COP26: Membawa Solusi atau Masalah Baru?

Redaksi Suara Mahasiswa · 1 Desember 2021
5 menit

Jika berbicara mengenai krisis iklim, menurut saya tidak akan ada habisnya, apalagi mengenai pemanasan global yang sudah menumpuk sejak zaman revolusi industri dan terus bertambah. Mungkin dulu kita menganggap memasuki zaman revolusi industri menandakan negara kita akan maju, tetapi kita tak menyadari akibat dari hal tersebut, yaitu suhu Bumi kita yang semakin memanas. Sejak saat itu, media-media sebenarnya sudah berusaha menyuarakan tentang krisis ini, tetapi lagi-lagi kita masih mengabaikannya, mungkin karena pembicaraannya kurang dimengerti orang awam. Lalu, muncullah Protokol Kyoto pada tahun 1997 yang berusaha menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada level yang tidak membahayakan sistem iklim Bumi.

Namun, lagi-lagi, banyak orang masih mengabaikan hal tersebut, meskipun sudah dilakukan advokasi mencegah krisis iklim, mendorong kemajuan energi hijau, tetap saja produk emisi lebih banyak daripada dua puluh tahun sebelumnya. Oleh karena itu, pada 2016, ditandatanganilah Perjanjian Paris yang menetapkan dua derajat sebagai tujuan global pada 2030. Miris, faktanya setelah satu tahun berselang, pada 2017, menurut International Energy Agency, emisi karbon malah naik dan mencapai 1,4 persen dari total emisi karbon global.

Masih terus mencoba, beberapa waktu yang lalu, kembali diadakan pertemuan ke-26 atau Conference of the Parties ke-26 (COP26) yang merupakan lanjutan dari Perjanjian Paris dan menyusun “Paris Rulebook” atau aturan yang diperlukan untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris. COP26 kali ini diadakan di Glasgow, Skotlandia.

Namun, hasil yang didapatkan dalam pertemuan ini memicu kontroversi bagi beberapa pihak. Dalam Pakta Iklim Glasgow menyebutkan, emisi karbon dioksida harus turun 45 persen pada 2030 agar pemanasan global dapat dijaga 1,5 derajat celsius pada 2100 dibandingkan dengan praindustri. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan analisis yang dilakukan Climate Action Tracker, yang mengatakan jika semua negara berhasil memenuhi target pengurangan emisi pada tahun 2100, suhu global sudah naik 2,4 derajat celsius di atas tingkat praindustri. Apa lagi jika mengikuti tren saat ini, suhu akan bertambah menjadi 2,7 derajat celsius. Selain itu, terkait dengan batu bara pun sama, saat keputusan ini hampir mencapai final, China dan India mengajukan keberatan. Mereka meralat draf teks yang sebelumnya “mengakhiri” batu bara menjadi “penurunan bertahap”. Alasan klasik, mereka masih membutuhkan batu bara untuk hal-hal lain (sama seperti “negara” kita).

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai COP26 ini, pertanyaan muncul dari adik saya. Dia bertanya, “Memang apa yang akan terjadi jika suhu Bumi naik terus? 'Kan kalau panas, tinggal nyalain AC saja”. Mungkin, tak sedikit yang pikirannya sama dengan adik saya. Karena angka-angkanya kecil, kita cenderung meremehkan berbagai perbedaan kenaikan suhu Bumi yang ditampilkan di berita—satu, dua, empat, lima. Padahal, kenaikan dua derajat saja dapat memicu hancurnya lapisan es, 400 juta orang akan kekurangan air, kota-kota besar di sekitar khatulistiwa akan menjadi tak layak huni, dan di daerah utara gelombang panas akan menewaskan ribuan orang tiap musim panas. Selain itu, India akan mengalami tiga puluh kali lebih banyak gelombang panas ekstrem dan berlangsung lima kali lebih lama. Kenaikan tiga derajat dapat membuat Eropa Selatan mengalami kekeringan permanen. Daerah yang mengalami kebakaran hutan akan meluas dua kali lipat di kawasan Laut Tengah. Dengan kenaikan suhu empat derajat akan terjadi tambahan delapan juta kasus demam berdarah tiap tahun di Amerika Latin saja, dan krisis pangan global. Memang menyeramkan, tetapi inilah yang akan kita alami apabila kita masih bersantai ria dan tidak berambisi untuk memerangi ini semua. Fun fact sedikit, AC memang bisa membantu mengatasi panas, tetapi AC dan kipas angin saja sudah mengonsumsi 10 persen listrik global, yang tentunya berasal dari energi kotor.

