Kompilasi Sajak oleh F. Abimanyu, FIB UI
DI UJUNG
Aku tinggal di kota dengan stasiun kereta di ujung rute, dan aku benci saat kereta yang aku naiki berhenti (karena kota itu tujuan akhir). Biasanya aku bisa turut mengamini bahwa ya, baik, ini tujuanku. Aku pulang ke sini. Mungkin sudah layak untuk turun. Jadi di hari-hari yang lalu, aku turun seperti biasa.
Tapi tidak begitu hari ini. Tidak ada tujuan. Rumah tidak ada lagi (walau memang sudah tidak ada sejak beberapa tahun yang lalu). Tetapi kereta ini tetap berhenti, karena mana peduli dia sama rumahku? Jadi sama seperti hari-hari yang lalu, aku turun, walaupun lebih berat.
Padahal sebelumnya aku berharap, kereta yang satu ini tidak berhenti. Biar jalan terus saja, supaya aku bisa merasa bergerak cepat dalam hidup yang pelan (apabila aku sedang merasa sakit, hidup terasa sangat pelan). Tetapi kereta ini tetap berhenti, karena mana peduli dia dengan rasa sakitku? Jadi aku turun dan terpaksa diam.
Jadi aku turun, dan terpaksa diam. Kenapa kalau diam rasa sakitnya malah jalan? Aku harap aku bisa bergerak terus. Coba ada satu kereta yang terus bergerak tanpa henti, karena tidak ada tujuannya. Atau mungkin bisa juga ada tujuannya, tapi tujuannya jauh… sangat jauh. Apa ya tujuan yang jauh itu? Apakah ideal-ideal dalam benakku yang kelewat romantis tentang hidup?
Atau bisa jadi, tujuannya malah mungkin belum tahu apa atau kemana, yang penting itu bukan alasan untuk diam – kereta harus bergerak terus.
Tidak apa-apa kalau begitu, hidupku juga begitu kok! Kalau orang-orang tanya,
“Abi, cita-citanya apa?
“Manunggaling kawula Gusti!”
Semoga aku tidak berakhir seperti Syekh Djenar. Soalnya, aku masih mau naik kereta.
- 19 Januari 2021
MENJADI PESAN
Aku rasa,
inilah penghujungnya. Aku tamat baca Chairil,
hatiku ditodong bedil,
dadaku kopong. Hujan lalu air menggenang,
sofa itu kosong. Tidak ada aku atau kamu
sayang.
Aku bisa saja duduk manis,
tentu hatiku tidak mau, tidak betah seperti
di antara dua garis
—kehidupan. Mungkin lebih baik aku nonton
film “apa aku telepon kamu sampai malem?”
- 12 Februari 2021
MENYEBERANG BERANDA
Secepat rubah mencuri makan,
aku berada jauh dari pekarangan.
Di hadapanku suci,
mengkontraskan dosa daging,
aku merasa sangat jauh
dari apapun yang aku
- 14 Februari 2021
MENJATUHKAN SPASI
Aku ternyata
sendiri,
jauh
—lebih sendiri
- 15 Februari 2021
TAMU, NAMA & PETAK UMPET
Ternyata ada harapan! Di sana ada jendela yang membiarkan sinar surya menjadi tamu bersama gumpalan awan yang dinamis tapi semu.
—betapa hangatnya pelukan tamu itu membawa hari-hari musim semi pada kelut di diri daku.
Cinta datang atas nama (aku telah menghapusnya, aku?)* dan aku akan mengambil itu nama.
Ya Allah, biarkan tamu ini menjadi baik seperti mereka yang datang pada Abraham dan Sara.
*Orang kudus dari Mantua. Ataukah seharusnya aku? - 16 Februari 2021
Data Diri Penulis
F. Abimanyu menulis sebagai tanda eksistensi duniawinya. Dia adalah seorang mahasiswa yang mendalami Ilmu Filsafat angkatan masuk tahun 2020. Dia juga ingin banyak berterima kasih kepada Husni dan Nada yang sudah membantunya melahirkan, mengurasi, dan menyunting kompilasi sajak ini.