya pakai AI. Sedangkan dia, tuh, kalau bikin sebuah karya seni itu … wah, bisa begadang, bisa nggak tidur. Benar-benar capek banget gitu, ‘kan. Melelahkan,” tutur Marizza.
Kesenjangan antara usaha manusia dan efisiensi AI begitu nyata. AI tidak membutuhkan malam tanpa tidur, energi yang terkuras habis, hingga pikiran ataupun perasaan yang berkecamuk sepanjang menciptakan karya. Sementara itu, para seniman harus menyelaraskan emosi, warna, serta bentuk supaya karyanya bisa bermakna dan menyentuh hati penikmatnya.
Marizza menjelaskan bahwa AI bekerja dengan mengumpulkan data visual dari internet, termasuk dari karya seniman yang diunggah secara bebas.
“AI itu seperti machine learning. Jadi tanpa approval dari senimannya, [atau] yang membuat karya seni tersebut, [ilustrasi] itu diambil saja gitu sama AI untuk dipelajari,” ujarnya.
Dengan cara kerja seperti ini, AI menjadi ancaman besar bagi para pekerja seni. AI mempelajari ilustrasi secara masif untuk keuntungan perusahaan, tetapi ironisnya para pekerja seni tidak mendapatkan royalti atau kompensasi, meski karya mereka dipakai sebagai bahan belajar AI.
Melihat situasi ini, Marizza turut menyuarakan keresahannya kepada keluarga dan teman-temannya. Harapannya, publik bisa lebih sadar dan bijak menggunakan AI dalam kehidupan sehari-hari.
“Aku kepikiran sih, pengin share awareness-nya itu lebih luas lagi gitu di media sosial,” ungkapnya.
Marizza juga menambahkan bahwa seniman adalah pekerjaan yang luar biasa, sehingga ia berharap publik bisa lebih menghargai hasil karya seniman.
“Seniman itu bukan pekerjaan yang remeh gitu, [seniman adalah] pekerjaan yang luar biasa. Jadi aku berharap orang-orang ke depannya [bisa] lebih bijak [dalam] menggunakan AI dan [bisa lebih] menghargai [hasil kerja] para seniman.”
Belum Adanya Payung Hukum yang Tegas dan Berpihak
Sayangnya, keresahan pekerja seni seperti Marizza belum mendapat perlindungan yang layak dari pemerintah. Padahal, kehadiran regulasi sangat penting agar para pelaku seni merasa bahwa negara benar-benar berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini diperjuangkan. Hal ini sejalan dengan bunyi sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.”
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Prof. Dr. Sudarsono Hardjosoekarto, seperti dikutip dari laman ui.ac.id , juga menyampaikan bahwa penggunaan AI memiliki potensi negatif, seperti penyimpangan penggunaan fake digital image dalam komunikasi publik. Fake digital image atau gambar digital palsu berpotensi dalam menciptakan berita bohong dan memperkeruh komunikasi publik.
Di tengah kehadiran AI yang menghujam deras kekhawatiran para pekerja kreatif, upaya perlindungan justru hanya sebatas imbauan normatif yang tak mengikat. Hingga pertengahan 2023, satu-satunya dokumen resmi yang berkaitan dengan penggunaan AI adalah Surat Edaran No. 9 Tahun 2023 tentang Pedoman Etika Penggunaan AI.
Secara umum, surat edaran ini ditujukan bagi para pelaku usaha di bidang pemrograman AI dan penyelenggara sistem elektronik, baik sektor publik (pemerintah) maupun privat (swasta). Tujuannya adalah memberikan arahan nilai dan prinsip dalam pengembangan dan penggunaan AI di Indonesia, termasuk prinsip inklusivitas, kemanusiaan, keamanan, dan keberlanjutan. Namun, edaran ini secara eksplisit belum menyentuh isu-isu yang dihadapi para seniman atau pekerja kreatif secara spesifik. Fokusnya masih tertuju pada ranah bisnis dan teknologi digital.