Kembali ke laptop. Lalu, apakah COP26 ini berhasil? Menurut saya, COP kali ini hanya menjadi panggung untuk para pemangku kebijakan saling berlomba-lomba “terlihat peduli” dengan perubahan iklim. Beberapa poin target yang dibicarakan dalam COP26 yang saya tangkap, yaitu janji-janji pemerintah yang mereka katakan akan meningkatkan ambisi menuju net zero emission, tapi fakta berkata sebaliknya. Di Indonesia sendiri, karena bangku pemerintahan kita masih dipenuhi oleh orang-orang dengan kepentingan “tertentu”, mereka pun enggan untuk lebih ambisius dalam menuju energi hijau ini. Berlindung di balik frasa “Biaya yang dibutuhkan besar”, “Siapa yang akan menanggung?”, “Udahlah, yang konkret-konkret saja”. Mereka masih nyaman berbisnis tambang batu bara, tanpa menyadari betapa terpuruknya masyarakat di daerah sekitar tambang.

Oh iya, memang apa sih hubungan memakai batu bara dengan emisi karbon? Pembakaran batu bara menghasilkan lebih banyak karbon dioksida per unit energi yang dihasilkan daripada bahan bakar fosil lainnya. Dibandingkan dengan gas (yang sebagian besar terdiri dari metana dengan senyawa karbon, CH4), batu bara melepaskan 66 persen lebih banyak karbon dioksida per unit energi yang dihasilkan. Nah, tambang batu bara ini melepaskan metana ke atmosfer. Metana itu dua puluh kali lebih kuat daripada karbon dioksida sebagai gas rumah kaca.

Poin kedua, yaitu terkait pendanaan iklim. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, dan daerah lainnya merupakan negara yang terdampak akibat krisis iklim yang tidak terduga. Tahun kemarin, kita mengalami banyak musibah akibat iklim yang berubah-ubah dan diketahui bahwa penyebabnya adalah krisis iklim. Menurut saya, negara-negara adidaya pastinya lebih banyak menghasilkan karbon dioksida daripada negara-negara berkembang, yang imbasnya adalah bencana iklim, dan efeknya lebih terasa bagi negara berkembang dan terbelakang karena tak memiliki fasilitas yang memadai. Oleh karena itu, dalam COP26 kembali diangkat isu mengenai penetapan aturan untuk memperkuat integritas pasar karbon dan mekanisme yang jelas mengenai pelunasan karbon (carbon offset) global dan pembiayaan adaptasi (adaptation fund) yang sangat rendah. Pasar karbon ini bukanlah hal yang solutif untuk menyetop energi kotor batu bara, dan malah terkesan “cuci tangan”, tetapi karena pendanaan itulah yang dapat merestorasi hal-hal yang harus diperbaiki. Namun, untuk pendanaan ini harus kita amati dan kita kritisi agar tak terjadi kecurangan.

Poin terakhir, yaitu kebijakan dan persetujuan terkait perdagangan batu bara. Dapat kita amati komitmen Indonesia: apakah akan ada investasi baru di dunia tambang batu bara? Apakah masih akan dibangun lagi PLTU batu bara baru yang tak memperhatikan AMDAL? Bagaimana regulasi perdagangan karbonnya? Apakah masih akan terjadi deforestasi? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh waktu. Kita sebagai pengamat hanya harus terus mengamati dan bersuara bila pemerintah kita sudah bertindak jauh dari apa yang seharusnya dilakukan.

COP26 ini seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk menggemakan lagi isu krisis iklim yang semakin parah. Bumi kita semakin tua dan rusak karena perbuatan kotor yang dilakukan oleh pemerintah yang tak pernah puas—kita sebagai generasi penerus yang harus menerima ampasnya. Kita diberikan warisan yang sudah rusak. Bagaimana dengan anak cucu kita nanti? Semakin parah. Lalu, sampai kapan kita tetap berdiam, menyaksikan pemerintah kita terus mengotori bumi? Sampai kapan kita mau pura-pura acuh tak acuh dengan keadaan saat ini?

Mulailah sekarang. Kritisi pemerintahan kita. Tunjukkan taring anak muda yang peduli dengan keadaan Bumi kita. Seperti kata Bung Karno, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.”

Teks: Magdalena Handrica
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Referensi:

Andrianto, R. (2021). Cuci Tangan Negara Kaya Terhadap “Kiamat Iklim di Bumi”. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20211118091239-4-292420/cuci-tangan-negara-kaya-terhadap-kiamat-iklim-di-bumi

Asnawi, A, dkk. (2021). Jelang COP26: Menanti Solusi Iklim Serius Bukan Akal-akalan. Mongabay. https://www.mongabay.co.id/2021/10/31/jelang-cop26-menanti-solusi-iklim-serius-bukan-akal-akalan/

Nettleton, Geoff, dkk (2010). Batubara dan Perubahan Iklim. Down to Earth No.85. https://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/batubara-dan-perubahan-iklim

Wallace-Wells, David. (2019). The Uninhabitable Earth. New York: United States of Tim Durgan Books