Berlapis Trauma: Kampus Harus Berperan Memutus Siklus Kekerasan dalam Pacaran

Redaksi Suara Mahasiswa · 26 Desember 2022
13 menit

[Peringatan: Cerita berikut dapat memicu pengalaman traumatis. Kami sarankan Anda tidak melanjutkan membaca jika dalam keadaan rentan. Beberapa nama disamarkan demi keamanan korban]

Meski sudah berhasil keluar, bayang-bayang peristiwa traumatis masih terekam berat dalam pikiran Lia. Lia, nama samaran, 21 tahun, salah satu mahasiswi dari perguruan tinggi negeri di Indonesia menceritakan kekerasan dalam pacaran yang ia alami saat masih duduk di bangku kelas akhir Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jawa Barat.

Selama lima tahun menjalin hubungan, kekerasan tersebut baru terjadi dalam satu tahun terakhir. Hal tersebut yang membuatnya tidak segera mengakhiri hubungan pacaran saat kekerasan berlapis berulang kali terjadi kepadanya.

Ia kini menyebut diri penyintas. Tapi jauh di dalam hati, ia tetaplah korban kekerasan. Rasa takut masih membayang, seandainya kejadian itu terulang kembali. Kadang bayangan itu lebih besar, mengungkung di atas keberaniannya melawan dan bertahan. Ini cerita Lia dituturkan kepada Suara Mahasiswa.

Kejadian bermula saat terduga pelaku mulai membahas tentang adegan-adegan seks yang pernah ia tonton. Saat itu, Lia tidak mau melakukan hubungan seksual dalam bentuk apapun dengan pacarnya. Berulang kali Lia menolak, tetapi terduga pelaku bersikeras dan tetap mencium Lia.

Gua nggak mengerti ini perasaan apa, di sisi satu gua senang dia pacar gua, tapi di sisi lain gua merasa nggak nyaman dan nggak terima dia yang nggak menghargai gua yang belum mau melakukannya,” tutur Lia mengungkapkan kebingungannya saat ditemui langsung Suara Mahasiswa UI di indekosnya (17/11).

Setelah mencium Lia, pacarnya mulai meminta melakukan adegan-adegan seksual lainnya. Saat itu, Lia berharap pacarnya dapat menghargai penolakan Lia. Akan tetapi, ketika Lia berusaha menolak, pacarnya menjadi pribadi yang kasar. Ia sering marah karena hal-hal sepele dan terus-menerus merendahkan Lia.

“Kami pernah cekcok kemudian dia melempar gua dengan handphone, pernah juga power bank. Benar-benar kena muka gua dan itu sakit banget,” ujar Lia.

Foto: Handphone Korban, Bukti Kekerasan Fisik oleh Pacar yang Dikirim Langsung oleh Penyintas


Selain kekerasan fisik, terduga pelaku juga menjejali Lia dengan berbagai umpatan yang merendahkan. “Kalau dia marah, dia selalu bawa-bawa kata bodoh. ‘Apa sih, emang lu ngerti? Otak aja enggak pernah dipakai’,” demikian Lia menirukan kalimat yang sering diutarakan pacarnya.

Kondisi Lia, yang sebelumnya telah lama hidup dengan kondisi bipolar, menjadi sering kambuh dan semakin parah ketika pacarnya melakukan berbagai bentuk kekerasan terhadap dirinya. Ia kerap berkunjung ke seorang psikiater di salah satu Rumah Sakit Jiwa ternama di daerah Bogor.

Lia pernah menceritakan kondisi mentalnya kepada terduga pelaku, alih-alih mengubah sikap, terduga pelaku justru menggunakan kondisi tersebut untuk membuat Lia merasa bergantung dan tidak berdaya.  

Lia kerap merasa jijik pada dirinya sendiri dan sempat menarik diri dari lingkungan sosialnya setelah di-cap sebagai ‘cewek kotor’ oleh terduga pelaku.

