Buku, Pesta, dan C̶i̶n̶t̶a̶ Selokan, Sehimpun Puisi MH Rasid

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 Februari 2021
3 menit

Membaca 2020

Kau angin yang mengelus halus rambutku, dan yang menggulung bintang di langit. Kau ombak yang menyapa ria jejak kakiku dan yang meniup lubang-lubang di karang. Terkadang, kau ingin berhenti meniti jalan. Jalanan kisah katamu. Jalinan kisah suntingku. Semoga kebahagiaan memperlakukan matamu dengan baik.

Membaca 2020 berarti aku merindukanmu. Tiap-tiap malam adalah selamat datang. Datangi dengan diam, mendiamkan dendam. Lalu selamat pagi adalah kebohongan. Pergi dengan riang, meriang dengan kenang. Aku ingin menghabiskan malam. Atau pagi yang aku tak ingin mengucap, “tolong jangan pergi!”

Aku ingin mencintaimu dengan sunyi. Dengan sepi. Sebab aku sendiri dan kamu tak kalah lagi. Mencari ciri dari apa yang selalu asing. Kemarin, sekarang, besok—puisi ini tidak akan membiarkanmu sendiri, atau sepi, atau sunyi. Hiduplah kau!

Buku, Pesta, dan C̶i̶n̶t̶a̶ Selokan

Akan aku katakan, “Buku, Pesta, dan Selokan”. Carilah cinta di depan rumah ibadahmu, di bait-bait mantra yang kau sebut data serta apa yang dinamakan logika. Tidak ada cinta hari ini.

Negara ini menghancurkan kita tiap hari, tiap jam, dan tiap detik. Di mana-mana buku diwarna merah—“kebodohan adalah kekuatan” satir Orwell.

Dihelat pesta dan musik masih membuatmu menari—“Ya, aku akan mencintaimu apa adanya!” teriak Tolstoy yang berputar di atas pasir.
**
Salah bila mengenal selokan karib dengan limbah. Katakanlah ia bebas—bahkan lebih bebas daripada jalan-jalan tol yang dipenuhi korupsi dan gambar kontol. Pula kau, kau akan terlihat cantik daripada mereka yang menggumamkan politik.

Sekarang ku bayangkan hidup tanpa cinta—rasanya merdeka. Lalu selokan? “Bagai taman tak berbunga” apabila ku sindir bang Haji Rhoma. Teriak Cril bersamaku pada Ida, “aku merdeka!”

Kucing di Jakarta

Manusia kembali tenggelam dalam alunan kata-kata (dalam alunan nada). Jakarta terlalu riuh hingga seseorang penyendiri hanya bisa bersembunyi di Jalan Buntu (dalam namamu yang berarti biru). Tenggelam dan bersembunyi adalah belajar—jika itu aku, aku adalah seekor kucing.

Manusia berhasil hidup dalam buaian mata uang (dalam arti lain pulang). Jakarta terlalu sibuk hingga seseorang di jam kerja akan sulit mengeja dirinya cantik (dalam hikmah yang tiada bisa dipetik). Membuai dan cantik adalah aku—jika itu belajar, belajar untuk menjelmamu.
**

Aku ingin berlari, berlari dan menabrakkan kepalaku! Kepada tiap roda yang disirkuitkan pada truk pengangkut barang.

Manusia terlalu Jakarta.

Jakarta kembali manusia.

Kenanga Menggugat Kenangan

Sore ini akan ku jemput kau di Danau Kenanga. Kenanga akan selalu liar, ia bisa jadi kenangan untuk kita atau pemakaman untuk Akseyna. Bila kau tanya lapangan Rotunda, dia bisa mengumandangkan solawat nariyah atau genderang kampus yang berhenti berjuang saat wisuda.

Sore ini kau akan melipir ke Danau Kenanga. Kadangkala ada orang gila menjelma Neruda atau pelintas yang bahkan sulit untuk membeli kacang garuda. Garuda tidak di dada, tidak di kepala, apalagi di Kenanga. Mungkin garuda hanya ada di rekaman perpustakaan di sebelahnya.

Sore ini Kenanga akan menyambut aku dan kau. Ia begitu terbuka tanpa manis kata-kata. Saat—entah siapa—membaca atau mendengar puisi ini. Ia selalu dan akan menjadi kritik dan saksi atas matinya veritas, probitas, dan justitia. Oh, Kenanga yang selalu sangsi!

Konsolidasi Akbar Malam dan Warkop

Malam selalu telanjang. Atau warkop selalu berisi riasan. Juga dinding yang selalu menguping tanpa memberi balasan. Harimu tundra yang selalu menunggu di ujung sajak Amir Hamzah. Pula pejalan kaki yang diajak Chairil menembus malam.

Malam dan warkop adalah teman masa kecil. Sejarawan mana pun tidak kenal, lebih dahulu mana warkop atau malam. Semesta warkop yang menggelitik gelembung di paru-parumu tidak peduli kalau hari ini kamu mati. Lalu lahir lagi Warkop adalah checkpoint dan malam adalah leveling.

**

Kamu tidak pernah mengenal malam. Kamu tidak pernah mengenal warkop. Permufakatan keparat macam apa yang menaruhmu di dunia ini?

Ah, semesta warkop yang menggelitik gelembung di paru-parumu tidak peduli kalau hari ini kamu hidup kembali. Lalu mati. “Ngopi ora ngudud, paru-paru ora smile”, lihat, paru-paru yang ngakak itu. Itu hasil konsolidasi akbar malam dan warkop.

Lalu sober.


Data Diri Penulis

MH Rasid (Muhammad Husni)

—adalah seorang mahasiswa Sejarah di Universitas Indonesia angkatan masuk tahun 2018. Senang menulis sajak dan esai serta membaca, akan tetapi lebih senang bertukar ngeong dengan kucing tetangga.

Tulisannya bisa dilirik dan dibaca di Geotimes, PinterPolitik, Kumparan, Sutera.ID, Prodeo.ID, Takanta.ID, dan lain lagi. Di tahun 2021 ini menerbitkan antologi puisi berjudul Meludahi Langit Margonda dan diterbitkan oleh Ellunar Publisher.

Penulis: MH Rasid
Ilustrasi: Adelia Febiyanti
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!