Sudah setahun berlalu, angka kasus Covid-19 kian melonjak setiap harinya. Hal ini berdampak besar terhadap berbagai sektor industri, tak terkecuali industri seni dan budaya. Teater merupakan salah satu bidang seni yang terdampak. Pertunjukan yang seharusnya disajikan secara langsung menjadi terhalang karena adanya protokol kesehatan.
Latihan, pertunjukan, dan penonton secara daring sangat tidak ideal bagi sebuah teater, karena karakteristik utamanya terdapat pada pertunjukan yang ditonton secara langsung sehingga terdapat interaksi antara lakon dengan penontonnya. Dengan kata lain, ketika teater kehilangan kontak langsung, baik antara aktor yang satu dan aktor lainnya, maupun aktor dengan penonton, sebetulnya pertunjukan ini sudah pindah menjadi media lain, yaitu seperti sebuah film sederhana, bukan teater. Hilangnya salah satu sifat dasar itu membuat teater menjadi lebih mirip dengan film, karena secara sejarah, film adalah teater yang direkam. Suasana yang dirasakan juga berbeda apabila pertunjukan dilakukan di gedung teater dengan penonton langsung dibandingkan dengan dilakukan secara daring. Saat penonton menikmati pertunjukan secara daring, nihilnya interaksi antara aktor dan penonton akan membuat penonton terdistraksi oleh hal lain sehingga menjadi tidak fokus.
Menurut I. Yudhi Soenarto, dosen Program Studi Sastra Inggris FIB UI sekaligus pelatih Teater Sastra UI, di Jepang sendiri sudah ada inovasi baru untuk pertunjukan teater secara luring di masa pandemi, yakni dengan membatasi penonton menjadi 30 orang saja. Setiap penonton kemudian dipisahkan masing-masing dengan sebuah box, sehingga mereka tetap menjaga jarak dan tetap mengikuti protokol kesehatan. Namun, hal ini belum ada di Indonesia, sehingga alternatif yang ada untuk saat ini hanya pertunjukan secara daring saja.
Meskipun dianggap tidak ideal, seni teater harus tetap berjalan sebagai bentuk upaya tidak menyerah dengan keadaan. Maka, pertunjukan teater dilakukan secara daring. Sistem pertunjukan daring ini diterapkan oleh Yudhi, dalam pertunjukan yang bertajuk “Selingkuh” oleh Program Studi Sastra Inggris FIB UI pada 15 Januari lalu. Untuk mematuhi protokol kesehatan, dalam pertunjukan “Selingkuh” tidak ada kontak fisik antara satu pemeran dan yang lainnya. Pertunjukan ini dimainkan oleh 7 orang, masing-masing bermonolog sesuai dengan alur plotnya.
Kendala akibat perubahan sistem kegiatan teater ini juga dialami oleh Teater Sastra UI. Teater Sastra UI merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bidang seni teater yang bernaung di FIB UI. Baik para pengurus maupun anggota harus mencari alternatif agar tetap bisa menjalankan kegiatan-kegiatannya. Meskipun begitu, masalah tetap bermunculan. Contohnya, sistem latihan fisik yang semula biasa dilakukan secara luring, kini terpaksa diubah menjadi latihan daring yang mengakibatkan beberapa masalah. “Pertama itu yang paling kita permasalahkan adalah kita ga bisa ketemu secara langsung, misalnya mau latihan fisik, pasti akan merasa awkward kalo latihannya di depan kamera, atau latihan suara, kan pasti suaranya ada delay-delay. Jadi, kalo menurut gue sebagai perwakilan dari Teater Sastra ga bisa secara langsung adalah hal yang paling mengganggu dan bikin jadi masalah,” ujar Tirta Samudrajiwa, Ketua Teater Sastra UI. Hal ini juga dikonfirmasi oleh Yudhi, “Tentu saja kalau latihannya secara daring susah untuk lebih mengontrol latihan, untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan, juga susah untuk memberi contoh secara langsung. Walaupun sangat terbatas, tetapi kita tetap melakukan latihan dan dilakukan secara online,” ujar Yudhi.
Dengan banyak kekurangannya, perubahan sistem dari yang semulanya luring menjadi daring tidak selalu membawa dampak negatif. Salah satu keuntungan dari pertunjukan daring adalah pertunjukan yang tidak menguras tenaga, hanya dibutuhkan usaha satu hari untuk pertunjukan yang sama karena pertunjukan bisa direkam dan diputar ulang untuk keesokan harinya. Teater Sastra UI sendiri beradaptasi dengan kendala akibat daring dengan melakukan kegiatan lain mereka seperti penyusunan program kerja dan program kerja secara daring. Sebelum melakukan perekrutan anggota, tahun ini Teater Sastra UI melakukan survei untuk mengetahui minat mahasiswa UI terhadap teater. Teater Sastra UI juga rencananya akan membuka kelas teater dengan sertifikat atas nama Teater Sastra UI. Rencananya, kelas ini akan mendalami ilmu teater dengan harapan nantinya akan ada pertunjukan secara daring.
Di samping kekurangan yang ada, pertunjukan secara daring memiliki potensi untuk tetap menjadi alternatif bahkan setelah pandemi berakhir. Namun, menurut Yudhi, sistem ini tidak ideal dan lebih baik hanya dilakukan jika memang tidak ada jalan keluar lagi. Walaupun pertunjukan dapat dilakukan secara daring sepenuhnya, latihan tidak mungkin akan dilaksanakan 100% secara daring juga, karena ada adegan-adegan tertentu yang mengharuskan para aktor untuk berada di satu ruangan yang sama. Jika tidak ada pertemuan secara langsung, adegan itu akan menjadi sulit untuk dibangun. Yudhi juga mengatakan bahwa bentuk pertunjukan yang cocok dilaksanakan dalam sistem daring adalah monolog karena dapat dilatih dan dilaksanakan sendiri-sendiri.
Tirta juga memiliki pendapat yang sama, menurutnya, monolog adalah bentuk yang sesuai jika pertunjukan harus dilakukan secara daring. Ia juga mengatakan bahwa pertunjukan daring dapat menggantikan pertunjukan luring dengan beberapa penyesuaian. Meskipun begitu, beberapa hal tentu saja pertunjukan akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan pertunjukan secara luring, seperti bagaimana suasana dalam pertunjukan, kepuasan aksi reaksi penonton terhadap aktor, juga perasaan aktor dan penonton ketika pertunjukan berlangsung.
Untuk kedepannya, baik Tirta maupun Yudhi memiliki harapan yang sama. Mereka berharap pandemi ini cepat selesai agar kegiatan teater baik latihan maupun pertunjukan dapat berjalan seperti sedia kala. Sebagai ketua Teater Sastra UI, Tirta berharap agar anggotanya tetap bisa semangat dalam menghadapi pandemi ini. “Buat anak-anak Tesas (Teater Sastra UI), khususnya anggota atau calon anggota, harapannya adalah mereka semangatnya tetep ada. Gue juga paham anggota-anggota Tesas pasti ngerasain, pasti ada rasa jenuh dari mereka karena gue sendiri pun melihat diri gue pernah merasakan itu. Jadi, kalo ada semangatnya pasti apapun akan jalan,” ujar Tirta.
Teks: Allya Shafira, Ari Mawangi, Fitri Hasanah, Rizky Mahardhika Pangestuti
Foto: Rifki Wahyudi
Ilustrasi: Cleora Mayangguna
Editor : Giovanni Alvita
Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!