“Memang siapa lagi yang mau sama cewek penyakitan kayak lu selain gua?” begitu kalimat yang hampir selalu dilontarkan terduga pelaku sehingga Lia benar-benar merasa membutuhkan keberadaan terduga pelaku.

Sikap itu juga membuat Lia sulit menenangkan diri ketika belajar menyiapkan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Ia kerap menangis tatkala mengingat pernyataan terduga pelaku yang menganggapnya penyakitan dan bodoh. Dampak lain, kepalanya sering sakit. Dalam kondisi parah, Lia bahkan sampai harus dibawa ke rumah sakit.

Gua belajar pun harus ditemani, biar gua nggak melakukan self-harm. Gua suka self-harm karena kepala gua sakit banget sampai pernah ke Institusi Gawat Darurat. Walaupun sekarang gua terbilang udah pulih, kebiasaan kecil self-harm itu masih gua bawa sampai sekarang,” tutur Lia.

Tindakan yang selama ini dilakukan terduga pelaku dianggap Lia sebagai upaya untuk memanipulasinya. Terduga pelaku kerap memberi pembenaran atas tindakan kekerasan yang ia lakukan, dan  kemudian meminta maaf seusai melakukan kekerasan. Kondisi tersebut membuat penyintas menjustifikasi berbagai kekerasan yang dialaminya. Hal itu membikin Lia  merasa pasangannya seolah telah berubah lebih baik. Kemudian, siklus itu terulang lagi: terduga pelaku akan kembali dengan sikap sama sembari menyatakan penyesalan.

“Kalau orang-orang bertanya kenapa gua nggak putus? Nah itu, setiap ada masalah dia benar-benar minta maaf dan gua ngerasa hubungan kami menjadi lebih baik dari yang kemarin, jadi gua merasa ada harapan untuk memperbaiki,” tutur Lia.

Berbulan-bulan kekerasan itu terjadi, terduga pelaku ternyata juga selingkuh. Hal itu membuat Lia merasa disia-siakan. Menurut Lia, meskipun hanya satu tahun, proses yang harus ia jalani seperti siksaan yang sulit dilepas karena terjebak dalam siklus kekerasan dalam pacaran.

Serupa dengan Lia, Nada (22 tahun), bukan nama sebenarnya, mahasiswi aktif di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta juga pernah berada dalam hubungan dengan pasangan yang secara konstan melakukan kekerasan secara fisik, ekonomi, dan seksual kepadanya selama 7 bulan berpacaran. Nada mengalami luka emosional yang dalam, seperti kecemasan dan perilaku antisosial.

“Sejak pacaran, aku jadi nggak percaya diri dan suka menarik diri dari lingkungan sosial,” ujar Nada saat diwawancarai Suara Mahasiswa UI melalui daring(23/11).

Kondisi tersebut sudah berlangsung cukup lama. Nada terperangkap dalam siklus kekerasan yang membuatnya tertekan, tidak nyaman, bahkan merasa kehilangan diri sendiri. Padahal kondisi itu tidak pernah ia alami sebelum pacaran. Ia cenderung memiliki kegemaran bergaul dan suka bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

“Sekarang mau coba bersosialisasi sudah lemas dan tremor duluan. Aku yang dulu sudah tidak ada lagi,” terang Nada.

Selain secara psikis, terduga pelaku juga membebani Nada dengan keinginan belanja yang harus Nada penuhi. Saat Nada menyarankan kepada terduga pelaku untuk menabung agar dapat membeli barang yang dia inginkan, terduga pelaku justru memanipulasi Nada dengan membuatnya merasa bersalah jika tidak mau membelikan barang yang diminta.

“Kamu nggak punya uang apa? Kamu nggak mau membelikan pacarmu apa?” ujar terduga pelaku seperti ditirukan Nada kala itu.

“Terkadang barang yang dibeli bukan buat hal yang penting sebenarnya. Cuma buat kesenangan dia aja, tapi kalau nggak dibelikan, dia menganggap aku tuh nggak sayang, aku pelit,” lanjut Nada.

