BOP Tinggi hingga Komersialisasi Pendidikan: Masih Pantaskah UI Menyandang “World Class University”?

Redaksi Suara Mahasiswa · 27 Agustus 2023
6 menit

Jumat sore (25/08), aliansi BEM se-UI menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk “73 Tahun Berdiri, Masih Layakkah UI disebut World Class University?” di Taman Lingkar Perpustakaan Pusat (Perpusat), Universitas Indonesia (UI). Ramai mahasiswa dari berbagai fakultas duduk bersama untuk ikut mendengarkan diskusi hingga menyuarakan keluh kesahnya terhadap UI yang dianggap tidak bisa memenuhi gelarnya sebagai World Class University.

Diskusi tersebut menghadirkan tiga pembicara yakni Asfinawati (Aktivis dan Advokat Hak Asasi Manusia), Taufik Riyadi (Alumni Universitas Indonesia), dan Fauzan Al-Rasyid (Pegiat Pendidikan).

Diskusi publik dibuka dengan sambutan dari Melki Sedek Huang selaku ketua BEM UI dan Wien Fathiaturrizqi selaku ketua BEM Vokasi UI yang juga berperan sebagai moderator dalam kegiatan diskusi publik pada Jumat lalu. Pada sambutannya Melki mengajak para mahasiswa untuk memanfaatkan diskusi publik dengan baik dan jangan takut menyuarakan keresahannya terhadap UI.

“Silahkan jadikan ini forum bebas, kalau teman-teman takut diskusiin UI karena takut di drop-out, kalau teman-teman takut diskusiin UI karena takut diusir PLK, kalau teman-teman takut dihitamkan akademiknya karena ngomongin UI, silahkan dapetin kebebasan itu dengan beraspirasi bersama hari ini." Ujar Melki.

Selanjutnya, diskusi dipantik dengan pertanyaan terkait sudut pandang para pembicara mengenai motto UI sebagai World Class University.

Biaya Pendidikan yang Tidak Masuk Akal

Asfinawati menanggapi dengan menyinggung permasalahan biaya operasional pendidikan (BOP) di UI yang tiap tahun makin tinggi dan makin tidak masuk akal. Permasalahan tersebut bahkan telah terjadi semenjak dirinya berkuliah di UI dulu.

“Pada zaman saya uang kuliah itu 495 ribu ada uang muka, jadi pada tahun itu sudah mahal 495 ribu karena kakak saya beda dua tahun itu 200-an. Saya bingung kok dalam waktu dua tahun melonjak 200 persen.”

Asfinawati melayangkan sudut pandangnya bahwa pemikiran untuk mendapat kualitas pendidikan yang baik itu harus mahal adalah salah. “Karena pendidikan itu sebetulnya adalah kewajiban dari pemerintah,” tutur Asfinawati.

Menurutnya biaya pendidikan yang tinggi justru memperjelas komersialisasi pendidikan dan merampas kebebasan akademik mahasiswa serta melenceng dari tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu untuk mencerdaskan tanpa pandang bulu. “Seharusnya semakin lama, pendidikan itu semakin murah, bukan semakin mahal karena ada perkembangan progresif yang harus dilakukan oleh pemerintah,” kata Asfinawati.

“Kecuali UI mau melepaskan statusnya sebagai kampus negeri jadi kampus swasta, setiap anak yang masuk suruh bayar sendiri,” tegasnya.

Ia turut mengomentari pihak kampus yang ketika diprotes alih-alih memberikan ruang diskusi namun malah menekan mahasiswa dengan memberikan sanksi. Menurutnya mahasiswa memiliki kebebasan akademik sehingga mahasiswa dapat bernalar, menilai mana yang masuk akal.

Taufik juga melayangkan sudut pandangnya terkait permasalahan BOP yang tengah dialami mahasiswa baru 2023. Ia mulai dengan mengulas kembali kondisi UI pada masa ia masih menjadi seorang mahasiswa. “Waktu itu di UI tahun 99 kemudian ada Pilot Project kepada empat kampus, UI, UGM, ITB, dan IPB untuk otonomi kampus. Berarti kampus diberikan otonomi untuk mengurus dirinya sendiri, mengurus kurikulumnya, mungkin yang sesuai dengan apa yang ada,” ujar Taufik.

Namun, yang membuat Taufik merasa resah dan khawatir selain otonomi akademis juga terdapat otonomi non-akademis yaitu masalah pembiayaan. Keresahan Taufik pada masa itu menjadi kenyataan pada era sekarang yang mana tujuan dari UUD sendiri, yaitu ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ telah tergerus oleh berbagai kebijakan kampus yang menyulitkan mahasiswa dari segi biaya pendidikan yang mengarah kepada komersialisasi pendidikan.

Menurutnya, universitas pada era sekarang didesain untuk memenuhi komoditas pasar dan untuk diperjualbelikan. “Jadi kampus diproyeksikan mencetak pribadi-pribadi yang kemudian siap bekerja memenuhi kebutuhan pasar," ucap Taufik.

