Blunder Marketing Berbalut Go International

Redaksi Suara Mahasiswa · 5 April 2022
6 menit

Pertengahan Februari lalu, Indonesia digemparkan dengan pesan dari beberapa brand yang mengeklaim turut meramaikan Paris Fashion Week (PFW) 2022. Contohnya seperti Geprek Bensu yang mengangkat tagar #BensuPedaskanParis. Brand lain seperti Scarlett Whitening, Greenlight, 3Second, LaSabelle juga menyorot kata “Paris Fashion Week” sebagai pesan paling dominan di media sosialnya, seakan-akan brand tersebut memang “diboyong” ke ajang PFW. Banyak khalayak umum mulai meyakini bahwa berbagai brand tersebut telah berhasil go international. Namun, euforia itu tidak berangsur lama.

Pada 6 Maret 2022, Lucky Heng, pengusaha sekaligus pecinta fashion mengangkat suara via Instagram Story bahwa klaim acara PFW tersebut justru keliru alias misleading. Paris Fashion Week sejatinya merupakan rangkaian acara di mana hanya desainer yang mendapat undangan dari Fédération de la Haute Couture et de la Mode (FCHM) berhak menampilkan karyanya di panggung PFW. Sementara itu, nama pagelaran yang sebenarnya diikuti oleh beberapa brand tersebut adalah Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (Gekrafs) Paris Fashion Show. Kenyataan tersebut menuai murka para netizen karena merasa dibohongi oleh brand-brand yang mengeklaim turut serta dalam acara Paris Fashion Week.

Dari rangkaian kejadian di atas, menjadi patut dipertanyakan, apakah langkah yang ditempuh oleh berbagai brand tersebut memang blunder semata atau merupakan strategi marketing? Untuk menjawab hal ini, Suara Mahasiswa UI mewawancarai salah satu Dosen Komunikasi dari Universitas Indonesia sekaligus ahli di bidang komunikasi pemasaran dan digital, Dr. Ir. Firman Kurniawan Sujono, M.Si atau yang akrab dipanggil Mas Firman.

Dok. Pribadi

“Membonceng” Ajang Bergengsi
Berdasarkan penuturan Mas Firman, upaya beberapa brand yang mengaku hadir di PFW 2022 ini merupakan tindakan Ambush Marketing. Ia mendefinisikan Ambush Marketing sebagai strategi pemasaran dengan cara mendompleng, menyergap, dan membonceng suatu kegiatan yang besar namanya. Lebih jelasnya, Ambush Marketing adalah strategi yang menyelipkan pesan komunikasi pemasaran pada acara-acara besar dan bergengsi tanpa seizin penyelenggara resmi dari acara besar tersebut.

Mas Firman memberikan satu contoh terkenal dari Ambush Marketing, yakni produk sepatu Nike dalam ajang Olimpiade 2012. Pada saat itu, Adidas merupakan sponsor utama dari Olimpiade 2012 yang telah mendapatkan izin dari penyelenggara. Namun, Nike dengan cerdik menyebarkan pesan bertajuk “Find Your Greatness” yang disiarkan dalam 25 negara. Nike memberikan pesan bahwa kehebatan tidak diukur dari tempat mereka bersaing maupun dari penghargaan berupa medali. Pesan yang bersifat down to earth ini berhasil menyaingi strategi marketing Adidas tanpa perlu menghabiskan banyak sekali dana untuk membayar royalti.

Jika kembali pada kasus sebelumnya, PFW sebenarnya merupakan pagelaran fashion show yang bersifat eksklusif. Proses pemilihan desainer dilakukan dengan sangat ketat oleh penyelenggara acara, FCHM. Gengsi besar inilah yang seringkali dimanfaatkan brand lain untuk “membonceng” acara tersebut agar bisa mendapat imbas prestisiusnya dari PFW. Tanggal pagelaran fashion show dalam ajang Paris Fashion Week 2022 sendiri berlangsung pada 28 Februari hingga 8 Maret 2022, sedangkan Gekrafs Paris Fashion Show berlangsung pada 5 Maret 2022. Waktu pagelaran yang tumpang tindih ini berpotensi menyebabkan kebingungan dari para netizen, terutama mereka yang tidak tahu menahu soal industri busana.