Kekerasan selama berbulan-bulan itu menyebabkan adanya perubahan psikologis pada diri Nada. Pada pertengahan 2021, Nada memutuskan untuk konsultasi ke psikiater melalui salah satu aplikasi telekonsultasi berbayar. Setelah beberapa kali konsultasi, Nada didiagnosis mengidap BPD (Borderline Personality Disorder) atau gangguan kepribadian ambang.

Usai didiagnosis, Nada pun perlu merogoh kocek lebih dalam untuk membeli obat-obat sesuai resep dokter dan psikiater. Berdasarkan hitung-hitungan Nada, ia menghabiskan sekitar sepuluh juta rupiah sebagai total kerugian materil dari hubungan toksik yang ia jalani.

Hari-hari berlalu, emosi dan uang Nada terkuras, meski menjadi pribadi yang berbeda, ia tetap melanjutkan sekolah dan kehidupan sosialnya.

Walaupun sulit, Nada dan Lia berhasil keluar dari lingkaran kekerasan sebelum membawa mereka ke situasi lebih parah seperti yang dialami NWR. NWR adalah seorang mahasiswi Universitas Brawijaya yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya lantaran terjebak dalam siklus kekerasan dalam pacaran pada akhir 2021 lalu. Selama kurang lebih dua tahun, NWR diduga kuat menjadi korban eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi oleh pacarnya, Bripda Randy Bagus Sasongko yang bekerja di Polres Pasuruan Jawa Timur. Perempuan berusia 23 tahun yang saat itu masih menempuh pendidikan sarjananya, ditemukan meninggal di samping pusara makam ayahnya akibat depresi berat yang berakar dari kekerasan demi kekerasan yang dialaminya.

Kisah NWR, Nada, dan Lia hanya puncak dari gunung es kekerasan dalam pacaran. Masih banyak korban lainnya yang bernasib serupa. Hal ini tercermin dari data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang mendapatkan 4.500 aduan Kekerasan dalam Pacaran (KdP) yang diterima per Oktober 2021. Jumlah ini meroket dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

Selama lima tahun terakhir, kasus KdP terus mengalami angka kenaikan kasus yang signifikan. Pada 2021, KdP kembali menempati urutan kedua kasus kekerasan di ranah personal yang paling banyak terjadi (1.222 kasus) setelahnya Kekerasan terhadap Istri (2.633 kasus). Sudah tiga tahun terakhir ini, pacar konsisten menjadi pelaku kekerasan seksual terbanyak (953 kasus).

Melansir Tempo, Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini  mengatakan bahwa pada 2021, kasus kekerasan dalam pacaran merupakan yang paling sering dilaporkan masyarakat.

“Dari pelaporan yang kita terima dari awal Januari 2021 hingga Oktober, sudah ada 4.500 pelaporan yang mana 1.200 laporan di antaranya merupakan kasus kekerasan dalam pacaran,” ujar Theresia pada Selasa (7/12/2022).

Hasil Survei Suara Mahasiswa UI: Seberapa Dekat Kekerasan dalam Pacaran dengan Mahasiswa?

Untuk mengetahui secara faktual seberapa dekat isu kekerasan dalam pacaran dengan mahasiswa, Suara Mahasiswa Universitas Indonesia melakukan survei dengan target responden mahasiswa yang pernah mengetahui/melihat/mendengar/mengalami kekerasan dalam pacaran. Survei dibuat dengan menggunakan platform Google Form lalu disebarkan selama 12 hari dari kurun waktu 14-25 November 2022. Survei ini menerapkan metode purposive sampling, bergulir dari satu orang ke orang lainnya untuk menemukan responden sebanyak-banyaknya.

Sebanyak 145 responden mengisi survei tersebut. Akan tetapi, dalam tahap pengolahan data empat orang responden dikecualikan dari data mentah karena dua orang responden tidak setuju (consent) untuk mengisi survei ini. Sementara dua orang responden tidak teridentifikasi asal perguruan tingginya. Sehingga total responden yang dinilai valid sebanyak 141 orang.

