Budaya Indonesia Diklaim Pihak Asing: Kok Bisa?

Redaksi Suara Mahasiswa · 16 Desember 2021
5 menit

Tempo hari, jagat dunia maya diramaikan oleh kasus pengklaiman kebudayaan Indonesia sebagai budaya asing. Penyebabnya adalah Adidas, produsen sepatu multinasional asal Jerman, menyatakan bahwa wayang kulit adalah kebudayaan Malaysia. Padahal, UNESCO telah menetapkan wayang kulit sebagai warisan budaya Indonesia sejak tahun 2008. Kasus ini tentu menuai pertentangan dan kontroversi dari berbagai pihak, khususnya masyarakat Indonesia yang merasa sebagai empunya wayang kulit. Akhirnya, kasus diselesaikan dengan permintaan maaf dari Adidas kepada masyarakat Indonesia.

Akan tetapi, pengklaiman wayang kulit oleh Adidas bukanlah satu-satunya kasus pengklaiman kebudayaan yang pernah terjadi. Dalam beberapa dekade belakangan, pernah terjadi kasus-kasus serupa dimana sejumlah kebudayaan Indonesia, baik daerah maupun nasional, diklaim oleh negara-negara asing. Pengklaiman wayang kulit sendiri pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2003. Contoh kasus pengklaiman lainnya adalah pengklaiman Reog Ponorogo pada tahun 2007, pengklaiman batik pada tahun 2008, dan pengklaiman angklung pada tahun 2010. Yang menjadi pertanyaan, mengapa kasus pengklaiman kebudayaan ini begitu sering terjadi?

Kebudayaan dan Warisan Budaya Indonesia

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kebudayaan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Berdasarkan definisi tersebut, kebudayaan Indonesia dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat yang hadir dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Secara garis besar, kebudayaan Indonesia diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu kebudayaan daerah dan nasional.

Koentjaraningrat dalam Kompas (15/12/20) mendefinisikan kebudayaan nasional sebagai kebudayaan yang didukung oleh sebagian besar warga suatu negara, memiliki syarat mutlak yang khas dan dibanggakan, serta memberikan identitas terhadap negara dan warga negara. Dengan demikian, kebudayaan Indonesia yang merefleksikan identitas masyarakat Indonesia, dapat diklasifikasikan sebagai kebudayaan nasional.

Sementara itu, warisan budaya adalah keseluruhan peninggalan kebudayaan yang memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan/atau kesenian. Warisan budaya juga merupakan jati diri suatu masyarakat atau kaum yang diwariskan dari generasi sebelumnya, yang dilestarikan untuk generasi-generasi yang akan datang. Warisan budaya melingkupi warisan budaya material (tangible) seperti teknologi maupun budaya non material (intangible) seperti gagasan, bahasa, tradisi, dan ritual. Salah satu dari warisan budaya material adalah wayang kulit.

Wayang Kulit dan Pengklaiman Budaya: Mengapa Bisa Terjadi?

Wayang adalah kesenian arkais yang diperkirakan telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, sejak abad ke-4 Masehi. Wayang memiliki bentuk yang mirip dengan puppet play atau teater boneka di Eropa. Dalam pagelaran atau pertunjukkan wayang, seorang dalang (orang yang memainkan wayang) akan memainkan boneka atau puppet mengikuti lakon atau cerita tertentu. Boneka atau puppet inilah yang disebut wayang.

Kata wayang sendiri berasal dari bahasa Jawa wewayangan, yang berarti bayangan. Dulu, penonton pertunjukkan wayang biasanya duduk di depan layar atau tirai yang disebut kelir.  Sementara itu, sang dalang memainkan boneka atau orang-orangan yang diterangi lampu dari belakang kelir, sehingga menimbulkan wewayangan (bayangan) yang menempel pada kelir. (Kustopo, 2008:1).

Berdasarkan bahan pembuatannya, wayang diklasifikasikan menjadi wayang kulit, wayang golek, wayang beber, dan wayang klitik. Dari jenis-jenis wayang tersebut, wayang kulit adalah jenis wayang yang paling populer dalam masyarakat. Dalam pertunjukkan wayang kulit, boneka atau orang-orangan yang dimainkan oleh dalang biasanya terbuat dari kulit binatang, seperti kerbau atau sapi. Cerita yang ditampilkan dalam pertunjukkan wayang kulit umumnya adalah kisah yang diambil dari kitab Mahabharata dan Ramayana.

Di Indonesia, wayang memiliki sejarah yang panjang. Kustopo (2008) menyatakan bahwa masyarakat Indonesia telah mengenal wayang sejak dahulu kala, bahkan sebelum Hindu dan Budha menyambangi Indonesia. Saat itu, wayang masih berbentuk cuwilan gambar yang diceritakan. Akan tetapi, pertunjukkan wayang mulai berkembang ketika Hindu dan Budha masuk ke Indonesia.

Sejarah panjang kesenian wayang di Indonesia menunjukkan bahwa wayang adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, pengklaiman wayang kulit sebagai warisan budaya atau kebudayaan asing pernah beberapa kali terjadi. Kasus pengklaiman yang pertama terjadi pada tahun 2003.

Menurut Dosen Prodi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Dr. F.X. Rahyono, S.S, M.Hum, salah satu penyebab pengklaiman budaya, dalam konteks ini khususnya wayang kulit, adalah kurang pedulinya masyarakat dan pemerintah Indonesia terhadap warisan budaya. Menurutnya, masyarakat Indonesia tidak “mewarisi” warisan budaya Indonesia, dalam artian masyarakat Indonesia tidak merawat, melestarikan, dan mengembangkan warisan budaya.

