Logo Suma

Black Panther: Tradisi atau Inovasi?

Redaksi Suara Mahasiswa · 30 Januari 2021
3 menit

Judul: Black Panther
Sutradara: Ryan Coogler
Produser: Kevin Feige
Genre: Aksi
Tanggal Rilis: 14 Februari 2018
Durasi: 134 menit
Pemain: Chadwick Boseman, Michael B. Jordan, Lupita Nyong’o, Danai Gurira, Letitia Wright, dll.


Black Panther adalah film superhero dan menjadi salah satu bagian dari Marvel Universe. Disutradarai oleh Ryan Coogler yang sekaligus menjadi penulis skenario bersama Joe Robert Cole, film ini merupakan adaptasi dari Marvel Comics dengan judul yang sama karya Stan Lee dan Jack Kirby pada 1966. Film ini mempersembahkan perjalanan T’Challa atau Black Panther (Chadwick Boseman) yang harus mengisi jabatan Raja Wakanda menggantikan Ayahnya yang telah meninggal. Dalam penjabatan tersebut, ia ditentang oleh Killmonger (Michael B. Jordan)–musuh baru yang ingin mengambil posisi raja atas dendam yang dilakukan oleh ayah T’Challa.

Black Panther berasal dari bangsa Wakanda. Bangsa ini diberdayakan oleh vibranium, yaitu logam super yang dapat membuat berbagai macam teknologi terdepan. Dalam memimpin bangsa ini, T’Challa meneguhkan nasihat Ayahnya dalam dunia roh, yaitu, “Kelilingi diri Anda dengan orang-orang yang Anda percayai.” Sebagai hasilnya, ia dikelilingi oleh banyak perempuan. Mulai dari ibu, saudara, sampai mantan kekasih turut andil membantunya menjadi raja. Oleh karena itu, meski masih mengadopsi budaya Afrika, terjadi gebrakan oleh kekayaan yang tidak biasa pada karakter perempuan dalam Black Panther. Ini merupakan pemberdayaan di semua tingkatan, yaitu secara budaya, spiritual, mental, dan sejarah. Selanjutnya, bagaimana mereka mengembangkan ide tradisi versus inovasi dalam film ini?

Wakanda dikenal sebagai bangsa yang progresif dalam hal sumber daya alam sekaligus mengandalkan dirinya dengan titel “Bangsa Individualis”. Karakter seperti Okoye (Danai Gurira) setia pada nilai-nilai dan tradisi negaranya yang tidak terjajah. Namun, kekayaan Wakanda akan vibranium tidak menutup kemungkinan terjadinya penjajahan. Jika hal itu terjadi, maka akan muncul destabilisasi politik, bahkan perbudakan oleh bangsa lain untuk memanfaatkan sumber daya yang ada pada bangsa ini. Oleh karena itu, penolakan untuk ikut campur politik luar dilakukan untuk memastikan perlindungan mereka.

Akan tetapi, apabila sebuah masalah terjadi dan rasa sepenanggungan muncul, bagaimana suatu bangsa tetap diam dan tidak melakukan apa-apa? Nakia (Lupita Nyong’o) adalah wujud dari inovasi tersebut. Mungkin dunia telah melupakan peristiwa penculikan para perempuan yang masih bersekolah, terkecuali Nakia. Ia menjadi seorang mata-mata, bekerja dengan menyamar untuk membebaskan mereka sampai T’Challa harus turun tangan untuk menyelesaikan pekerjaan dan membawanya pulang. Perspektif luarnya lah yang memberikan pandangan berbeda tentang bagaimana Wakanda dapat membantu melayani masyarakat.

Black Panther mengisahkan seorang pemimpin yang terjebak di antara dua cita-cita, apakah harus memahami sudut pandang baru atau memajukan negaranya dengan tradisi yang sudah tertanam kuat. Di sisi lain, kemunculan Killmonger mengungkapkan kebenaran sejarah, sosial, dan politik yang cukup mengejutkan, di mana ia menangani jurang pemisah antara yang kaya dan miskin. Hal itu menjadi representasi atas kejadian di Los Angeles pada 1992, di mana banyak orang terlantar secara budaya dan terampas akan warisan dan martabat mereka. Walaupun Killmonger memiliki darah Wakanda, tidak ada bantuan yang didapatkannya atas depresiasi waktu itu.

Hal yang unggul dari Black Panther ialah terdapat berbagai perbedaan sudut pandang sehingga tidak ada jawaban benar atau salah yang sederhana. Film ini tidak begitu saja menceritakan kisah klise mengenai mana yang baik dan mana yang buruk. Tentu saja ini akan membuka pandangan penonton terhadap dunia luar yang belum terjangkau serta identitas budaya yang belum diketahui masyarakat. Eksplorasi ini yang sebetulnya menjadi daya tarik utama dalam film Black Panther.

Dari semua itu, visual tetap menjadi bagian terbaik dari seluruh komponen. Meski melulu tentang sarat Computer-generated imagery (CGI), keharmonisan pengambilan gambar terasa realistis, terlepas dari adanya unsur idealistis di sana. Dapat dilihat pada macan kumbang yang ditemukan T’Challa dalam mimpi jiwanya, tangga spiral bercahaya yang menuju ke lab Shuri, dan istana bertengkorak Kong dari suku yang memberontak.

Terlepas dari kelebihannya, Black Panther masih kurang memiliki sisi yang umumnya menjadi wajah dari film Marvel, yaitu adegan bertarung. Adegan ini tidak terlalu banyak disajikan, bahkan T’Challa tidak terlalu memamerkan kekuatan dari kostum spesialnya. Meskipun begitu, hal ini tentu dapat dimaklumi mengingat film ini masih menonjolkan adat istiadat yang berlaku. Oleh karena itu, kekhasan adat dan paduannya dengan inovasi dalam film Black Panther patut menjadi keunikan bagi dunia pertarungan Marvel. Hal tersebut menjadikan film ini layak untuk dinikmati sekaligus sebagai pengenalan baru terhadap suatu unsur kebudayaan.

Teks: Karina Putri P.
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!