Beda Tujuan Beda Impresi, IISMA untuk Ilmu atau Jalan-Jalan Semata?

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 April 2023
5 menit

Permasalahannya adalah bagaimana program ini disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab yang menjadikan program IISMA hanya sebagai program jalan-jalan,” ujar Albert Julio.

Berjalan dua tahun sejak diluncurkan pada Januari 2021 lalu, kebijakan Kampus Merdeka telah berhasil memikat minat di kalangan akademisi, khususnya mahasiswa yang menjadi target partisipan dari kebijakan ini. Di tengah banjirnya apresiasi, sejumlah kebijakan Kampus Merdeka juga mendapatkan kritik dan saran publik. Mulai dari permasalahan insentif magang, belum jelasnya skema konversi SKS, hingga dianggap sebagai bentuk depolitisasi pendidikan yang dapat meredupkan sikap kritis mahasiswa.

Baru-baru ini, salah satu kritik kembali berdatangan terhadap program Indonesia International Mobility Awards (IISMA). IISMA merupakan salah satu program unggulan dari Kemendikbudristek untuk memberikan beasiswa kepada para pelajar di Indonesia dalam program mobilitas selama satu semester di universitas terkemuka di dunia. Tujuan dari diselenggarakannya program ini adalah memberikan hak dan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensi dan pengetahuan, serta memberikan pengalaman studi di perguruan tinggi luar negeri sebagai implementasi dari program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Para penerima beasiswa ini melalui dua tahapan seleksi yang cukup ketat, yaitu seleksi berkas dan dilanjutkan dengan wawancara.

Refleksi bermula saat salah seorang pengguna akun Twitter mengekspos konten pribadi awardee IISMA yang dianggap kurang sesuai dengan norma sosial. Kritik tersebut mendapatkan respons yang cukup ramai dari warganet yang mempersoalkannya sebagai penerima beasiswa. Meskipun, tentu preferensi moral dan pencapaian akademik bukan sesuatu yang memiliki korelasi signifikan. Namun, diskusi warganet mendapatkan beberapa refleksi yang cukup menarik.

Diantaranya, kami menemukan argumen dari salah seorang mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia (HI UI), Albert Julio yang akrab disapa AJ Dalam salah satu utas di akun Twitter, AJ menyinggung beberapa masalah terkait dengan promosi dan citra program, alokasi program tersebut, dan hingga saran kebijakan afirmasi untuk penyeleksian IISMA. Saat berita ini diterbitkan, AJ telah menjadi salah satu awardee IISMA di Osaka University.

Beda Tujuan, Beda Impresi

Tujuan awal dari program  IISMA sendiri adalah memberikan kesempatan yang sama bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensi serta pengetahuannya lewat program pertukaran pelajar di universitas terkemuka dunia. Namun, menurut AJ, daripada sebagai program belajar, banyak awardee yang lebih menonjolkan  program ini sebagai program jalan-jalan yang dibiayai negara. Sejumlah netizen termasuk AJ berpendapat bahwa citra yang ditampilkan para penerima beasiswa IISMA akan mempengaruhi citra dari program Kampus Merdeka, sehingga saat mereka dalam masa belajar orang-orang dapat menilai tanggung jawab mereka sebagai awardee.

Menurut AJ, akan lebih baik jika penyelenggara IISMA mempertimbangkan kewajiban bagi awardee untuk mempublikasikan kegiatan akademis, sosial budaya secara berkala untuk mengimbangi dan mempertahankan citra IISMA sebagai program beasiswa pelajar.

“Yang gua harapkan, yang dipancarkan dari program IISMA adalah kesempatan untuk berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa luar dan kesempatan untuk bertukar ilmu serta mendapatkan ilmu secara langsung dari dosen-dosen yang memiliki perspektif luas,” tutur AJ.

Namun sayangnya, menurut AJ dari para awardee yang sering ia tonton, lebih banyak yang membagikan pengalaman jalan-jalannya.

halo guys gua muterin Eropa,Gua ga bilang lu ga boleh jalan-jalan, tapi ketika lu nonjolin kesitu –kegiatan pembelajaran– juga, itu akan bikin IISMA lebih dari sekedar program jalan-jalan ”, terang AJ dalam wawancaranya kepada reporter Suara Mahasiswa Universitas Indonesia (SUMA UI) beberapa pekan lalu.

Ia menceritakan beberapa orang-orang yang ia kenal memiliki tujuan untuk jalan-jalan dengan memilih negara-negara yang dianggap indah dan modern. Mungkin ini adalah salah satu fakta yang perlu diakui dan dievaluasi bagi tim seleksi IISMA untuk lebih selektif dan berhati-hati dalam menyeleksi motivasi para penerima beasiswa.

speaking as personal aja, ketika orang-orang yang gue kenal, keterima IISMA, tapi gue tau alasan mereka buat mengambil program ini buat jalan-jalan aja, apa itu hal yang etis? Di luar sana banyak anak-anak benar-benar berupaya susah-susah mencari kesempatan buat ke luar negeri untuk belajar dan mendapatkan pengalaman ini,” keluh AJ.

“Sekarang pendaftar IISMA makin membludak, takutnya program ini kemudian disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang hanya menjadikan ini sebagai program jalan-jalan,” tambah AJ.