Satu aspek lainnya yang tak kalah penting untuk diperhatikan ada pada poin kedua edaran, yaitu mengenai “Tanggung Jawab.” Bagian ini memang membahas soal manajemen risiko bagi para pengguna, namun belum menyentuh persoalan perlindungan bagi pekerja seni yang karyanya terdampak oleh AI. Hal ini memicu kekhawatiran, terlebih di tengah penggunaan prompt AI yang kerap kali mengambil karya seni tanpa izin. Sayangnya, isu tersebut belum mendapat ruang pembahasan memadai dalam dokumen resmi tersebut.
Tidak seperti Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP), SE tidak dapat dijadikan landasan hukum yang mengikat, melainkan hanya sebatas sebagai imbauan semata tanpa adanya daya paksa atau sanksi yang mengikat. Padahal, keresahan para pekerja seni seperti yang dialami Marizza dan banyak pelaku kreatif lainnya memerlukan kepastian hukum seperti UU yang lebih menjamin perlindungan terhadap pelaku seni.
Menanti Regulasi yang Melindungi Pekerja Seni
Sampai saat ini, regulasi AI di Indonesia masih dalam proses penyusunan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Wakil Menteri Komdigi, Nezar Patria dalam wawancaranya bersama Tempo (23/4) menyebutkan, regulasi tersebut ditargetkan akan rampung pada kuartal III tahun ini yang kemungkinan berbentuk peraturan menteri (permen) atau peraturan pemerintah.
Meski Komdigi telah menyampaikan bahwa regulasi AI tengah disusun, tetapi, belum ada jaminan bahwa kepentingan pekerja kreatif akan masuk ke dalam kerangka regulasi tersebut.
Kini, kalender sudah menunjukkan bulan kedelapan, tetapi para pekerja kreatif masih menunggu kepastian. Apakah regulasi ini akan benar-benar hadir sebagai payung hukum atau hanya akan menjadi janji manis yang tak kunjung nyata?
Penulis : Faizah Eka, Ardelia Zahra
Editor : Anita Theresia, Widdy Fatimah
Foto : Instagram/@izziepeachy
Desain : Hanif Ridhwan Nuruddin
DAFTAR REFERENSI
"AI Bisa Mengancam Seniman dan Melanggar Hak Cipta, Perlu Diregulasi Bukan Dilarang." The Conversation, 22 Mei 2025, https://theconversation.com/ai-bisa-mengancam-seniman-dan-melanggar-hak-cipta-perlu-diregulasi-bukan-dilarang-251370.
"Apa Itu Prompt AI? Ini Pengertian, Cara Kerja dan Contohnya." Tempo.co, 10 Februari 2025, https://www.tempo.co/digital/apa-itu-prompt-ai-ini-pengertian-cara-kerja-dan-contohnya-1205017.
"ChatGPT Pecahkan Rekor Pengguna Aktif Seiring Viralnya Fitur Foto ala Ghibli." Tempo.co, 2 April 2025, https://www.tempo.co/sains/chatgpt-pecahkan-rekor-pengguna-aktif-seiring-viralnya-fitur-foto-ala-ghibli-1226905.
"Inisiasi Gerakan Tolak Gambar AI oleh Para Pekerja Seni." Magdalene, 12 Januari 2024, https://magdalene.co/story/inisiasi-gerakan-tolak-gambar-ai-oleh-para-pekerja-seni/.
Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023. JDIH Kominfo, 2023, https://jdih.komdigi.go.id/produk_hukum/view/id/883/t/surat+edaran+menteri+komunikasi+dan+informatika+nomor+9+tahun+2023.
"Regulasi AI Masih Digodok, Komdigi Targetkan Rampung Kuartal III 2025." Tempo.co, 23 April 2025, https://www.tempo.co/digital/regulasi-ai-masih-digodok-komdigi-targetkan-rampung-kuartal-iii-2025-1234554.