Apa Kata Mahasiswa tentang Vaksin Covid-19?

Redaksi Suara Mahasiswa · 27 Februari 2021
5 menit

Dalam waktu yang menginjak hampir setahun ini, kita masih dirundung oleh pandemi yang belum menunjukkan penurunan kasus. Alih-alih terjadi penurunan, justru puncak kasus aktif per hari belum terlihat dan cenderung naik-turun. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes), dilansir dari Tanya Jawab Seputar Virus Corona (2020) mendefinisikan Coronavirus Disease-19 atau Covid-19 sebagai nama penyakit yang disebabkan oleh jenis virus korona paling baru yang disebut sebagai virus SARS CoV-2. Walaupun informasi tentang kronologi kemunculannya belum jelas, virus ini bermula diketahui dari Wuhan, China, pada akhir 2019. Namun, mobilitas antarnegara penduduk dunia saat ini sangat tinggi sehingga penyebaran Covid-19 dapat terjadi secara berkelompok saat berinteraksi secara langsung. Hal ini membuat berbagai negara membuat kebijakan seperti lockdown, partial lockdown, atau sejenisnya untuk membatasi mobilitas tersebut.

Di Indonesia, Covid-19 baru diketahui pada 2 Maret 2020, yang bermula di Kota Depok, saat terdapat kemunculan gejala dari orang yang memiliki kontak erat dengan warga Jepang yang positif mengidap Covid-19 (Fadli, 2020). Indonesia tidak mengambil kebijakan lockdown, tetapi partial lockdown di beberapa daerah dengan kasus tinggi yang terus berganti nama, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), baik berskala besar maupun kecil. Kebijakan ini belum efektif dalam menurunkan kasus karena langkah 3T (Testing, Tracing, and Treatment) dan 5M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak, Menghindari Kerumunan, dan Membatasi Mobilitas) kurang dilakukan secara maksimal dalam mengendalikan pandemi. Namun, Indonesia terus melakukan berbagai upaya seperti menambah rumah sakit khusus pasien Covid-19, mengambil alih beberapa gedung untuk menjadi tempat isolasi, serta tanggap berinovasi dalam mengendalikan pandemi, terutama vaksin Merah-Putih yang memiliki beberapa platform (teknologi vaksin).

Saat ini, vaksin Merah-Putih masih berada pada uji klinis fase 1 sehingga Indonesia tidak bisa hanya menunggu begitu saja setelah melihat langkah 3T yang kurang maksimal dalam setahun ini. Perkembangan teknologi di dunia kesehatan terus menuntut setiap negara untuk mempercepat vaksinasi Covid-19, salah satunya adalah vaksin Sinovac yang berasal dari China. Vaksin Sinovac menggunakan platform yang sudah banyak digunakan pada vaksin-vaksin penyakit sebelumnya, yakni virus SARS CoV-2 yang diinaktivasi. Hal ini menyebabkan percepatan uji klinis dari 10–15 tahun berdasarkan literatur The History of Vaccines (2020) dapat dipercepat menjadi 12–18 bulan sehingga Indonesia tanggap dalam uji coba vaksin Sinovac pada PT Biofarma. Uji klinis ini dilakukan terhadap 1.600 partisipan berusia 18–59 tahun yang berdomisili di Bandung untuk mengetahui efikasi mengingat peneliti tidak memberikan transparansi data efikasi vaksin Sinovac. Hasilnya, efikasi yang didapat lebih kecil daripada efikasi vaksin lain yang juga dipesan Indonesia seperti vaksin Pfizer dan Moderna, yaitu 65,3 persen (Deng et al., 2021). Efektivitas vaksin tersebut teruji apabila efikasi memenuhi persyaratan dari WHO, yaitu minimal 50 persen. Oleh karena itu, vaksin Sinovac sudah mendapat Emergency Unit Authorization (EUA). Hal ini cukup menjadikan perbedaan pola pikir antara mahasiswa dan masyarakat awam karena pemerintah dapat dikatakan paling cepat mendapatkan vaksin dari China dengan efikasi yang paling rendah.

Sejauh ini, mahasiswa belum mengangkat isu vaksin Sinovac karena informasi yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) mengenai prosedur vaksinasi berdasarkan prioritas serta vaksin Sinovac itu sendiri. Berdasarkan survei penerimaan vaksinasi terhadap lebih dari 115 ribu masyarakat Indonesia dalam Covid-19 Vaccine Acceptance Survey in Indonesia (2020), 30 persen meragukan keamanan vaksin. Sinovac dapat dikatakan sebagai vaksin pertama di Indonesia yang aman karena memiliki efek samping 0,1 persen, yaitu pegal-pegal yang bersifat sementara.

Walaupun begitu, masifnya pemberitaan vaksin di media sosial sering kali memunculkan kecenderungan pro dan kontra, terlebih lagi setelah Presiden Republik Indonesia menyatakan vaksinasi dilaksanakan secara gratis dan menjadi orang pertama yang divaksinasi. Salah satu contohnya adalah perbedaan vaksin Sinovac yang digunakan Presiden dan masyarakat setelah melihat pemberitaan kelumpuhan hingga meninggalnya beberapa orang setelah divaksinasi. Subjek vaksinasi harus menunggu selama 30 menit untuk melihat efek samping yang mungkin terjadi sehingga persiapan peralatan sudah disediakan sebelumnya.