Survei ini tidak menggambarkan pandangan dan sikap mahasiswa Indonesia secara keseluruhan, tetapi dapat memberikan bagian gambaran ihwal kekerasan dalam pacaran di kalangan mahasiswa. Sebanyak 70 mahasiswa berasal dari perguruan tinggi negeri dan 71 lainnya berasal dari perguruan tinggi swasta di Indonesia.

Adapun usia pengisi survei berkisar 17-37 tahun. Mayoritas responden berusia 18-22 tahun, yaitu sebanyak 139 orang. Untuk kategori gender, responden perempuan sebanyak 108 orang, responden laki-laki (29 orang), non-biner (1 orang), dan responden memilih tidak mengungkapkan gender (5 orang).  

Suara Mahasiswa UI mendefinisikan kekerasan dalam pacaran sebagai perilaku tidak menyenangkan atau kasar dan tindakan kekerasan dalam hubungan romantis yang dilakukan secara sengaja, yang dapat terjadi dalam bentuk (a) Kekerasan fisik, seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencengkram dengan kuat; (b) Kekerasan psikis, seperti mengancam, mempermalukan, marah berlebihan, menjelek-jelekkan pasangan; (c) Kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba, hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual di bawah ancaman, tanpa persetujuan pasangan; (d) Kekerasan ekonomi seperti memeras uang pasangan, memaksa dibelikan sesuatu oleh pasangan; (e) Kekerasan pembatasan aktivitas seperti terlalu mengekang, terlalu mengatur kegiatan pasangan, mengisolasi pasangan dari pergaulannya; dan (f) Kekerasan berbasis siber seperti pelanggaran privasi, ancaman penyebaran foto dan video pribadi, pencemaran nama baik, peretasan, dan lainnya.

Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 76,9% dari seluruh responden mahasiswa mengatakan bahwa mereka pernah atau sedang berpacaran. Sebanyak 84 orang atau 58,7% dari seluruh responden pernah mengetahui/mendengar/melihat kekerasan dalam pacaran di lingkungan mahasiswa. Sementara 16,8% dari seluruh responden atau sebanyak 30 orang menyatakan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan dalam pacaran secara langsung.

Diagram jawaban Formulir. Judul pertanyaan: Apakah Anda pernah mengetahui/mendengar/melihat/mengalami Kekerasan dalam Pacaran di lingkungan mahasiswa?. Jumlah jawaban: 143 jawaban.


Dari berbagai jenis kekerasan tersebut, ternyata jenis kekerasan yang paling banyak dilihat, didengar, dan diketahui yakni kekerasan psikis sebanyak 69% atau 58 responden. Setelahnya disusul dengan kekerasan fisik  65,5% (55 responden), kekerasan dalam bentuk pembatasan aktivitas 59,5% (50 responden), dan kekerasan seksual 33,3 persen (28 responden).

Diagram jawaban Formulir. Judul pertanyaan: Apa jenis Kekerasan dalam Pacaran yang Anda pernah ketahui/lihat/dengar?. Jumlah jawaban: 84 jawaban.


Hasil survei juga ditemukan bahwa sebanyak 30 responden mengaku pernah alami kekerasan dalam pacaran. Perempuan menjadi kelompok gender paling rentan mendapat kekerasan karena sejarah panjang budaya patriarki, relasi kuasa, dan pembenaran dominasi laki-laki di masyarakat, khususnya dalam hubungan personal. Jenis kekerasan dominan yang pernah dialami korban KdP yakni kekerasan psikis/emosional 76,7% atau sebanyak 23 responden, kekerasan dalam pembatasan aktivitas 73,3% (22 responden), kekerasan fisik 53,3% (15 responden), dan kekerasan seksual 46,7% (14 responden).

Diagram jawaban Formulir. Judul pertanyaan: Apa jenis Kekerasan dalam Pacaran yang Anda pernah alami? 
. Jumlah jawaban: 30 jawaban.


