Covid Tak Terurus, Pilkada Jalan Terus

Redaksi Suara Mahasiswa · 1 November 2020
5 menit

By M. Taufiq Ramadhan

Status darurat Covid-19 tampaknya belum benar-benar terlepas dari Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari semakin meningkatnya penambahan kasus harian Covid-19. Laju pertambahan jumlah kasus kematian yang disebabkan oleh pandemi ini juga belum dapat terbendung. Dikutip dari laman Satuan Tugas Penanganan Covid-19, jumlah penambahan kasus per 13 Oktober 2020 sebanyak 3.906 orang dengan jumlah tambahan kasus kematian sebanyak 92 jiwa.

Meskipun penambahan kasus Covid-19 di Indonesia masih belum menunjukkan tanda-tanda membaik, namun kehidupan masyarakat Indonesia tampaknya sudah berjalan seperti sedia kala. Tanpa disadari, di balik itu ancaman tertularnya Covid-19 masih terus menghantui. Masyarakat saat ini sepertinya sudah acuh tak acuh dengan adanya pandemi. Menurut pengamatan penulis, sebagian besar masyarakat sudah tidak mengindahkan protokol kesehatan dalam melakukan aktivitas sehari-harinya. Peran pemerintah seharusnya menjadi salah satu hal yang sangat dibutuhkan dalam situasi seperti ini.

Pemerintah khususnya pemerintah daerah seharusnya tidak kendor dalam memutus mata rantai virus ini di era yang sering disebut dengan kenormalan baru atau adaptasi kebiasaan baru. Produk kebijakan yang mengikat serta pengawasan terhadap penyelenggaraan kebijakan harus terus digalakkan. Namun, nampaknya Covid-19 di Indonesia kian lama kian tak terurus.

Pemerintah akhir-akhir ini lebih memprioritaskan hal yang dinilai justru menambah peluang peningkatan penambahan kasus pandemi ini di Indonesia. Beberapa program prioritas pemerintah seperti UU Cipta Kerja dan rencana penyelenggaraan Pilkada serentak menuai kontroversi di tengah masyarakat. Polemik UU Cipta Kerja, misalnya, yang telah membuat masyarakat melakukan unjuk rasa besar-besaran dengan masa yang tidak sedikit. Hal tersebut bukan tidak mungkin untuk menambah klaster baru penyebaran Covid-19. Di mana para demonstran kebanyakan tidak menerapkan protokol kesehatan seperti tidak menjaga jarak serta tidak menggunakan masker. Hal seperti ini tentunya tidak akan terjadi jika para pemangku kebijakan bisa menyusun skala prioritas dengan baik.

Pemerintah yang ngotot

Salah satu program prioritas lain dari pemerintah yang tak kalah menghebohkan masyarakat adalah pemerintah yang terkesan ngotot untuk tetap melaksanakan Pilkada serentak di tengah pandemi. Dalam situasi yang belum kondusif ini, DPR dan pemerintah bersepakat untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020 di 270 daerah se-Indonesia. Keputusan ini juga didasari pada Perpu No. 2 Tahun 2020 tentang Pilkada yang telah ditekan oleh Presiden Jokowi. Tentunya hal tersebut disayangkan semua pihak. Pemerintah yang seharusnya fokus memberantas Covid-19 justru lebih memilih untuk membagi konsentrasinya dengan tetap menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi Covid-19.

Pada tahun 2020, terdapat kurang lebih 270 daerah yang terdiri dari 9 Provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, yang akan melakukan pemilihan kepala daerah. Di tengah kondisi pandemi, tentunya menjadi pilihan yang tak mudah.