Ambush Marketing Belum Tentu Tidak Etis
Etis atau tidak etisnya kegiatan ambush marketing harus dilihat kasus per kasus. Menurut Mas Firman, secara hukum, tim marketing memang mencari celah hukum agar bisa melakukan promosi tanpa harus membayar royalti. Masalah etis hanya terungkit apabila khalayak menyadari bahwa brand tersebut telah melakukan ambush marketing.

“Tapi ada problem misalnya terjadi misperception dari audience seolah-olah kita adalah bagian dari event yang bergengsi tadi. Seolah-olah kita juga sudah melewati mekanisme kurasi yang sangat ketat karena brand kita telah di ikut sertakan,” jelasnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa ambush marketing adalah strategi yang cerdas, tetapi memiliki risiko yang tinggi. Brand bisa saja mencari celah hukum agar bisa membonceng ajang bergengsi dan menarik perhatian publik. Namun, strategi ini memiliki risiko secara legal, etika, dan mengancam citra brand apabila tidak melalui perencanaan yang matang. Perlu diingat bahwa ada banyak jalan untuk bisa mencapai suatu tujuan. Namun, memperhitungkan setiap risikonya dengan baik di setiap jalan juga sama pentingnya untuk mencapai suatu tujuan.

Potensi Miskomunikasi Antara Gekrafs dan Brand yang Terlibat
Meskipun memang terlihat sebagai ambush marketing, Mas Firman tidak menutup kemungkinan adanya miskomunikasi antara pihak Gekrafs dan brand-brand Indonesia yang terlibat dalam pagelaran tersebut sehingga membuat berbagai brand tersebut seolah-olah telah melakukan ambush marketing.

“Justru jadinya ambush yang salah karena tidak ada kejelasan informasi atau mekanisme sebetulnya. Bisa jadi brand ini adalah korban atau korbannya adalah masyarakat Indonesia. Nah ini sampai hari ini posisinya tidak jelas siapakah yang menjadi korban dalam peristiwa ini apakah brand ataukah masyarakat Indonesia yang menjadi sasaran publikasi tersebut,” jelasnya.

Hingga saat ini, belum ada dialog yang memberikan kejelasan sebetulnya apa yang terjadi di ajang Gekrafs Paris Fashion Show. Ia menyayangkan kurangnya pemberitaan media yang mengulik latar belakang yang tepat pada kasus ini. Posisi Gekrafs, brand-brand yang terlibat, serta masyarakat Indonesia masih kurang jelas.

Bad Publicity Is Good Publicity, Tapi Ada Syaratnya
Citra suatu brand adalah suatu hal yang sangat dipertahankan dan akan dibutuhkan biaya yang besar untuk mempertahankannya. Pasalnya, citra brand merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi loyalitas pelanggan terhadap brand tersebut. Oleh karena itu, perusahaan pemilik brand perlu melakukan perhitungan yang sangat hati-hati sebelum mengambil strategi pemasaran dengan risiko tinggi.

Pada kasus PFW 2022, strategi yang digunakan adalah strategi ambush marketing dengan risiko mencoreng citra brand. Perusahaan tersebut harus mencari tahu dan memperhitungkan aspek legal, aspek etis, aspek lainnya yang terancam, hingga mencari cara untuk mengatasinya.

Selain loyalitas pelanggan, citra suatu brand juga memiliki korelasi positif dengan tingkat penjualan. Mas Firman memberikan contoh kasus mie instan asal Korea yang diperjualbelikan di Indonesia tanpa sertifikasi halal. Pada saat itu mie tersebut menampilkan diri seakan-akan produknya halal sampai akhirnya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan klarifikasi bahwa produk tersebut sebenarnya tidak halal. Publik merasa dibohongi, dan angka penjualan menurun.

“Jika seandainya clear yang menjadi korban adalah masyarakat Indonesia, artinya brand dan Gekrafs ini adalah pelaku disinformasi. Maka saya yakin produknya akan terpukul telak. Paling tidak emosi dari konsumen itu untuk beberapa waktu itu akan terpengaruh. Nah, itu jangan bermain-main dengan pasar. Itu efeknya telak dan apalagi di era digital ini real time,” katanya.