Taufik menganggap pemberian otonomi kampus ini merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab oleh pemerintah, bahwa otonomi yang diberikan kepada kampus adalah otonomi yang semu. Menurutnya yang terjadi adalah liberalisasi pendidikan atau komersialisasi pendidikan. Ia juga menyinggung kampus seharusnya menjadi garda terdepan bukan ‘musuh’ atau ‘lawan’ mahasiswa.

Selanjutnya, pembicara ketiga yaitu Fauzan Al-Rasyid menuturkan gelar World Class University seharusnya menjadikan kampus dapat diakses oleh seluruh kalangan masyarakat. Ia kembali menegaskan bahwa aksesibilitas institusi pendidikan sangat penting dan tidak selalu melulu berhubungan dengan uang.

Sama halnya dengan kedua narasumber tadi, Fauzan juga menceritakan dirinya ketika menjadi seorang mahasiswa dan merasakan menjadi angkatan pertama ketika diterapkannya BOP-B di UI.

“Pas zaman saya masuk, jebret, ada BOP-B. Jadinya antara 0–Rp5.000.000,- untuk rumpun SOSHUM dan untuk SAINTEK jadinya 0–Rp7.500.000,-," ungkap Fauzan.

Namun, pada saat itu ketika mahasiswa keberatan mendapatkan UKT yang terlalu tinggi, terdapat mekanisme yang melibatkan mahasiswa dalam penentuan BOP-B, seperti dalam proses wawancara melibatkan anggota Adkesma dari masing-masing BEM Fakultas dan setelah wawancara akan ada survei lokasi yang mana tim surveinya pun melibatkan mahasiswa di dalamnya.

Fauzan menganggap jika tidak terdapat survei secara langsung untuk melihat kondisi sebenarnya yang tengah dihadapi oleh mahasiswa, maka hal tersebut beresiko menimbulkan kesubjektivitasan dalam penetapan BOP. “Kadang kalau kita lihat dari berkas gitu ya, oh ini rekening listrik sekian, oh punya mobil. Cuma kalau tidak bertemu langsung, gak survei langsung, ya kadang hasilnya subjektif," jelas Fauzan.

Ia berpendapat biaya pendidikan yang selangit menyebabkan orang-orang akan melabel setiap orang yang masuk UI hanya merupakan orang-orang dari golongan yang mampu secara finansial. Dampaknya, orang-orang yang tidak memiliki kesanggupan secara ekonomi namun mampu secara akademis enggan untuk masuk dan menjadi mahasiswa UI.

“Akhirnya kampus ini sudah jadi kampus sosialita, kampus orang-orang yang wow gitu," tambah Fauzan.

Kemudian, Ia menyampaikan kepada mahasiswa harus lebih peduli lagi terhadap kondisi yang dialami oleh orang lain dan tidak apatis terhadap permasalahan yang tengah terjadi.

“Ketika kita menjadi mahasiswa, khususnya mahasiswa UI, harus punya kepedulian lebih minimal dengan teman-teman kita sendiri. Ini ada yang gak beres, kenapa kok kuliah jadi mahal banget, emang kampus se-nggak punya duit itu, ya?” timpal Fauzan. Ia juga mengajak mahasiswa yang hadir di diskusi publik Jumat lalu untuk memanfaatkan media sosial dan privilese yang dimilikinya sebagai sarana untuk bersuara.

UI Bukan Lagi Universitas

Sesi tanya jawab dimulai dengan pertanyaan dari Acum, mahasiswa Ilmu Filsafat UI. Acum menanyakan posisi dan kehadiran kampus yang kian hari kian menjadi ‘pabrik tenaga kerja’ dengan mahasiswanya yang selalu disibukkan dengan dunia pasca kerja alih-alih melihat permasalahan yang ada di sekitarnya.

Fauzan menjawab pertanyaan Acum bahwa memang tidak salah untuk memikirkan posisi mahasiswa nanti ketika ingin masuk dunia kerja. Namun, ia membandingkan dengan posisinya ketika masih menjadi mahasiswa dan posisi mahasiswa sekarang yang memiliki lebih banyak opsi untuk mencoba merasakan dunia pekerjaan melalui program magang.

“Kalau jaman saya kayaknya mikirnya, ‘udahlah kalau magang nanti lah semester 5, semester 6’ masih banyak anak-anak yang pengennya organisasi dulu, ikut organisasi tuh sangat bergengsi.” Ujar Fauzan.

“Kalau kita ingin berpikir konspirasinya dikasih nih ada IISMA, bisa ke luar negeri, terus ada  magang merdeka. Yang bahkan bisa dikonversikan ke SKS.” Tambah Fauzan.