“Masyarakat kita kurang betul-betul ngopeni, atau merawat warisan budaya kita,” tutur Dr. F.X. Rahyono.

Menurut Rahyono, orang Indonesia hanya sebatas mengagungkan warisan budaya Indonesia saja, namun tidak memiliki keinginan untuk terus memproduksi warisan budaya itu dengan penyesuaian zaman. “karena orang kita hanya mengagungkan, kita jadi berpikir ‘oh, jangan sampe warisan yang maha dahsyat ini diubah-ubah, harus tetap apa adanya agar tidak rusak’ itu justru pemikiran yang salah,” ujar Rahyono.

Lebih lanjut, Rahyono menganalogikan sebuah warisan budaya seperti sebuah warisan kekayaan material yang idealnya diberikan orang tua kepada anaknya. “Kalau misal, kita dapat warisan kekayaan dari orang tua berupa perusahaan. Kan, kita harus  mengembangkan perusahaan itu, bukan perusahaannya disimpan begitu saja, seluruh aset hanya diendapkan di bank. Tetapi harus mengembangkan agar perusahaannya bertambah luas dan produknya disesuaikan dengan zaman kekinian. Itu pewaris yang baik”.

Di samping tidak adanya keinginan untuk melakukan pengembangan terhadap wayang kulit, pengklaiman budaya kita juga disebabkan karena tidak adanya klaim sebagai sebuah karya individual, melainkan sebagai karya kelompok. “Nah, itulah yang membuat kita kesulitan di dunia modern ini untuk mengklaim kita. Karena dari dulu memang tidak ada klaim ‘itu milik saya’, tetapi ‘ini milik masyarakat’ begitu.”


Pelestarian Budaya

Upaya pelestarian budaya membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Pemerintah memegang peran penting sebagai pihak yang berwenang membentuk kebijakan serta menentukan arah kebudayaan Indonesia. Melalui pendidikan, pemerintah dapat mengenalkan warisan budaya serta ide-ide yang menyertainya. Ini akan mengubah pandangan masyarakat akan budaya, dan memberi ruang bagi mereka untuk mengembangkan warisan budaya sesuai dengan konteks zaman.

Dalam kasus wayang kulit, Rahyono sendiri mengatakan sebenarnya inovasi untuk terus melestarikan budaya itu sudah ada sejak tahun 1980-an. Inovasi itu diinisiasi oleh Kasman, seorang perupa asal Yogyakarta. Inovasi paling mendasar yang diubah Kasman adalah ukuran wayang kulit itu sendiri. “wayang kulit itu kan yang dilihat bayangannya. Nah, sementara kalau sekarang kan terganggu dengan sinar-sinar yang lain, sekarang dimana-mana terang. Kalau penontonnya nonton dari jarak jauh, kan semakin tidak kelihatan itu wayangnya. Akhirnya oleh Kasman diperpanjang ukurannya,” ujar Rahyono

Lebih lanjut, Rahyono menyampaikan, pada saat itu Kasman mengatakan bahwa wayang kulit itu berwarna-warni dan beragam, namun kenapa yang dapat menonton hanya kelompok yang berada di belakang layar? Sementara masyarakat yang menonton di depan layar hanya dapat melihat bayangannya saja. Bagi Kasman, hal itu tidak adil. Akhirnya, Kasman membuat wayang menjadi transparan. Lalu blencongnya (alat penerangan yang berfungsi untuk menghidupkan bayangan wayang di kelir/layar) dahulu masih menggunakan api, lantas dimodifikasi dengan menggunakan penerangan dari sinar. Akhirnya wayangnya menjadi full color. “Dari inovasi itu, wayang kulitnya ya tetap wayang kulit. Artinya, konsep keindahan seni tidak dirusak tetapi dikembangkan dengan konteks kekinian,” ujar Rahyono. Tetapi Rahyono menyayangkan, inovasi itu kurang mendapat dukungan, sebab masyarakat Indonesia menganggap itu merusak kebudayaan. “Kalau orang kita bilang ‘pokoknya ini jangan diubah-ubah’, ya itu penyakit sekaligus kebodohan. Warisan bukan berarti harus terus sama persis tapi ikuti dan diolah sesuai dengan budaya lokal tetapi juga mengikuti konteks kekinian.”

Dari kasus tersebut, kita dapat melihat, peran masyarakat Indonesia sangat penting dalam urusan pelestarian budaya. Mereka adalah pihak yang seharusnya menjadi pihak yang berkewajiban menjaga warisan budaya dari segala ancaman, termasuk pengklaiman budaya oleh pihak asing. Tetapi, kasus pengklaiman wayang yang baru-baru ini terjadi, menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat Indonesia kurang dalam “ngopeni” budayanya sendiri. Masyarakat Indonesia perlu untuk bercermin tentang cara mereka memperlakukan warisan budaya. Masyarakat perlu memahami pemikiran utama yang melandasi suatu budaya. Dengan memahami inti dari budaya, masyarakat dapat meningkatkan rasa cinta sekaligus melakukan inovasi terhadap warisan budaya.



Teks: Humairah Nur, Olivia Chairinnisa
Kontributor: M. Kahlil
Ilustrasi: Emir Faritzy
Editor: Giovanni Alvita

Pers Suara Mahasiswa UI 2021

Independen, Lugas, Berkualitas!



Sumber Referensi:

Kustopo. 2008. Mengenal Kesenian Nasional 1: Wayang. Semarang: Alprin

Pratama, Cahya Dicky. (15 12 2020). “Kebudayaan Nasional: Definisi dan Bentuknya”. Kompas.com. Diakses melalui https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/15/175356169/kebudayaan-nasional-definisi-dan-bentuknya