Celakanya Punya Rektor Rangkap Jabatan

Redaksi Suara Mahasiswa · 30 Juni 2021
4 menit

Telah diadakan diskusi bertajuk “Jokowi: The King of Lip Service?” pada Selasa (29/06) yang diadakan oleh Greenpeace Indonesia, sebagai respons atas isu panas mengenai unggahan poster kritik terhadap Presiden Jokowi yang dilancarkan oleh BEM UI. Atas unggahan poster kritik tersebut, fungsionaris BEM UI mendapatkan surat undangan dengan keterangan ‘penting dan segera’ dari pihak Rektorat UI pada Minggu (27/06).

Mewakili Aliansi Mahasiswa UGM, Ardhias Nauvaly menjelaskan, “Secara gestur politik kami (Aliansi Mahasiswa UGM -red) pikir itu salah. Semestinya rektorat UI juga melihat dong soal kasus yang sedang berkembang, bahwa BEM UI ini mendapatkan pressure, lalu yang dilakukan bukannya memberi statement melindungi malah memanggil serta menuding bahwa BEM UI ini salah secara kaidah penyampaian pendapat,”

Sependapat dengan Ardhias, Asfinawati sebagai Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa surat pemanggilan oleh rektorat UI tersebut tidak mencerminkan institusi akademis sama sekali. Pemanggilan terhadap para fungsionaris BEM UI dengan cap “darurat” pun menyiratkan adanya relasi kuasa antara pihak kampus dengan mahasiswanya. “Karena ini mahasiswa, kalau mau lulus tergantung kepada kami, terus (mahasiswa -red) dipanggil. Celakanya, kita kemudian tahu, rektor ternyata punya konflik kepentingan,” tambahnya.

Konflik Kepentingan Seorang Ari Kuncoro
Berkaitan dengan adanya dugaan upaya represif yang dilakukan oleh rektorat terhadap BEM UI, bermunculan berbagai spekulasi mengenai kedekatan antara pihak rektorat dengan “orang-orang Istana” yang berimbas pada dibrangusnya kebebasan akademik. Sorotan pun mengarah kepada Ari Kuncoro yang, pada saat ini, juga memangku jabatan sebagai seorang Wakil Komisaris Utama salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI). Fenomena rangkap jabatan seperti yang ditunjukkan Ari berpotensi untuk menimbulkan adanya konflik kepentingan, yang sesungguhnya sudah berusaha diantisipasi sejak 2013 lalu melalui peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia, rektor dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat di BUMN, BUMD, maupun swasta—tetapi entah mengapa, Ari Kuncoro berhasil lolos dari Statuta ini. Tak hanya itu, mungkin tak banyak mahasiswa yang tahu bahwa Ari bahkan sempat menjabat sebagai Satgas Omnibus Law yang mengakselerasi diketoknya undang-undang tersebut. Ketika terjadi konflik kepentingan antara kampus dengan istana, seberapa jauh kita bisa menjamin adanya kebebasan akademik tanpa represi?

Ketika diwawancarai oleh Tempo (28/06), Sigit Riyanto sebagai dosen Fakultas Hukum UGM menyayangkan posisi rektor UI yang juga menjabat sebagai pimpinan BUMN. Ia berkata, “Mereka yang menempati jabatan tertentu, misalnya komisaris BUMN mengorbankan kebebasan akademik,” Menurut pengamatannya, UI mempertaruhkan otonomi kampus dan akademik demi kepentingan segelintir kalangan yang sedang menikmati kekuasaan politik.

Upaya penekanan terhadap kebebasan akademik mungkin bukan cerita baru. Masih hangat dalam ingatan kita, isu mengenai Pakta Integritas mahasiswa baru angkatan 2020 yang terjadi saat Prosesi Pengenalan Kehidupan Kampus (PPKMB) 2020. Terdapat tiga butir poin kontroversial dari total tiga belas poin yang ada. Poin 9 berbunyi, “Siap menjaga kesehatan fisik dan mental serta bertanggung jawab secara pribadi jika di kemudian hari mengalami gangguan kesehatan fisik dan/atau mental.”

Poin 10 berbunyi, “Tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara.” Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet lantaran tidak adanya tolok ukur dari poin ‘mengganggu tatanan akademik dan bernegara’ yang pada akhirnya dapat berujung pada tindakan penjegalan terhadap hak kebebasan akademik yang dimiliki mahasiswa.

Lebih lanjut, Pasal 11 berbunyi, “Tidak melaksanakan dan/atau mengikuti kegiatan yang bersifat kaderisasi/orientasi studi/latihan/pertemuan yang dilakukan sekelompok mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan yang tidak mendapat izin resmi pimpinan fakultas dan/atau pimpinan UI.” Ini berarti, pihak rektorat akan memiliki wewenang untuk membatasi pergerakan kegiatan mahasiswa yang tidak sesuai dengan kepentingan rektorat. Mirisnya, mahasiswa baru UI angkatan 2020 diminta untuk menandatangani Pakta Integritas tersebut di atas materai, secara wajib, tanpa informasi yang memadai mengenai pasal-pasal multitafsir tersebut.