Nisa (21), salah satu penyintas KdP yang saat ini kuliah di salah satu universitas negeri di Yogyakarta mengaku alami permasalahan bertubi-tubi. Ia mengaku harus menjalani beban ganda akibat kekerasan dalam pacaran. Mahasiswa perantau asal Sumatera ini mengaku kekerasan tersebut mengganggu perkuliahan.

“Apalagi lagi kuliah seperti ini. Sebenernya pacaran kan (kita harapkan-red) sebagai support system. Bukan untuk menambah tekanan batin. Apalagi buat saya yang merantau. Saya jadi takut,” tutur Nisa.

Nisa mengalami kekerasan dalam pacaran saat menjadi mahasiswa, mulai dari fisik hingga pelanggaran privasi. “Dia minta semua akun sosial media aku, menurutnya pacar harus tahu kalau mau hubungannya serius,” ujarnya.

Berlapis Trauma Akibat Kekerasan oleh Pacar

Kekerasan yang dialami oleh Lia, Nada, dan Nisa tak sebatas pada kondisi tubuh. Beban psikologis, sosial, dan ekonomi juga berdampak secara langsung. Mereka kehilangan rasa percaya diri, kecemasan, perasaan rendah diri yang berlebihan, trauma mendalam hingga takut untuk memulai hubungan baru dengan orang lain.

Nada mengatakan bahwa pelecehan seksual yang dilakukan pacarnya membuatnya merasa tidak berharga, tidak bisa diterima oleh masyarakat, sehingga ia kerap menyakiti diri sendiri dan berpikir tentang bunuh diri.

“Sepertinya tidak ada yang akan menerima aku deh. Apa bunuh diri saja, ya?” tutur Nada mengingat situasi suram kala pikirannya berkecamuk.

Dampak lain, Nada juga enggan menceritakan kondisi pahit yang dialami. Sebab, ketika berupaya untuk berbicara ke orang-orang di sekitarnya. Nada khawatir disalahkan dan dihakimi publik.

“Aku nggak pernah cerita tentang kekerasan yang aku alami kepada siapapun. Selain malu, sebelumnya aku juga pernah lihat teman yang pernah cerita tentang kekerasan dalam pacaran dan ia justru di-underestimate oleh orang-orang, itu salah satu alasan aku nggak mau cerita-cerita,” terang Nada.

Kondisi itu sejalan dengan riset SUMA UI yang menyampaikan bahwa dampak psikologis dialami oleh sebagian besar partisipan sebanyak 90%. Hal ini juga diiringi oleh dampak sosial yang dirasakan oleh sebanyak 76,7% penyintas, juga dampak fisik dan ekonomi oleh 20% penyintas. Spesifik di kalangan mahasiswa, sebanyak 70% penyintas KdP juga mengaku bahwa kekerasan yang mereka alami memengaruhi performa akademik mereka.

Diagram jawaban Formulir. Judul pertanyaan: Apakah dampak KdP memengaruhi performa akademik Anda?. Jumlah jawaban: 30 jawaban.


Menurut SUMA UI, mayoritas responden (66,7%) juga memilih menutup diri dengan beragam alasan, antara lain menjaga nama baik pacar, merasa bisa mengatasi masalah sendiri, malu, takut disalahkan hingga diancam oleh pacar. “Kalau lu kayak gini, awas nanti gua bilangin bokap nyokap lu,” ancam terduga pelaku terhadap Nada.

Diagram jawaban Formulir. Judul pertanyaan: Jika tidak, mengapa Anda memutuskan untuk tidak menceritakan kekerasan yang Anda alami?. Jumlah jawaban: 23 jawaban.


Merasakan rasa sakit psikologis akibat bertahan dalam KdP tidak lantas membuat penyintas dapat langsung putus dengan terduga pelaku. Pada dasarnya, situasi terjebak dalam lingkaran kekerasan dalam pacaran begitu kompleks. Faktor usia dan informasi yang minim juga dapat mendorong remaja mengartikan kasih sayang ke hal-hal yang salah. “Terjebak dalam kekerasan pacaran itu rumit. Mau keluar dari hubungan itu, tapi punya rasa sayang dan takut kehilangan. Sisi lain merasa tersiksa,” ungkap Nisa.