Menurutnya di satu sisi program yang ada sangat bermanfaat dan berguna bagi mahasiswa, tetapi ia menekankan terdapat pergeseran paradigma bahwa mahasiswa menjadi tidak peka terhadap lingkungannya alih-alih lebih sibuk dengan dirinya sendiri. “Jadi yang harus dilakukan saya pikir adalah, bagaimana caranya temen-temen dari BEM atau himpunan-himpunan itu tetap berusaha mengajak (mahasiswa), kita hanya bisa terus meningkatkan awareness mudah-mudahan temen-temen mulai terbuka pikirannya.” Pungkas Fauzan.

Taufik ikut mengamini apa yang Fauzan sampaikan mengenai pergeseran paradigma mahasiswa saat ini. “Padahal konstitusi kita, sudah menegaskan pendidikan itu adalah memanusiakan manusia, jadi manusia yang merdeka, jadi manusia yang sosial, manusia yang berguna.” Jelas Taufik.

Ia menambahkan bahwa seharusnya lulusan yang dicetak kampus-kampus seperti UI harus bisa memberikan dampak baik bagi masyarakat. Ia menggarisbawahi masih banyak masyarakat kita yang berada dalam kondisi kemiskinan sementara kampus disibukkan dengan mengejar gelar World Class University alih-alih memberikan inovasi untuk masyarakat.

“Misalnya apa? kesehatan, seharusnya Rumah Sakit UI gak bayar tuh buat warga depok sekitarnya. Jadi ketika dateng gak dibilang ‘bapak bayar dulu DP (down payment) gak! Karena di situlah mahasiswa-mahasiswa UI kedokteran kemudian memberikan pelayanannya. Itulah yang disebut dengan tri dharma Perguruan tinggi, pengabdian masyarakat.” Tegas Taufik.

Menurutnya otonomi yang telah diberikan kepada kampus seharusnya dapat menghasilkan inovasi dan kreativitas. “Kita ingin tuh Fakultas Hukum UI misalnya ia menjadi advokat-advokat terbaik untuk membela masyarakatnya. Dapet tuh nilai SKS nya di situ.” Tukas Taufik.

“Pabrik itukan tempat orang, orang-orang didorong ke suatu tempat, tidak boleh punya pikiran sendiri bekerja di dalam line kalau ada salah sedikit dipecat, gak punya haknya, dan lain-lain.” Ujar Asfinawati.

Menurutnya, mengutip dari pemikiran seorang penulis pendidikan Ivan Illich, dalam dunia pendidikan kita saat ini terdapat kurikulum tersembunyi. Ia menjelaskan kurikulum tersembunyi itu adalah adanya nilai ekonomis dalam pendidikan, bukan mencari pengetahuan.

“Pendidikan dilihat sebagai investasi, gak kurang gak lebih dan pendidikan menjadi investasi yang paling baik karena kalau rumah bisa kebakar, uang bisa terdevaluasi, tapi pendidikan gak.” Ujar Asfinawati.

Ia beranggapan UI menjadi kampus yang paling mendorong nilai kurikulum tersembunyi ini. Menurutnya, ketika mendapatkan pendidikan seharusnya seseorang menjadi paham tentang kebebasan, bukan malah berakhir terikat pada belenggu peraturan dan pemikiran yang terbatas.

“Kalau UI menjadi pabrik maka pendidikan sudah gagal, dan Indonesia secara hukum sudah tidak memenuhi kewajibannya sendiri. Mungkin kita bukan World Class University, jangan-jangan ini adalah TK (Taman Kanak-kanak) Indonesia.” Pungkas Asfinawati.

Asfinawati memberikan saran kepada mahasiswa untuk melakukan audit investigatif, yaitu dengan cara menelusuri berapa banyak pejabat negara yang merangkap menjadi pejabat di universitas, berapa biaya pengelolaan setiap tahun serta untuk apa, dan lain sebagainya.

Menurutnya, audit investigatif dapat melibatkan alumni di dalamnya yang kemudian akan menjadi sebuah gerakan. Kemudian, melakukan analisis sosial dengan cara membandingkan siapa saja yang pernah mengenyam pendidikan di UI 10 sampai 20 tahun lalu dengan siapa saja yang mengenyam pendidikan di UI pada hari ini.

Selanjutnya, dapat melakukan advokasi dengan kampus lain, ia menuturkan pentingnya advokasi lintas kampus karena mahasiswa diberikan ruang untuk dapat bersuara secara langsung kepada negara agar negara dapat mengendalikan berbagai kebijakan rektor di setiap kampus sehingga kebijakannya berada di tingkat negara dan bukan berada di tingkat universitas. Hal ini mengingat persoalan yang tengah terjadi dimulai dari negara, sedangkan setiap kampus hanya melakukan praktik pengendalian setempat tetapi semua akarnya tetap berada di tingkat universitas.

Teks: Aulia Arsa A., Daffa Ulhaq

Foto: Aulia Arsa A.

Editor: M. Rifaldy Zelan

Pers Suara Mahasiswa UI 2023

Independen, Lugas, dan Berkualitas!