Antara Kritik Gender dan Perjuangan Menjadi Ayah Tunggal

Redaksi Suara Mahasiswa · 10 Juli 2021
3 menit

Judul Film: Fatherhood
Sutradara: Paul Weitz
Produser: Marty Bowen, Kevin Hart, Peter Kiernan
Genre film: Drama, Komedi
Tanggal rilis: 18 Juni 2021
Durasi: 1 Jam 50 menit
Pemain: Kevin Hart, Alfre Woodard, Lil Rey Howery, DeWanda Wise, Melody Hurd

Raising a child, that’s nonstop, all day, all night affair.”

Peran mengurus dan merawat anak sering kali diidentikkan menjadi tugas ibu. Ketika anak melakukan kesalahan, sistem masyarakat secara dominan akan menyudutkan bahkan menyalahkan peran ibu. Saat perempuan harus menjadi orang tua tunggal, keputusan ini sangat diwajarkan masyarakat. Lain halnya ketika laki-laki menjadi seorang ayah tunggal, hal ini dianggap sebagai awal bencana baru. Konsep seksis ini sudah mengakar kuat dalam warisan budaya patriarki. Konsepsi ketika tugas mengasuh anak hanya dilekatkan pada diri perempuan. Lantas, bagaimana jika peran tersebut diambil alih oleh laki-laki? Benarkah urusan “mengasuh” anak hanya akan menjadi kacau dan kalut? Pandangan seksis tersebut berusaha disanggah melalui film garapan Netflix dengan judul Fatherhood. Film ini menceritakan perjalanan Matthew Logelin (Kevin Hart) yang harus menjadi ayah tunggal karena istrinya meninggal setelah melahirkan. Fatherhood berusaha menyuguhkan penonton sebuah kisah spesial dengan penuh drama menyentuh dan kadang diselingi komedi.

Film Fatherhood diangkat dari kisah nyata Matthew Logelin dan putrinya yang termuat dalam buku populer Two Kisses for Maddy: A Memoir of Loss and Love. Film ini dirilis Netflix berdekatan dengan hari ayah sedunia yakni pada 18 Juni lalu. Fatherhood mengisahkan perjalanan Matthew Logelin dalam prosesnya sebagai ayah tunggal. Awal film ini menampilkan scene bahagia ketika Matt bersama Istrinya (Liz Logelin) sangat menantikan kelahiran anak pertamanya. Selang beberapa lama setelah melahirkan, Liz tidak sadarkan diri dan meninggal dunia. Saat suasana berkabung, Matt dihadapkan dengan dua pilihan: merawat Maddie seorang diri atau menyerahkan Maddie ke mertuanya. Sesuai dugaan, akhirnya ia membesarkan Maddie seorang diri tanpa bantuan orang tua atau mertuanya. Awalnya, orang tua Matt sempat meragukan keputusan tersebut. Hal ini dibuktikan sesaat sebelum istrinya melahirkan, ia belum sempat merakit ranjang tidur untuk putri pertamanya. Alhasil, film ini menggambarkan upaya Matt yang harus berkutat dengan tangisan, rengekan kelaparan, dan drama popok bayi. Fatherhood berusaha menampilkan betapa stresnya kehidupan orang tua tunggal dengan beban ganda sebagai seorang ayah dan pekerja kantoran. Cerita semakin berlanjut saat Matt terjebak konflik percintaan dengan Lizzie (DeWanda Wise) dan konflik internal ketika dirinya takut tidak mampu menjadi ayah yang baik.

Melihat Fatherhood akan lebih bijak jika tidak hanya menilai dari aspek dramanya. Film ini berusaha menentang konsepsi tertentu.  Fatherhood menyiratkan kritik gender dan perlawanan konsep seksisme yang selama ini diterima secara luas oleh masyarakat. Fatherhood dengan lantang melawan pandangan “mengurus anak kan tugasnya perempuan”. Mengurus anak dengan segala kompleksitasnya tidak bisa diselesaikan di ranah seksis. Butuh peran setara yang tidak hanya menampilkan dominasi gender tertentu. Fatherhood berusaha melawan stigma tersebut, melawan stigma bahwa laki-laki tidak “becus” mengurus ranah domestik, melawan stigma jika ranah domestik bukan hanya milik perempuan. Selain itu, Matt sangat memberikan kebebasan kepada putrinya, khususnya dalam memilih menjadi perempuan dengan segala pilihan yang membuatnya nyaman. Ketika guru sekolah Maddie mengingatkan secara berulang bahwa ia harus memakai rok, Matt tidak ambil pusing dengan hal tersebut. Kritik gender semakin kontekstual saat Maddie lebih memilih pakaian dalam laki-laki dibanding perempuan. Matt lagi-lagi tidak ambil pusing dengan preferensi putrinya. Matt berusaha menyiratkan bahwa tubuh perempuan adalah otoritas. Mereka memiliki preferensi tanpa batas untuk mengekspresikan diri dengan nyaman.

Fatherhood menyuguhkan cerita keluarga yang umum dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bahasan mendalam berusaha dieksplorasi lewat alur cerita di film ini. Ceritanya yang dibangun sangat menyentuh, namun juga sangat klise. Banyak cerita yang harusnya menekankan hubungan ayah-anak terdistraksi konflik yang tidak terlalu penting. Selain itu, jalan cerita cenderung datar-datar saja—tidak ada scene khusus yang membedakan film ini dengan film drama komedi lainnya. Matt hanya berkutat dengan permasalahan Maddie dan dirinya. Di luar itu, konflik yang ditampilkan sangat biasa saja: tidak ada pergulatan ekonomi, bos yang pengertian, tempat kerja yang nyaman, dan tentunya ada support system.

Di sisi lain, film ini mampu menarik perhatian publik. Dilansir dari editorial Rotten Tomatoes, Fatherhood menjadi Top 10 film Netflix yang paling populer setelah dirilis pada Juni lalu. Karakter Matt berhasil diperankan dengan sangat baik oleh Kevin Hart. Dalam film yang membutuhkan kedalaman emosional, menyaksikan karakter Matt cukup membuat haru, terlebih saat dirinya berusaha menjadi ayah yang terbaik untuk Maddie. Beberapa scene antara Maddie dan Matt sangat menghibur dan membawa makna kekeluargaan. Film ini masih mampu membangun kesan yang spesial dan menyentuh di hati penonton.

Melihat segala kelebihan dan kekurangan film ini, Fatherhood sangat cocok menjadi rekomendasi film yang wajib ditonton bersama keluarga. Beberapa adegan memang ditampilkan dengan cukup emosional dan menyentuh hati penonton. Selain itu, ada kritik gender secara tersirat yang berusaha untuk disuarakan, yaitu bahwa tugas “mengurus” anak bukan hanya ranah domestik milik perempuan. Konsep tersebut berusaha ditentang lewat film ini. Fatherhood tidak hanya menyoroti drama kehidupan seorang ayah tunggal. Lebih dari itu, film ini berusaha menampilkan nilai-nilai keluarga yang dikemas secara menarik. Jadi, sudah siap menonton film Fatherhood minggu ini?

Teks: Dian Insan
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!