Catatan Kematian

Redaksi Suara Mahasiswa · 7 Januari 2022
3 menit

Kematian tak pernah membuat pengecualian. Itu yang dikatakan semua orang. Dalam cara apa pun, kamu tidak bisa sembunyi. Di hadapannya, kamu harus rendah hati. Terdengar gampang memang jika dikatakan seperti ini. Tapi percayalah, membiarkan kematian masuk di sela-sela kehidupan adalah hal terakhir yang diharapkan semua orang.

Kali ini, kematian datang di sela-sela keluarga itu, keluarga Khairat. Rumah mereka penuh dengan bayangan-bayangan hitam, campuran antara pelayat dan hantu-hantu yang penasaran. Dinding rumah keluarga mereka reyot dan kusam, menyerukan umurnya yang telah lebih dari satu dekade. Saat aku masuk ke sana, debu-debu tipis dari cat rapuhnya menempel ke jubah hitam yang kukenakan. Tak ada yang sadar aku ikut hadir di sini, kedatanganku disambut suara-suara tangis yang bersahutan.

Lalu, aku mendengar dialog antara dua petani tua di sebelahku yang berucap pelan,

“Bagaimana jadinya Bu Khairat saat Bapak sudah tiada? Malangnya wanita tua itu.”

“Kasihan, sih, tapi setidaknya ini bisa jadi pelajaran bagi orang di dusun. Ndak usahlah melawan Londo. Orang kecil seperti kita ini bisa apa toh?”

Aku berdeham, ingin ikut masuk di obrolan mereka. Namun, mereka tampak tidak peduli dan melanjutkan percakapannya.

Gusti, apalah salah seorang petani yang hanya ingin mempertahankan sepetak kecil tanahnya?” ujar seorang ibu yang tampak lebih muda dari kedua petani tadi. Ia menyeka air matanya memakai ujung lengan kebaya coklat lusuhnya. Wajahnya penuh pilu sambil terus menatap jenazah yang dibaringkan di ruang tengah ini.

Saat ingin menawarkan sapu tangan kepadanya, suara nyaring perempuan terdengar membelah tangisan-tangisan kecil di rumah ini.

“Bapak!”

Semua kepala tampak terlalu sibuk untuk menoleh ke arahnya. Anak itu menenteng bakul yang berisi ubi hutan di pundaknya. Kainnya yang acak-acakan membuatku tahu ia berlari terburu-buru ke sini. Ia adalah anak perempuan Pak Khairat. Satu-satunya anak yang dimiliki Pak Tua itu. Langkahnya semakin berat saat mendekati tutupan kain kafan di tengah ruangan. Kemudian, suara tangisnya yang kencang mengudara.

Pelayat lain masih sibuk bersedih sendiri-sendiri, sedangkan anak itu mengguncang-guncang jenazah bapaknya. Memilukan. Pemandangan seperti ini tetap membuat sedih walau bukan yang pertama kalinya buatku.

Aku mencoba mendekati jenazah secara perlahan. Tepat di sebelah anak tadi, Bu Khairat tertunduk membeku. Wajah keriputnya bertambah kusut, dengan sisa-sisa air mata kering di pelupuk matanya. Mungkin sudah terlalu banyak menangis. Aku menepuk pelan pundak wanita tua itu, turut berduka cita. Tapi, ia tetap diam, bergeming.

Lalu, kucoba menepuk pundak anak perempuannya. Untuk kemudian kudapati wajah mungilnya nanar, menatapku balik. Ia tidak mengenalku, tentu saja.

“Siapa kamu?” Kalimatnya yang ingin terdengar galak malah jadi serak dan bergetar karena air matanya.

Aku tersenyum tipis, “Kita sudah bertemu di ladang bapakmu, aku bersama beliau beberapa saat lalu.”

Anak itu masih curiga sambil menyedot ingusnya, “T..t.. terus kenapa kau di sini? Tidak lihat bapakku sudah mati?!” Air matanya mengalir lagi, kali ini lebih deras.

Aku menghela napas, “Bapakmu yang suruh, Cahaya. Sebelum bapakmu mati, dia suruh aku ke tempatmu.”

Kembali tangan kecilnya menyeka air mata yang terus-terus mengalir, “Mau apa kau? Aku ingin di sini dulu. Aku ingin temani bapakku. Hik.”

“Harusnya kau kutemui lebih cepat, tapi di ladang tadi kau lari, makanya aku tahu kau bakal ke rumah ini.”

Tangannya yang mengusap berhenti. Matanya kembali menatapku. “Kau.. Kau tahu aku di ladang saat bapakku tadi..?!” Ia menghentikan sendiri ucapannya. Kali ini sorot matanya horor. Seakan-akan aku mengetahui apa yang tidak seharusnya diketahui.

Mengangguk pelan tapi pasti. Aku menepuk pelan lagi pundaknya, “Itulah sebabnya aku menemuimu dahulu.”

Sepersekian detik, raut mukanya menjadi pucat pasi, seperti kertas putih. Menggeleng-geleng, tangannya menangkup wajahnya sambil menduduk. “Tidak! Kau tahu kan aku tidak sanggup melihat itu, makanya aku lari! Hiks, hiks. Makanya aku lari dan nyasar ke hutan. Aku takut  jadi aku lari...”

Aku hanya mendengar cerocos anak itu setengah karena sisanya tertutup pikiranku yang kembali pada kejadian di ladang siang tadi. Kilasan peristiwa berkelebat seketika. Darah yang menyembul di balik topi tani dan pakaian lusuh. Serdadu-serdadu yang membawa senapan. Langkah kaki berat yang berlarian. Suara letusan…

Terdiam aku memandangi anak ini, yang sudah berhenti bercuap. Hanya ada tatapan pilunya menatap lurus mataku. “Aku benar-benar takut, aku bukannya melarikan diri.” lirihnya.

Kupegang pergelangan tangannya dan kuusap lembut. Berbisik pelan, aku berkata, “Tak ada yang menyalahkanmu di sini. Mau kau berlari atau tidak, toh bapakmu pun masih akan tetap mati.”

Lalu, kulepaskan tangannya, mundur ke sudut ruangan tempat aku pertama kali berdiri. Wajah anak itu mengeras dari kesedihan. Boleh jadi dia membenciku. Boleh jadi dia tidak bisa menerima kenyataan ini. Bagaimanapun itu, memang tak ada yang bisa mengelak dari takdir.

Sama sepertiku, yang hanya bisa mengikuti takdir sebagai penjemput mereka. Di tengah ruang itu, Cahaya belum menyadari bahwa ada dua jenazah yang terbujur kaku. Jenazah bapaknya yang mati ditembak. Kemudian, di sampingnya, ditutupi kain ibunya, jenazah anak perempuan yang jatuh tergelincir di perbukitan.

Teks: Candisa Azzahra (FIB UI)
Ilustrasi: Rizal Taufiqurrafi
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!