Go Internasional, Milestone Idaman Produk Nusantara
Selain ambush marketing, hal yang patut disoroti dari isu PFW 2022 tersebut adalah bagaimana berbagai brand Indonesia berlomba-lomba untuk bisa go international. Mendapat pengakuan pasar pada skala global dinilai memberikan nilai gengsi yang lebih bagi suatu brand. Tidak hanya brand Indonesia yang berpartisipasi dalam Gekrafs Paris Fashion Show, tahun lalu, brand busana lokal Erigo mengejar label go international dengan cara membuka iklan di Times Square dan membuka pop up store di kawasan strategis SoHo, New York.

Mas Firman berkata bahwa untuk bisa mendapat image sebagai brand yang berhasil go internasional sesungguhnya dibutuhkan biaya yang besar. Namun, dengan mengambil langkah awal tersebut, setidaknya citra brand sudah terbangun dan terbentuk. “Seperti Indomie yang sampai ke Hongkong, Brazil, tapi siapa yang makan? Ternyata yang makan orang sana (warga lokal -red). Nah, tapi Tolak Angin yang makan juga orang Indonesia. Okelah dipasarkan sampai keluar tapi sebetulnya juga pasar Indonesia. Nah itu perlu diperiksa,” jelas Mas Firman.

Jika suatu brand bisa laku terjual baik lokal maupun internasional, pada saat itulah brand secara secara aktual telah ‘Go Internasional’. Sehingga syarat utama untuk diakui go internasional adalah dengan kemampuan mengejar pelanggan mancanegara. Tidak selalu yang berhasil menembus pasar luar itu lebih hebat dari pasar lokal. Setidaknya warga Indonesia bisa menghargai upaya mencapai gengsi ini.

Langkah Marketing yang Efektif Menurut Mas Firman
Banyak cara bisa ditempuh untuk melakukan strategi marketing yang efektif. Mas Firman menuturkan bahwa harus ada ketersediaan informasi yang memadai bagi konsumen. Caranya adalah dengan menyediakan informasi di setiap titik kritis dari konsumen atau pemahaman dari konsumen akan menentukan kebutuhannya, mempertimbangkan pembeliannya, memutuskan pembelian, hingga pada akhirnya mencapai loyalitas terhadap suatu brand, bahkan memberikan rekomendasi pada pihak lain.

Mencari titik-titik kritis konsumen untuk menentukan strategi pemasaran kini tidaklah sulit. Sebab, kita telah hidup di era digital, di mana data-data pribadi pelanggan bisa dicari dengan berbagai cara. Media sosial, bahkan perusahaan e-commerce sudah mulai mengumpulkan big data pribadi konsumen. Tugas ini dijalankan oleh seorang big data analyst yang bertugas menganalisis data pribadi konsumen, termasuk titik kritis mereka.

“… (strategi -red) dua arah dan tidak hanya sekedar ‘pilihlah karena produk kami adalah yang terbaik’ tapi selamilah konsumen itu. Sebagai personal, mereka mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang unik, harapan yang spesifik, Nah itu produk harus paham,” terang Mas Firman.

Dari kasus beberapa brand Indonesia dan Paris Fashion Week 2022, kita dapat memahami bahwa untuk mencapai status go internasional sudah jelas membutuhkan dana yang besar. Ada banyak strategi pemasaran yang tersedia untuk mencapai suatu tujuan, termasuk meningkatkan citra suatu brand. Ambush Marketing adalah salah satu strategi. Namun, perlu diingat bahwa strategi ambush marketing memiliki risiko yang besar. Butuh perhitungan matang dalam memitigasi risiko strategi ini. Pihak Gekrafs dan para brand yang terlibat dalam kasus misinformasi PFW ini seharusnya bisa menjalin komunikasi satu sama lain agar tidak terjadi perbedaan pesan. Jika seandainya brand-brand tersebut menyebut pagelaran fashion show sebagai “Gekrafs Paris Fashion Show”, mungkin blunder ini tidak akan terjadi.

Teks: Ferdinand Andre
Kontributor: Loga Prity Dewi
Editor: Ninda Maghfira
Ilustrasi: Brilian Kesumanegara

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!