Catatan Kelam Kolonialisme di Banda

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 Juni 2021
3 menit

Judul: Banda: The Dark Forgotten Trail
Sutradara: Jay Subiyakto
Penulis: Irfan Ramli
Produser: Sheila Timothy, Abduh Aziz
Genre: Dokumenter berlatar sejarah
Tanggal rilis: 3 Agustus 2017
Durasi: 94 menit
Narator: Reza Rahadian (Bahasa Indonesia), Ario Bayu (Bahasa Inggris)

“Melupakan masa lalu adalah sama dengan mematikan masa depan bangsa ini,” ucap Reza Rahadian selaku narator film Banda: The Dark Forgotten Trail. Ungkapan tersebut merepresentasikan tujuan Jay Subiyakto yang berupaya merangkai kembali serpihan memori atas sejarah kelam kolonialisme bangsa Eropa abad ke-17 di Kepulauan Banda. Film dokumenter Banda: The Dark Forgotten Trail juga mengulik kejayaan rempah di Kepulauan Banda pada masa lalu yang kini mulai terlupakan.

Pada permulaan film, diceritakan bahwa monopoli bangsa Arab dan perseteruan Perang Salib telah membawa Eropa ke dalam perburuan menemukan pulau-pulau baru penghasil rempah. Penemuan Kepulauan Banda oleh Portugis pada  1512 mengawali sejarah perebutan kawasan tersebut yang saat itu menjadi satu-satunya tempat tanaman pala tumbuh. Pala menjadi komoditas rempah yang bernilai sangat tinggi di masa itu. Konon, segenggam pala di Pasar Eropa dianggap lebih berharga dari seperti emas. Imperium besar Eropa seperti Spanyol, Inggris, hingga Belanda turut berlomba menguasai Banda.

Ketika VOC berkuasa, masyarakat Banda menolak keras praktik monopoli perdagangan pala. Hal itu berujung pada tragedi kemanusiaan yang mengerikan. Tanggal 8 Mei 1621 menjadi hari memilukan bagi masyarakat Banda. Sebanyak 44 orang kaya Banda dibantai dengan cara dipenggal kepalanya, membelah badannya menjadi empat bagian, dan dipancung dengan bambu. Setelah kejadian itu, pembantaian massal dan perbudakan masih terus berlanjut sepanjang tahun 1621 yang berakibat tewasnya belasan ribu orang Banda.

Terlepas dari segala kisah pilu, Kepulauan Banda menjadi saksi lahirnya pemikiran dan gagasan besar kebangsaan. Di tempat ini, para tokoh besar seperti Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusumasumantri pernah diasingkan. Di sana, Moh. Hatta dan Sjahrir mendirikan sekolah dan secara diam-diam menanamkan pendidikan patriotisme kepada anak-anak setempat. Mereka menjelaskan bahwa para pejuang bangsa seperti Teuku Umar dan Diponegoro adalah pahlawan yang menentang penjajah, bukan pemberontak seperti yang dikatakan Belanda.

Sinematografi menjadi kekuatan utama dalam film ini. Hal ini dapat terlihat dari keindahan pemandangan Banda mulai dari pesisir pantai, perkebunan pala, hingga benteng-benteng Belanda yang disajikan secara apik. Suasana pada film ini juga terlihat nyata dengan potongan-potongan gambar kejadian masa lalu yang dapat menambah wawasan sejarah melalui visualisasi yang menakjubkan. Narasi yang dibacakan dengan puitis pun mampu menyalurkan emosi kepada penonton. Keindahan sinematografi diperkuat dengan harmonisasi musik yang megah, narasi bergaya puitis, serta tempo film yang dinamis membuat film dokumenter berdurasi 94 menit  tersebut jauh dari kesan membosankan dan tentunya sangat memanjakan mata penonton.

Namun, film Banda juga menuai perdebatan terutama mengenai jumlah penduduk asli Banda yang masih hidup pasca perbudakan dan pembantaian massal. Jumlah tersebut dinilai tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya sehingga beberapa pihak mulai mempertanyakan kebenaran dan keaslian data yang disampaikan pada film ini. Kemudian, terdapat beberapa fakta sejarah yang hanya disampaikan sekilas dan tidak ada penjelasan lebih lanjut. Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, seperti bagaimana cara Belanda membantai belasan ribu penduduk Banda? Karena dalam film ini hanya menjelaskan cara pembantaian terhadap 44 orang kaya Banda. Lalu, mengapa Belanda mengasingkan para tokoh nasional di Banda? Bukankah hal tersebut memberi celah untuk masuknya nasionalisme di Banda? Jika dijelaskan secara tuntas, tentunya film ini akan menjadi lebih baik dan dapat menambah bobot sejarahnya.

Secara keseluruhan, film Banda: The Dark Forgotten Trail berhasil mencapai tujuannya untuk mengungkap sejarah yang pernah tercipta di Pulau Banda, yang menjadi salah satu saksi kejayaan Indonesia sekaligus saksi kekejaman kolonialisme Eropa. Film yang dibalut begitu nasionalis ini dapat membangkitkan rasa cinta tanah air. Kepedulian para tokoh nasional pada bidang pendidikan dan penanaman patriotisme pun patut diapresiasi dan dijadikan motivasi bagi generasi penerus bangsa untuk menanamkan kepedulian dan nilai persatuan pada dirinya.

“Jatuh bangunnya negara ini tergantung dari bangsanya sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta”.

Teks: Mala Kharomatul Fadillah
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!