AJ kemudian menambahkan argumennya dengan menambahkan ramainya pendaftar IISMA di suatu negara tertentu dapat menjadi indikator bahwa suatu negara memiliki tingkat attractive yang tinggi sehingga banyak dari pendaftar ingin ke negara tersebut. Menurutnya, akan jadi bermasalah jika para awardee lebih mempertimbangkan keindahan negara tersebut daripada tujuan akademik mereka.

“Contohnya aja nih, Bombay dikeluarkan dari daftar universitas tujuan IISMA. Gua dengar pendaftarnya sedikit. Gua nggak tahu alasan didropnya apa, tapi kalau dari rumor yang beredar, mungkin karena India dianggap enggak attractive dari segi wisata dan keindahannya. Padahal Bombay is home to one of greatest scientific program in the world. Maksud gua adalah jangan sampe mahasiswa nanti malah milih program berdasarkan tingkat estetika negara tersebut, bukan universitasnya,” tutur AJ.

Kebijakan Afirmasi dan Monitoring

Selain menyampaikan kritik yang mengundang berbagai perdebatan di laman sosial media khususnya Twitter, AJ juga memberikan saran kepada pemerintah dalam pelaksanaan beasiswa IISMA untuk menerapkan kebijakan afirmasi. Affirmative action atau tindakan afirmatif, selain bertujuan untuk menyamaratakan akses IISMA pada setiap lapisan sosial masyarakat, juga memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak memiliki privilege ekonomi untuk dapat bersaing sehat dalam mengikuti IISMA.

“Orang-orang yang tidak memiliki privilege itu ngga punya keuntungan dalam tes Bahasa Inggris. Misalnya, enggak semua orang dilahirkan di lingkungan yang mendukungnya untuk dapat berbahasa Inggris. Gua tidak mau mengenelarisir, tapi orang-orang yang tinggal di lingkungan mendukung tentu bisa membuatnya memiliki kemampuan bahasa Inggris yang lebih tinggi. Lihat aja, daerah yang pakai which is, literally itu di Jakarta Selatan, bukan di daerah-daerah lain,” terang AJ.

Keadilan yang diinginkan AJ adalah saat di mana tiap masyarakat dapat mencapai titik persaingan yang sama. Dengan memahami kondisi dan latar belakang seseorang yang berbeda-beda, beberapa orang memiliki akses terbatas dalam menunjang kebutuhannya, namun juga memiliki kesempatan untuk mendapatkan peluang beasiswa pertukaran pelajar. Dengan demikian, tim penyeleksi IISMA juga dapat memprioritaskan motivasi para peserta IISMA.

“Ketika proses pemilihan kandidat, wawancara itu harus dilakukan lebih-lebih mendalam lagi ditekankan lagi sebenarnya komitmen mereka terhadap Indonesia itu gimana, ini program digunakan untuk membangun diri mereka dan Indonesia,” terang AJ.

Permasalahan berbahasa Inggris juga tidak seputar lingkungan yang mendukung. Akan tetapi, masalah biaya dalam mengambil tes berbahasa Inggris juga perlu diperhatikan mengingat nominal yang dikeluarkan tidak sedikit.

Tindakan afirmatif yang disarankan AJ adalah untuk membantu anak-anak yang tidak memiliki kesempatan tersebut, atau setidaknya, tindakan ini bisa dilakukan dengan menyediakan kuota khusus untuk anak-anak yang memiliki kesempatan lebih kecil. Menurutnya, perihal kesempatan bukan hanya tentang bekerja keras. Apalagi, untuk anak-anak yang terjebak kemiskinan struktural.

Selain itu, AJ juga menyoroti kurangnya pengawasan terhadap penerima beasiswa. Baginya, monitoring juga penting untuk ditingkatkan dalam proses perjalanan IISMA. Penekanan terhadap komitmen untuk mempromosikan citra IISMA sebagai program sosial-akademik daripada sekedar jalan-jalan gratis.

“Gua punya salah seorang senior, dia waktu itu dapetnya ke Sussex dan hampir setiap hari, dia sering banget nge-share dia lagi belajar di kelas sama mahasiswa dan kegiatan akademik lainnya. Itu hal positif yang buat gua tertarik tapi gua ga akan nyebut oknum-oknum yang lebih seru nge-bagiin perjalan-perjalanan mereka, it’s not wrong tapi tolong liatin juga apa sih yang lo pelajari disana gitu,” saran AJ.

Pendapat AJ dapat menjadi poin awal yang bagus untuk berefleksi terhadap program ini untuk memperbaiki hal-hal yang kurang ideal mulai dari seleksi hingga monitoring.

“Siapapun yang ikut IISMA semoga bisa amanah dan dapat memberikan kontribusi lebih terhadap Indonesia, atau seminimalnya memberikan impresi yang baik di Indonesia dan di luar Indonesia,” tutup AJ.

Kritik yang disampaikan AJ dapat menjadi refleksi awal untuk program IISMA kedepannya. Hal ini berkaitan dengan akuntabilitas IISMA sebagai program belajar yang dibiayai oleh negara dan masyarakat. Perdebatan tentu masih bisa bergulir, berbagai ide, solusi, dan pendapat bisa diberikan kepada pihak penyelenggara program. Namun, suara-suara evaluatif boleh jadi pertimbangan dan perhatian dari warga negara untuk meningkatkan kualitas IISMA agar dapat terus berjalan dengan baik.

Teks: Daffa Ulhaq, Chika Ayu
Editor: Dian Amalia
Ilustrator: Kejora Sava

Pers Suara Mahasiswa Indonesia 2023
Independen, Lugas, Berkualitas!