Memang Indonesia merupakan negara berbentuk Republik yang sangat menjunjung tinggi demokrasi. Namun, dengan diadakannya Pilkada di tengah pandemi dengan semua keterbatasannya akan merusak prinsip demokrasi. Beberapa tantangan klasik yang sering dijumpai pada pelaksanaan Pilkada sebelumnya akan semakin sulit terbendung jika Pilkada akan tetap dilaksanakan di tengah pademi. Persoalan Pilkada antara lain: 1). Politik Transaksional (Money Politics) 2). Kampanye Hitam (black campaign), 3). Netralitas Birokrasi, 4). Netralitas Petugas Pemilu, 5). Kapabilitas peserta dan partai politik pengusung calon, 6). Apatisme masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu, 7). Munculnya konflik horizontal ketika momen penyelenggaraan pemilu.

Tidak hanya itu, kebijakan tentang pemilihan umum secara langsung juga dinilai kurang matang sehingga memunculkan persoalan di lapangan, antara lain: 1). Daftar pemilu belum jelas, 2). Sarana–prasarana dan pengawasan tidak memadai, 3). Pengiriman logistik pemilu sering terlambat, 4). Psikologi calon dan pendukung tidak siap, 5). Sosialisasi tidak maksimal, 6). KPU belum berpengalaman.

Bayangkan jika masalah-masalah klasik di atas semakin menjadi jika pilkada tetap terlaksana saat Covid-19 masih merajalela. Produk yang dihasilkan pun tentunya tidak lagi murni. Para birokrat yang memiliki jabatan seharusnya membuat regulasi yang benar-benar dapat melindungi segenap lapisan masyarakat. Segala bentuk kebijakan yang akan diterbitkan hendaknya mempertimbangkan aspek kesehatan dalam hal ini resiko penularan Covid-19. Jangan sampai karena kebijakan yang dikeluarkan pemerintah malah akan menambah klaster baru penularan Covid-19. Hal tersebut tentunya sesuatu yang tidak diinginkan semua pihak.

Solusi agar Pilkada dapat berjalan

Agar Pilkada 2020 tetap berjalan, penulis mempunyai beberapa usulan cara untuk bisa meminimalisir penularan Covid-19. Cara pertama yang penulis nilai sangat ampuh adalah mengubah sistem penyelenggaraan Pilkada. Pada Pilkada di tengah pandemi hendaknya tidak lagi menggunakan sistem lama, di mana para pemilih datang dan memilih langsung di bilik suara yang terdapat di TPS setempat. Namun, perlu adanya reformasi birokrasi. Yaitu sistem Pilkada diubah menjadi sistem daring. Disinilah peran tenaga administrasi publik dibutuhkan. Di mana para tenaga administrasi publik yang berkompeten di bidangnya membuat aplikasi elektronik.  pemilih cukup memilih calon kepala daerahnya di rumah melalui gawai yang mereka miliki. Dengan itu, tidak akan terjadi penularan Covid-19.

E-voting memiliki potensi untuk tidak hanya memoderenisasi proses pemilu tetapi juga untuk meningkatkan interaksi antara warga negara dan pemerintah, melalui kanal e-partisipasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Langkah-langkah keamanan yang canggih harus dikedepankan untuk mengatasi kekurangan e-voting, transparansi yang melekat dan untuk meningkatkan kepercayaan pada sistem baru untuk kedua pemilih dan otoritas pemilu.[5]

Salah satu sistem e-voting yaitu Internet  ll site voting. Pada jenis ini, internet digunakan untuk mengirim data dari tempat pemungutan suara (TPS) kepada otoritas penyelenggara pemilu lokal, regional, dan pusat. Jenis voting ini bekerja pada komputer publik dan sama dengan sistem voting dengan menggunakan mesin. Koneksi dari TPS kepada kantor pusat penyelenggaraan Pemilu kebanyakan menggunakan Internet.[6] E-voting jenis ini sendiri telah sukses terselenggara di berbagai negara, seperti Australia, Austria, Kanada, Estonia, Prancis, Jepang, Swiss. Namun, hal ini perlu persiapan yang matang. Selain harus melakukan sosialisasi terlebih dahulu mengenai tata cara penggunaan aplikasi tersebut, pemerintah juga harus melakukan uji coba. Hal lain yang harus dipersiapkan dengan matang adalah kemungkinan terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan pemilu online. Karena berbasis online, data-data yang ada sangat rawan dimanipulasi oleh hacker.

