(Bukan) Sekadar Remeh Temeh

Redaksi Suara Mahasiswa · 14 Januari 2022
3 menit

Judul        : Remah-Remah Bahasa

Penulis    : Eko Endarmoko

Tahun        : 2018

Halaman    : xiv + 166

Penerbit    : Bentang

“Setiap kamus besar yang baru harus merupakan produk demokrasi  buku yang memperlihatkan unggulnya kebebasan individu, pengertian bahwa seseorang bisa memakai bahasa dengan merdeka.” (hlm. 45).

Rasa-rasanya, makin ke sini, makin banyak “peraturan” dalam berbahasa. Tak ayal jika banyak orang menganggap bahwa berbahasa yang baik dan benar adalah hal runyam. Bagaimana tidak? Masyarakat harus dihadapkan dengan seabrek kaidah kebahasaan yang mesti dipatuhi. Belum lagi, adanya ketidakkonsistenan peraturan kebahasaan yang diberlakukan. Hal itu seolah menambah pelik sengkarut berbahasa di masyarakat.

Sederet keresahan itu juga dirasakan oleh Eko Endarmoko—pemerhati bahasa sekaligus penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia. Dari kekalutan tersebut, Eko berhasil melahirkan buku bertajuk Remah-Remah Bahasa. Sejatinya, buku ini merupakan kumpulan artikel Eko yang terserak di berbagai media—seperti Tempo, Beritagar, dan Kompas—dalam rentang dua belas tahun. Secara keseluruhan, buku ini terdiri atas empat puluh artikel yang terbagi dalam empat bab: Aturan Berbahasa, Aturan Kita; Memaknai Kaidah Bahasa; Kesantunan dalam Berbahasa; dan Bahasa dalam Komunikasi.

Meski menggunakan diksi “Remah-Remah” dalam judulnya, setelah membacanya kita akan sepakat buku ini tidak membicarakan hal yang remeh temeh. Remah-remah yang dimaksud di sini merujuk pada hal-hal penting yang tercecer dalam perbincangan tentang bahasa. Bahkan, dianggap sebagai hal sepele sehingga luput dari pembahasan. Pada dasarnya, esai ini ditujukan untuk seluruh pengguna bahasa, baik dari kalangan masyarakat biasa maupun ahli bahasa. Tak tanggung-tanggung, sejumlah artikel ini juga dialamatkan langsung pada pemangku kepentingan, yaitu pemerintah dan Badan Bahasa. Eko dengan jelas menyentil produk dan kaidah kebahasaan yang kadang terkesan mencla-mencle.

Perlukah Peraturan Berbahasa?

Salah satu persoalan yang santer dibahas dalam buku ini yaitu rumitnya peraturan berbahasa. Sebagai pemerhati bahasa, Eko beberapa kali melayangkan gugatan kepada Badan Bahasa melalui tulisannya. Hal ini lantaran rumitnya aturan dan kaidah kebahasaan dalam Bahasa Indonesia, terlebih sejak lahirnya Undang-Undang Bahasa. Adanya undang-undang ini diharapkan mampu mengobati penyakit bahasa di masyarakat.

Kenyataannya, hal tersebut dianggap sebagai tindakan salah sasaran. Menurut Eko, Undang-Undang Bahasa tak ubahnya seperti obat yang tidak manjur. Badan Bahasa ingin menyelesaikan sederet persoalan bahasa dengan cara cepat. Sayangnya, undang-undang tersebut tidak menyelesaikan pokok persoalan yang terjadi. Padahal, pokok persoalannya bertalian erat dengan pudarnya ejaan bahasa Indonesia. Namun, alih-alih mengentaskan masalah tersebut, Badan Bahasa justru menunjukan hasrat berkuasa lewat undang-undang gubahannya.

Undang-undang itu sangat tidak masuk akal, tidak lain karena mengandung cacat bawaan berupa pengingkaran terhadap hakikat bahasa yang terus berubah dan manasuka. (hlm. 37).

Hal itu makin diperparah dengan ketidakkonsistenan kaidah bahasa yang berlaku. Siapa sangka? Badan Bahasa justru beberapa kali menjadi biang ketidakstabilan bahasa. Sebagai contoh, padanan kata subjek dan proyek. Mengapa subjek tidak dipadankan menjadi subyek? Padahal, kata bahasa Inggris j akan dipadankan menjadi y. Hal tersebut menunjukkan ketidakkonsistenan kaidah kebahasaan. Eko mengatakan jika kebijakan Badan Bahasa justru membingungkan ketimbang menyederhanakan persoalan.

Dengan begitu, tak lantas diartikan bahwa kaidah bahasa adalah produk yang sia-sia. Perlu digarisbawahi, kaidah yang baik bukan berarti mengekang. Kaidah harus memuat hal yang fundamental dan jelas. Dengan begitu, kaidah bisa mengurai masalah kebahasaan di masyarakat, tanpa mencederai sifat bahasa yang manasuka. Lebih jauh lagi, kaidah juga mampu meneguhkan martabat bahasa Indonesia.

Perbincangan Luar Pagar

Pada dasarnya, buku ini membahas persoalan krusial yang luput dibicarakan dalam obrolan bahasa, khususnya para pengguna dan ahli bahasa sekalipun.  Maka dari itu, Eko memberi subjudul pada buku ini sebagai Perbincangan Luar Pagar. Eko Endarmoko pun mencoba masuk dari sini, dengan memberi penekanan dari luar pagar—menunjukkan bahwa ia bukan pemangku kepentingan dan peraturan terkait kebahasaan.

Buku ini akan mengajak pembaca untuk menyelami beragam persoalan kebahasaan di masyarakat. Selain itu, Eko juga menggandeng pembaca untuk lebih bangga dalam menggunakan khazanah kosakata bahasa Indonesia. Eko berusaha menjelentrehkan artikelnya dengan bahasa yang luwes sehingga mudah dipahami. Ia juga berusaha menemukenalkan pembaca dengan diksi-diksi yang jarang diketahui, seperti rudin, wasangka, menjuju, jumud, dan masih banyak lagi.

Dengan begitu, buku ini cocok untuk orang-orang yang tertarik dengan isu bahasa. Pembaca bisa menyelisik sederet persoalan bahasa, baik yang dilakukan oleh masyarakat—sebagai pengguna bahasa—maupun oleh pemangku kepentingan. Di sini, pembaca boleh saja tidak setuju dengan gagasan-gagasan Eko Endarmoko. Terlepas dari itu, Eko hanya mengumpulkan gagasannya yang terserak sehingga terinventaris dengan baik. Buku ini menjadi sehimpun nasihat dan teguran untuk pengguna bahasa dari berbagai kalangan, khususnya bagi mereka yang minat pada isu bahasa.

‌‌

Teks: Laili Ayu Ramadhani (Unnes)

Foto: Mizanstore.com

Editor: Ruth Margaretha M.

‌‌

Pers Suara Mahasiswa UI 2022

Independen, Lugas, dan Berkualitas!