Budaya Aktivisme Kampus yang (Agak) Tepat Sasaran

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 Juni 2020
4 menit

By Muhammad Husni

Dengan meminjam gaya bahasa Soe Hok Gie pada harian Kompas terbitan 17 Agustus 1969, saya akan memulai artikel opini ini: “Tanpa kita sadari di bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu lapisan baru, pemuda-pemuda, pemudi-pemudi Indonesia yang dilahirkan setelah tahun 1998 ataupun tumbuh besar setelah Orde Baru almarhum - generasi reformasi.”  Mereka bukan orang-orang yang menjelma menjadi pahlawan super dengan membawa-bawa megafon dan meriakkan jargon atas nama kesadaran kelas, mereka adalah generasi yang dididik dalam optimisme setelah utopia akan kebebasan bersuara dibumikan, dan mereka adalah generasi yang dibius oleh semangat pembaharuan setelah masa kaos (kekacauan) berlalu. Tetapi terutama generasi inilah yang mengalami kehancuran cita-cita itu semuanya, demoralisasi dalam segala bidang, dan yang paling parah tunduk pada sistem “bapak-anak” yang paling baru.

Belakangan ini muncul orang-orang yang mendapat atau mencari stempel “aktivis” di wilayah Kampus, usia mereka kira-kira 17 hingga 22 tahun kalau merunut pada sistem pendidikan negeri kita saat ini. Kata “aktivis” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam kategori politik dan pemerintahan berarti seseorang yang menggerakkan (demonstrasi dan sebagainya) sedangkan aktivisme secara kasar dapat diartikan sebagai kegiatan daripada (para) aktivis itu sendiri. Sebagai mahasiswa yang mempelajari pola-pola dan keunikan yang terjadi di masa lalu, saya hanya bisa memasang senyum yang tidak jelas juntrungannya, entah itu bahagia atau kecut kepada orang-orang ini.

Aktivis kampus dalam perkembangan zaman saya analogikan sebagai “rumput di lapangan yang terik,” mereka tumbuh subur tanpa ada yang menyiramnya dan ketika dipangkas, mereka akan tumbuh kembali dalam waktu singkat. Ungkapan itu berkaca pada sejarah Indonesia, dalam beberapa titik mahasiswa memainkan peran besar dalam roda perputaran negara ini, sebut saja: Aksi Tritura 1966, Malari 1974, Reformasi 1998 (Notosusanto, 2010), dan yang terakhir #ReformasiDikorupsi pada 2019. Golongan ini dapat dengan mudah ditemukan di tiap sudut yang ada di Kampus; Kantin, Selasar tiap Gedung, atau bahkan pada kasus tertentu di Rumah Peribadatan.

Seringkali saya mendengar mereka membahas tentang kebijakan publik, politik pemerintah, dan kelakuan “lucu” aparatur negara. Memang begitu harusnya, kaum intelektual harus peka terhadap isu-isu yang sedang terjadi.
Apabila berbicara dengan mereka, bagi orang-orang awam, yang tertinggal hanyalah kesan keren. Dengan mengutip buku-buku yang ditulis penulis terkenal dan pertanyaan “mengapa pekerja kasar di sini yang sudah bekerja selama 20 tahun tidak kunjung kaya?” mereka mendapat hati di tiap para pendengarnya. Tiada hari tanpa mengejek kebijakan pemerintah, terlepas itu substantif maupun tidak, seolah-olah ingin mendapat gelar “negarawan muda.” Siang hari turun ke jalan menuntut pemerintah serupa singa yang lapar, malam harinya aktif di kegiatan inaugurasi mahasiswa baru yang kadang bentuknya serupa perpanjangan tangan Orde Baru. Sebagian besar dari mereka juga mengasosiasikan dirinya sebagai anggota “partai kampus” tertentu dan membuat kampus menjadi miniatur Republik serta panggung tempat pertempuran ideologi.