Cara kedua yang dapat dilakukan adalah dengan tetap mengubah sistem pelaksanaan Pilkada. Pemilih tetap harus berada di rumah saat memilih calon kepala daerahnya. Para petugas TPS setempat lah yang harus berkeliling dari rumah ke rumah untuk memungut suara rakyat. Namun petugas TPS tetap harus menggunakan alat pelindung diri dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Pemilih di rumah juga demikian tetap harus menerapkan protokol kesehatan saat petugas datang ke rumah, yaitu dengan memakai masker, menjaga jarak, dan mensterilkan ruangan dengan cairan desinfektan sebelum serta setelah petugas datang. Dengan cara demikian, potensi penularan Covid-19 pada pelaksanaan pemilu akan kecil kemungkinannya.

Cara ketiga yang bisa dijadikan opsi terakhir adalah dengan tetap menggunakan sistem pemilu lama yaitu para pemilih datang langsung ke TPS untuk memilih calon kepala daerahnya di dalam bilik suara. Namun harus diikuti dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. Pemilih dan petugas harus dipastikan menggunakan alat pelindung diri seperti sekurang-kurangnya menggunakan masker dan face shield. Selanjutnya jumlah pemilih yang datang ke TPS juga harus dibatasi. Dalam hal ini jika jumlah pemilih terlalu banyak, penyelenggaraan pemilu bisa dilakukan lebih dari satu hari menyesuaikan jumlah pemilih pada masing-masing daerah. Hal ini untuk menghindari terjadinya kerumunan di TPS. Sebagai contoh negara Singapura yang telah melaksanakan pemilu di tengah pandemi dengan protokol kesehatan yang sangat ketat.

Demikian berbagai tantangan yang akan dihadapi jika pilkada masih tetap digelar di tengah wabah. Persiapan yang matang merupakan suatu yang tidak bisa ditawar lagi mengingat penambahan kasus Covid-19 di Indonesia masih terus naik. Namun di sisi lain upaya pemerintah yang sangat menjunjung tinggi demokrasi patut diapresiasi dengan tidak menunda pelaksanaan Pilkada. Jika pemerintah sangat optimis Pilkada 2020 bisa sukses terselenggara saat pandemi, tentunya juga harus dibarengi dengan usaha serta persiapan dari jauh-jauh hari. Seperti memikirkan sistem pelaksanaannya, mengadakan sosialisasi kepada masyarakat serta melakukan uji coba, agar asas demokrasi tidak ternodai karena banyak masyarakat yang nantinya lebih memilih untuk golput. Serta yang paling ditakutkan ialah setelah diadakannya pilkada serentak ini justru malah menambah klaster baru kasus Covid-19 di Indonesia.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor eksternal dan belum tentu mencerminkan sikap redaksi Pers Suara Mahasiswa UI 2020.

Daftar Pustaka

Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Republik Indonesia. Dari https://bnpb-inacovid19.hub.arcgis.com/ dikutip 13 oktober 2020 pukul 16:50

Yusuf Adam Hilman dkk. Peta Politik Pemilukada Kabupaten Ponorogo 2020 di Tengah Pandemi COVID-19. POLITICON : Jurnal Ilmu Politik Vol.2 No.2, ISSN : 2685-6670, 2020. Hal.139

Rahmatunnisa, mengapa Integritas Pemilu Penting? Bawaslu, 2017. Hal.1 - 12.

Hikmat, Pemetaan masalah dan Solusi Konflik lokal dalam Pilkada Langsung di Indonesia. Mimbar, 2014m hal.18 - 27.

Muhammad Habibi, Dinamika Implementasi E-Voting di Berbagai Negara, 2018. http://doi.org/10.5281/zenodo.129

Kersting, N., & Baldersheim, H. (2004). Electronic Voting and Democracy.https://doi.org/10.1057/9780230523531