Namun, kemungkinan-kemungkinan pemberitaan tersebut bukan semata-mata karena vaksin, melainkan penyakit komorbid atau riwayat gejala sebelumnya yang seharusnya belum menjadi prioritas vaksinasi. Subjek vaksinasi seharusnya jujur dalam melakukan informed consent terhadap dokter yang akan menyuntik sehingga kejadian tersebut tidak terjadi sehingga menggiring masyarakat yang masih sehat untuk mengurungkan niat divaksin. Padahal, setiap orang yang sehat berhak untuk divaksinasi untuk mengendalikan pandemi lebih cepat. Di sisi lain, masyarakat yang bukan merupakan kaum prioritas penerima vaksin juga berhak untuk menolak. Ketidakmampuan untuk menghakimi orang lain yang menolak vaksinasi terjadi karena dua kemungkinan, yaitu belum termasuk kriteria vaksinasi atau belum menerima informasi secara utuh dan jelas.

Tentunya, pandemi Covid-19 semakin cepat dikendalikan apabila cakupan vaksinasi semakin banyak melalui peningkatan prioritas dan kecepatan vaksinasi yang lebih tinggi. Berdasarkan data Bloomberg, vaksinasi di Indonesia selesai dalam 6–7 tahun, bergantung kerja sama antara pemerintah dan masyarakat dalam mempercepat vaksinasi serempak. Oleh karena itu, edukasi mengenai vaksin tidak hanya dilakukan oleh Kemenkes, tetapi juga relawan Covid-19 yang lebih memahami pola pikir masyarakat awam sehingga mereka tidak menerima informasi hoaks secara mentah-mentah.

Mahasiswa pun bersedia untuk divaksinasi, terutama yang akan menjalankan pembelajaran secara luring karena dianggap sebagai kelompok yang rentan terhadap Covid-19, selain profesi garda terdepan seperti tenaga kesehatan. Salah satunya adalah mahasiswa FKUI yang melakukan Objective Structured Clinical Examination (OSCE) dan divaksinasi di RSUI. Bahkan, saya pun bersedia untuk divaksinasi walaupun belum menjadi prioritas karena masih mengikuti pembelajaran 100 persen daring. Selain itu, saya saat ini sering mengalami batuk dan pilek sehingga kriteria tersebut belum diprioritaskan dalam vaksinasi.

Pola pikir saya sebagai mahasiswa FF UI, mahasiswa FK UI, dan masyarakat awam juga sudah berbeda, mengingat informasi yang dibaca juga lebih banyak dilakukan mahasiswa. Hal ini didukung oleh berbagai kegiatan yang menuntut saya untuk membaca berbagai informasi dari jurnal, berita terkini, artikel, dan website yang kredibel. Oleh karena itu, membaca tidak hanya berdasarkan satu sumber, terlebih lagi sumber tersebut menyesuaikan nafsu pro-kontranya. Padahal, informasi dari Kemenkes sudah sangat jelas dengan gaya bahasa yang sesuai dengan kehidupan masyarakat.

Pada masa vaksinasi ini, masyarakat perlu mensyukuri bahwa vaksin Sinovac jauh lebih cepat didistribusikan di Indonesia mengingat pemesanan vaksin dilakukan secara rebutan dengan negara lain. Walaupun langkah pemerintah dan masyarakat belum maksimal dalam menangani Covid-19, kebiasaan saling menyalahkan perlu dihentikan karena pandemi ini tergolong baru. Hal ini membuat pemerintah Indonesia kurang antisipatif dalam membuat kebijakan dan menindak tegas masyarakat yang melanggar, yang menyebabkan kasus aktif per hari terus meningkat bahkan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Jika kita dapat mempelajari langkah penanganan Covid-19, adakalanya kerja sama masyarakat dan pemerintah perlu ditumbuhkan kembali melalui keikutsertaan dalam vaksinasi. Presiden RI sudah meyakinkan masyarakat bahwa vaksin Sinovac “Aman dan Halal”, bahkan dapat diberikan secara gratis. Selain itu, pemerintah juga perlu berhati-hati dalam menentukan prioritas vaksinasi melalui informed consent untuk mempercepat terjadinya herd immunity atau kekebalan kelompok dalam menghadapi virus Covid-19, dan pandemi Covid-19 segera berakhir.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Muhammad Fahrul Rizal (FF UI 2018)
Ilustrasi: Berliana Dewi R.
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Referensi:
Deng, C., Emont, J. (2021). Indonesia Is First to Approve Sinovac Vaccine Outside China. Diakses 10 Februari 2021, dari https://www.wsj.com/articles/indonesia-is-first-to-approve-sinovac-vaccine-outside-china-11610372933
Fadli, R. (2020). Begini Kronologi Lengkap Virus Corona Masuk Indonesia. Diakses 10 Februari 2021, dari https://www.halodoc.com/artikel/kronologi-lengkap-virus-corona-masuk-indonesia
Tim Penulis. (2020). Covid-19 Vaccine Acceptance Survey in Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, NITAG, UNICEF, WHO
Tim Penulis. (2020). Tanya Jawab Seputar Virus Corona. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, USAID, GERMAS.
Tim Penulis. (2020). The History of Vaccines. Vaccine Development, Testing and Regulation.