Dari hal-hal yang dapat saya tangkap, mereka tak ada bedanya dengan ouroboros atau ular yang menggigit ekornya sendiri. Bayang-bayang aksi demonstrasi yang pernah terjadi pada tahun 1998 di Indonesia berhasil meninabobokan kesadaran akan zeitgeist (Kuntowijoyo, 2013) di ranah aktivisme mahasiswa yang berujung pada romantisme anakronis daripada budaya aktivisme mahasiswa itu sendiri. Dengan jargon “agent of social control” yang mereka bebankan ke pundak mereka sendiri, tanpa sadar mereka membidik dinamika yang lebih besar daripada yang bisa mereka genggam, menjadikan satu-satunya tujuan pergerakan mereka seolah-olah seperti Aksi Reformasi 1998 yang meruntuhkan oligarki negara. Padahal sudah jelas-jelas keadaan yang ada di masa sekarang dan dahulu benar-benar berbeda, baik dari segi sosial-politik maupun ekonomi dan budaya.
Membahas budaya aktivisme kampus akan kurang puas tanpa menyinggung atmosfer perpolitikannya. Sangat banyak dan mungkin menjadi sebuah nilai tersendiri bagi mereka yang terafiliasi dalam suatu partai kampus untuk mematuhi instruksi atasan mereka, yang tak jarang atasan mereka pun mendapat instruksi dari aktor eksternal. Sebagaimana yang kita ketahui, partai/organisasi mahasiswa ekstrakampus seringkali merupakan underbouw partai politik besar yang secara tak langsung menyulap mereka menjadi marionette. “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak,” adalah adagium yang tepat untuk mengilustrasikan hal ini. Mereka berteriak-teriak menentang oligarki di tingkat negara, namun melanggengkan oligarki pada ranah yang lebih kecil.

Orde Baru dan kerja kelompok oligarki di dalamnya secara metafor menjadi orang tua dan menentang mereka adalah hal yang tabu, seperti sebuah tindak kedurhakaan anak (Budiman, 2002).  Angkatan 98 telah berhasil melalui batasan moral tersebut dan pada akhirnya kultur tersebut berhasil dibuat pingsan, hanya pingsan! Realitanya, kultur tersebut bangun kembali dengan berlindung pada orang-orang yang membuat mereka pingsan dahulu. Kampus-kampus di negeri ini tak jarang berada dalam jerat tangan mereka, aktivis-aktivis kampus yang sangar untuk negara tiba-tiba menjadi lembut dan berperan sebagai pelindung bagi mereka-mereka ini, mungkin karena janji manis partai kampus akan kehidupan setelah lulus atau semacamnya, saya pun tidak mengerti. Sedikit munafik rasanya.

Hal di atas memberi efek domino dan jadi titik buta dari budaya aktivisme kampus, yaitu: Kampus mereka sendiri. Saatnya membidik dinamika yang lebih masuk akal untuk dituntaskan, isu-isu seperti: pengambilan kebijakan sepihak untuk menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT), gelapnya kejelasan dana pendapatan dan pengeluaran kampus, janji renovasi atau pengadaan fasilitas yang lebih memadai yang tak kunjung terealisasikan, serta penyelesaian kasus kekerasan seksual atau perumusan kebijakan pencegahannya menjadi lebih relevan untuk saat ini. Tentunya tanpa mengesampingkan isu-isu lain yang berada pada tingkatan yang lebih tinggi, sudah saatnya kita berani durhaka pada mereka yang dengan mudahnya memijak kepala kita. Mari buat budaya aktivisme kampus ini tepat sasaran dan tidak berakhir menjadi jargon belaka seperti yang dilakukan Angkatan 98.

Pandangan bahwa budaya aktivisme kampus sifatnya harus sama seperti aktivis angkatan 98 harus mulai ditinggalkan. Jangan paksakan diri menjadi kontrol sosial ketika rumah tercinta masih diobrak-abrik orang luar. Saatnya berubah menjadi aktivis yang lebih baik, dengan tidak hanya berdasarkan bayang-bayang masa lalu saja. Berhentilah bertindak tanpa landasan yang kuat, untuk bisa menghantam oligarki dan tindakan kotor pejabat, rapikanlah dahulu rumahmu! Lalu lepaskanlah belenggu budaya lama dan tangan-tangan jahil generasi tua! Mari buat kampus menjadi tempat suci bagi pengetahuan seperti sediakala dan berhenti membuat makna kata “aktivis” dan “aktivisme” kampus terkena peyorasi lebih dari saat ini!

Daftar Acuan:
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Kanisius.
Gie, Soe Hok. 2015. Catatan Sang Demonstran. Jakarta: LP3ES.
Kuntowijoyo. 2010. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.
Notosusanto, Nugroho, Marwati Djoenoed. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Kontributor: Muhammad Husni
Editor: Rifki Wahyudi

Pers Suara Mahasiswa UI 2020
Independen, Lugas, dan Berkualitas