Memutus Siklus Kekerasan dalam Pacaran, Di Mana Peran Perguruan Tinggi?

Survei Suara Mahasiswa UI menunjukkan persentase mahasiswa (17-25) yang mengetahui/mendengar/melihat/mengalami kekerasan dalam pacaran menggambarkan tingkat risiko kekerasan pasangan yang tinggi.

Di Amerika, isu kekerasan dalam pacaran di kalangan mahasiswa sudah dianggap sebagai masalah serius oleh para pemangku kebijakan, karena berdampak terhadap sekitar 20-30% mahasiswa di AS.  Tahun 2013, AS mengesahkan Campus SaVE Act yang mewajibkan perguruan tinggi AS untuk memberikan pelatihan dan pendidikan tentang kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, penguntitan, dan pelecehan seksual kepada siswa. Sementara di Indonesia, masih sedikit perguruan tinggi yang mengamanatkan dan membentuk upaya-upaya prevensi dan intervensi terhadap kekerasan dalam pacaran.

Sejauh ini di Indonesia, implementasi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud-TPKS) masih mengedepankan upaya penanganan kasus kekerasan daripada upaya pencegahan. Padahal, mencegah lebih baik daripada mengobati, kampus perlu bertindak satu langkah lebih dulu sebelum korban berjatuhan. Hasil survei Suma UI menunjukkan edukasi secara rutin dapat efektif mencegah atau mengintervensi terjadinya kekerasan dalam pacaran.  

Meskipun mayoritas responden mengalami atau mengetahui bahwa di sekitarnya ada kekerasan dalam pacaran di kalangan mahasiswa, himpunan data Suma UI menunjukkan hanya 2,8% dari responden yang mengaku mendapat pengetahuan tentang hubungan yang sehat (healthy relationship) dari perguruan tinggi atau institusi pendidikan. Mayoritas responden (46,2%) yang mengetahui informasi-informasi tentang hubungan yang sehat (healthy relationship) mengaku mendapatkan informasi tersebut dari media sosial.

Pengetahuan tentang healthy relationship tidak hanya penting untuk mencegah korban baru, tetapi juga membantu saksi untuk lebih cepat mendefinisikan tindakan abusive dalam hubungan sebagai kekerasan.

Ketiga penyintas, Nada, Lia, dan Nisa mengungkap bahwa saat kekerasan terjadi mereka tidak mengetahui situasi yang mereka alami. Lia mengungkapkan dengan terang bahwa saat itu ia belum mengetahui apa yang dilakukan pacarnya adalah pelecehan dan kekerasan. Ketidaktahuan ini juga dapat menyebabkan terlambatnya akses bantuan bagi korban.

“Saat itu gua belum tau istilah pelecehan, istilah itu kan baru ramai akhir-akhir ini, dulu gua hanya tahu perasaan tidak nyaman karena dilecehkan, tapi enggak tahu cara ngungkapinnya,” tutur Lia.

Pendiri Yayasan Pulih dan Pembina Kode Aman Kampus UI, Kristi Poerwandari, mengatakan penanganan non-hukum seperti konseling dapat lebih efektif dalam mencegah atau mengintervensi terjadinya kekerasan. KdP terjadi dalam lingkup personal yang penuh muatan relasi emosional, sehingga menurut Kristi penyelesaiannya tidak akan semudah kasus-kasus kriminal dalam konteks publik.

Selain itu, Kristi juga mengungkapkan bahwa kasus kekerasan dalam pacaran cenderung akan diremehkan oleh aparat penegak hukum, sehingga proses hukumnya kerap kali berakhir buntu. Padahal pengabaian terhadap kasus KdP secara serius dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan fisik, mental, hingga berujung kematian seperti yang dialami NWR.