Bentuk pengekangan akademis lain sempat terjadi pada diskusi yang membawa isu Papua bertajuk #PapuanLivesMatter pada Sabtu, 6 Juni 2020. Pihak BEM UI 2020 mendapatkan serangan dari berbagai pihak atas dugaan mendukung separatisme. Namun, lagi-lagi, pihak kampus bersikap lepas tangan, bahkan cenderung “cuci tangan” dengan menyatakan bahwa diskusi tersebut menyalahi tata cara aturan dan menghadirkan pembicara yang tidak layak.

Mengenai konflik kepentingan di dalam kampus, Rocky Gerung menanggapi bahwa kebebasan akademik akan semakin terancam ketika sudah melibatkan kekuatan oligarki di institusi pendidikan. “Ini yang membuat UI juga nggak mampu untuk bersikap kritis terhadap kekuasaan, dia tergantung juga pada CSR oligarki,” tuturnya.

Dihubungi secara terpisah oleh Suara Mahasiswa UI, Shofwan Al Banna sebagai dosen Hubungan Internasional UI berkata, “Institusi kampus harus menunjukkan integritasnya dengan membela kebebasan berpendapat. Ingat motto UI: veritas (kebenaran), probitas (kejujuran), iustitia (keadilan). Sudahkah kampus berpihak pada nilai-nilai itu?”

Semoga saja, motto UI tidak sekadar jadi seonggok tulisan di sudut-sudut UI tanpa pernah berkesempatan masuk ke gedung rektorat.

Sopan Santun dalam Politik, Mungkinkah?
Berbagai serangan yang tertuju pada BEM UI nyaris selalu melibatkan narasi etikal. BEM UI dianggap mengkritik dalam bentuk yang tidak etis, tidak mencerminkan sopan santun sebagai mahasiswa, serta melakukan penghinaan terhadap presiden—yang kemudian dianggap sebagai penghinaan terhadap simbol negara. Ketika dihubungi oleh Detik.com, Amelita Lusiana selaku Kepala Humas dan KIP UI mengatakan, “Hal yang disampaikan BEM UI dalam postingan meme bergambar Presiden Republik Indonesia yang merupakan simbol negara,”

Pernyataan tersebut tak beralasan sebab dalam UUD  46 & UU No.24/2009 presiden bukanlah simbol negara sebagaimana yang dikatakan oleh Amelita. Simbol negara mencakup bendera merah putih, bahasa Indonesia, burung garuda dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Jokowi menyampaikan tanggapannya mengenai kritik BEM UI. Bagi Jokowi, kritik yang diterimanya adalah bentuk dari ekspresi mahasiswa yang boleh-boleh saja diungkapkan. Kendati demikian, Rocky berpendapat, tanggapan yang dikeluarkan oleh Jokowi terkait dengan kritik tersebut mengandung gestur psikologis bahwa presiden tidak secara tulus menerima kritik yang dilancarkan terhadapnya, bahkan berusaha untuk memperingatkan publik secara halus untuk berhati-hati. Hal ini tersirat pada penekanan ucapan Jokowi, ‘boleh mengkritik, tetapi ingat ya ini adalah negara yang ada tata kramanya’.

“Orang yang tersinggung, ingin menyampaikan sesuatu, tetapi mesti dia poles sedikit,” tutur Rocky. Ia berpendapat lebih lanjut, “Tata krama itu antara orang, bukan antara kritikus dengan orang yang dikritik. Bagaimana kita mau kritik kalau dipasang pagar tata krama?”

Asfinawati turut berkomentar mengenai berbagai kritik yang menyatakan bahwa postingan BEM UI tidak etis. “Orang yang mengatakan bahwa lip service yang diungkapkan oleh BEM UI tidak benar, pasti bagian dari kekuasaan. Mereka tidak pernah merasakan aniaya polisi terhadap orang-orang yang aksi, tanahnya dirampas, mengalami berbagai macam penyakit dan tidak punya uang untuk ke rumah sakit karena uangnya diborong oleh koruptor. Apalagi orang-orang yang mengatakan ‘harusnya lebih sopan’, bagaimana kita bisa sopan?,”

Setelah sekian banyak bukti dari matinya demokrasi, seperti yang diungkapkan oleh Asfinawati, apakah kita pada akhirnya lebih mementingkan etiket dibanding etika?

Penulis: Syifa Nadia
Foto: Emir Faritzy
Editor: Faizah Diena


Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!