Sebagai bentuk solidaritas dan penghormatan terhadap para korban pada aksi 28 Agustus–1 September lalu, Barisan Garda Depan Universitas Indonesia (Brigade UI) menggelar aksi damai dan doa bersama pada Rabu (3/9).
Berbagai orasi, monolog, hingga puisi terus dilayangkan di depan Tugu Makara UI malam itu. Lilin-lilin dinyalakan, bunga-bunga ditaburkan, keheningan diciptakan, dan doa-doa dilontarkan oleh puluhan massa aksi sebagai bentuk simbolisasi rasa duka atas gugurnya para korban, juga matinya keadilan dan rasa kemanusiaan di negeri ini.
Massa Aksi di Tugu Makara UI
Massa aksi menyambut berbagai orasi dengan sorakan serta teriakan solidaritas sebagai bentuk amarah terhadap pemerintah dan jajarannya yang seharusnya menjamin hak seluruh warga. Namun, negara justru merenggut hak-hak tersebut dengan melakukan penindasan.
“Keadilan sejati untuk para korban tidak akan [di]dapat sampai sistem–yang dijaga oleh rezim saat ini–hancur,” ujar salah satu peserta aksi dalam orasinya.
Salah satu orator menegaskan bahwa kita harus terus mengaspirasikan suara rakyat Indonesia agar kesejahteraan dapat terwujud. "Aksi kita menyalakan lilin sebagai simbol untuk mengenang, menyalakan api untuk mengantar kepergian rekan-rekan kita yang telah berpulang karena represi aparat," tuturnya.
Suasana yang telah dibalut emosi itu semakin larut ketika seorang peserta aksi membacakan puisi “Ibunda” karya Wiji Tukul. “Durhaka apa yang diperbuat anakku, sewenang-wenangnya kalian main hakim tanpa pengadilan!” lantangnya dengan penuh penekanan.
Peserta aksi lainnya mengingatkan bahwa rakyat sipil, mahasiswa, pengemudi ojol, ibu-ibu, dan semua orang juga berpotensi menjadi korban. “Alat yang dibuat untuk kesejahteraan [malah] [di]jadikan [sebagai] instrumen ketidakadilan,” tuturnya dengan amarah yang meluap.
Di tengah orasi-orasi yang terus dilayangkan, salah satu massa aksi membacakan puisinya yang menggambarkan bahwa para polisi terus memasuki dan mengganggu ruang aman. "Rumah ibadah penuh polisi. Taman kota penuh polisi. Jalan penuh polisi. Internet penuh polisi. Gedung pabrik penuh polisi. Kampus penuh polisi. Sekolah penuh polisi. Di kantor polisi tidak ada polisi."
Salah satu mahasiswa baru Program Studi Filsafat UI turut menggaungkan keberaniannya dalam mengaspirasikan suara perjuangan. “Saya berani dan saya akan melawan. Saya tidak takut mati sekarang. Tangkap saya kalau berani!”
Massa aksi menyalakan lilin dan menundukkan kepala, sembari membacakan doa untuk para korban. Tak lupa mereka menaburkan bunga untuk menunjukkan rasa duka yang mendalam. Lilin-lilin ditancapkan ke tanah seiring dikumandangkannya lagu “Gugur Bunga” yang menandakan berakhirnya aksi damai pada malam itu.
Tanggapan terhadap Aksi Damai
Bima Surya, Wakil Kepala Departemen Internal Aksi Propaganda BEM UI (yang dipimpin Atan), menjelaskan bahwa aksi damai merupakan langkah paling bijak dalam situasi saat ini untuk menjaga semangat perjuangan tanpa menimbulkan eskalasi kerusuhan yang sedang terjadi.
Ia menambahkan bahwa harapan utama dari aksi ini adalah tegaknya keadilan bagi korban, baik yang turut membersamai aksi maupun yang meninggal dunia. Brigade UI menuntut pemerintah untuk menjaga hak asasi manusia sesuai proses hukum, membentuk tim investigasi independen, dan memproses aparat jika terbukti terlibat.
“Yang kami tuntut secara keras adalah, jika [kekerasan] itu memang tindakan dari aparat, tolong diproses tanpa pandang bulu. Karena yang dirugikan bukan hanya masyarakat sipil, tetapi semuanya, multi-sektor. Satu-satunya cara untuk menegakkan keadilan adalah dengan mendesak pemerintah [untuk] memberantas pelaku dan memproses mereka dengan seadil-adilnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Bima menekankan bahwa setiap aksi selalu berangkat dari kajian intelektual dan memiliki poin-poin tuntutan yang jelas. Ia menyinggung 17+8 tuntutan yang sudah diajukan, kemudian menyatakan bahwa aksi lanjutan besar kemungkinan akan kembali digelar oleh Brigade UI maupun BEM se-UI bila tuntutan tersebut tak kunjung dipenuhi.
“Untuk [informasi] pastinya, kami tidak bisa memberikan tanggal, tapi besar kemungkinan akan ada aksi lain [dalam beberapa waktu] ke depan,” ujarnya.
Terkait pemilihan lokasi, Brigade UI memilih Tugu Makara UI karena dinilai paling representatif untuk mengakomodasi massa yang hadir. Selain itu, Tugu Makara juga dianggap sebagai simbol perjuangan mahasiswa.
Teks: Alya Putri Granita, Fikan Vara Zahrani
Editor: Naswa Dwidayanti Khairunnisa
Foto: Raihanah Azka Reine Arifah
Desain: Aqilah Noer Khalishah
Pers Suara Mahasiswa Ui 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!