“Penanganan non-hukum sebenarnya bisa sangat efektif agar korban tidak berlanjut ke dalam situasi yang lebih parah. Kalau sudah parah, sulit untuk hanya mendapatkan penanganan non-hukum. Sementara polisi mungkin menganggap KdP sebagai persoalan sepele yang bisa dibereskan sendiri,” terang Kristi saat diwawancarai melalui luring pada hari Senin (21/11).

Meskipun penanganan non-hukum dapat lebih efektif, permasalahan lain yang dihadapi yakni layanan konseling baik di tingkat kampus maupun di luar kampus yang terbatas. Antrian konseling seringkali membludak sehingga korban baru bisa mendapatkan jadwal konselingnya kurang lebih satu bulan setelah pengajuan konselingnya. Sementara untuk mempercepat jadwal konseling, tidak semua orang memiliki akses terhadap layanan konseling berbayar.

Kristi beranggapan pihak perguruan tinggi terkhusus Satuan Tugas Kekerasan Seksual mau tidak mau perlu menyediakan alternatif upaya prevensi, misalnya dengan membentuk sejumlah peer-counselor yang dapat memberikan psiko-edukasi secara berkala.

Peer-counselor bisa jadi pertolongan pertama psikologisnya (psychological first aid), jadi sudah tersaring gitu, lho. Sehingga hanya orang-orang yang perlu banget nanti yang mungkin harus harus bertemu psikolog, tapi ya, memang mekanismenya masih perlu dipikirkan,” tutur Kristi.

“Jadi mata kuliah juga efektif, tapi yang lebih gampang mungkin dari peran Satgas dulu,” tambah Kristi.

Argumen Kristi ini didukung oleh hasil survei Suara Mahasiswa UI yang menunjukkan secara spesifik hampir seluruh responden (90,2%) percaya bahwa penyediaan lembaga preventif penting untuk mengedukasi mahasiswa terkait hubungan yang sehat dan kekerasan berbasis gender. Sementara itu, responden (78,4%) sepakat adopsi mata kuliah wajib untuk mempelajari materi hubungan yang sehat (healthy relationship) dan kekerasan berbasis gender untuk mencegah terjadinya kekerasan di ranah personal.

Kristi menuturkan, institusi pendidikan mempunyai peran dan tanggung jawab besar untuk menyingkirkan pola-pola tindakan agresif dari remaja dan anak muda. Masalah KdP, meski terjadi dalam ranah personal dan dikategorikan sebagai kekerasan domestik (domestic violence) perlu mendapat intervensi signifikan dari lembaga pendidikan. Itu sebabnya, kampus sudah seharusnya menyediakan lembaga edukasi untuk mengintervensi potensi-potensi kekerasan sehingga bisa menghadirkan ruang aman dan memutus siklus kekerasan di kalangan mahasiswa.

“Memastikan ruang aman bagi sivitas akademika memerlukan komitmen dari pengambil dan pelaksana kebijakan, dan warga kampus perlu ruang aman dan nyaman yang bebas dari kekerasan, siapapun pelaku, korban, dan bagaimanapun relasinya,” tutup Kristi.

Hal itu juga diharapkan oleh Nada, Lia, dan Nisa. Menurut mereka edukasi kekerasan berbasis gender tidak hanya penting untuk mahasiswa, tetapi juga penting diimplementasikan untuk para tenaga pengajar sehingga para peserta didik tidak takut dan malu untuk bertanya tentang seperti apa hubungan yang sehat itu. Ketika itu berjalan, mereka yakin kekerasan dalam pacaran dapat dicegah.

“Terkadang, ketidaktahuan itu yang membuat kita mau aja dibego-begoin dalam suatu hubungan. Kalau sudah diedukasi sejak SMP-SMA, perempuan bisa lebih aware. Sementara laki-laki juga bisa mengerti mengapa mereka harus menghargai perempuan,” pungkas Nada.

Liputan ini merupakan kontribusi dari fellowship #MudaMewarta "Meliput Isu Kekerasan Seksual" yang diselenggarakan oleh Project Multatuli dan Rutgers.

Teks: Dian Amalia Ariani
Editor: Syifa Nadia
Ilustrator: Lazzuarda Pramudita

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!