Darurat Pers Indonesia

Redaksi Suara Mahasiswa · 26 November 2024
4 menit

Di tengah hiruk-pikuk glorifikasi pers di Indonesia, tampaknya banyak yang lupa  bahwa idealisme jurnalistik sering kali berakhir sebagai suatu ironi. Misi suci mereka  sebagai penjaga demokrasi dan penyambung suara kelompok-kelompok marginal dalam  perwujudannya masih begitu nihil.

Dalam konteks elektoral, alih-alih memberikan informasi yang mencerahkan masyarakat, peran pers yang diharapkan sebagai pengawas kekuasaan (watchdog) kerap bermuara pada fungsinya sebagai alat  propaganda yang memoles citra para elite. Hal ini sering terjadi menjelang maupun saat pelaksanaan kontestasi pemilihan,  baik itu pemilu atau pilkada, di mana pers beserta kebesaran medianya melakukan upaya propaganda, memengaruhi opini publik dalam kepentingan ekonomi dan politiknya.

Kondisi pers dan media yang kontradiktif terhadap demokrasi digital ini tentu saja  bukan konstruksi yang turun dari langit. Namun, ada kekuatan-kekuatan yang kemudian membentuk dan mempolitisasi media demi suatu kepentingan tertentu.

Dalam  pandangan Chomsky (2010), media massa beroperasi di bawah struktur ekonomi di mana kepemilikan terkonsentrasi di tangan beberapa korporasi besar yang memiliki kepentingan bisnis dan politik.

Kepemilikan media yang terkonsentrasi di tangan korporasi menciptakan sebuah sistem di  mana berita atau informasi disaring dan dipilih untuk melayani agenda elite, bukan untuk mengungkap kebenaran atau menyajikan perspektif alternatif terhadap masyarakat. Bias ini diperkuat dengan adanya kebutuhan modal dan pendanaan yang kerap bergantung pada iklan dan sumber lainnya.

Dalam kondisi semacam ini, media massa secara aktif memproduksi “konsensus”  publik untuk kebijakan yang menguntungkan kelompok elite, sekaligus meredam kritik dan membatasi wacana alternatif. Politisasi media juga memperkuat struktur  kekuasaan yang ada. Media lantas menjadi arena di mana informasi diatur untuk mendukung kepentingan yang sudah mapan dan mengabaikan suara-suara yang mungkin menantang status quo.

Sederhananya, menurut Chomsky, media massa tidak berfungsi sebagai penjaga objektivitas dan kebenaran informasi, melainkan sebagai alat propaganda yang dioperasikan untuk mendukung kepentingan ekonomi dan politik dominan.

Tidak mengherankan jika dalam momentum pesta demokrasi—pemilu dan  pilkada, pers dan media menunjukkan ketidaknetralan dan bias politiknya. Terlebih lagi, era demokrasi digital saat ini memperkuat posisi pers dan media dalam memberikan pengaruh terhadap masyarakat.

Darurat atas independensi pers dapat dilihat dari rilis berita Dewan Pers tahun 2018 yang menunjukkan bahwa independensi media massa nasional bermasalah. Pengamatan terhadap performa media selama berbagai pemilu—termasuk Pemilu Tahun 1999, 2004, 2009, 2014, serta Pilgub DKI Jakarta 2017—menunjukkan bahwa selain adanya media independen, terdapat juga media partisan yang pemiliknya terlibat langsung sebagai kontestan pemilu.

Selain itu, sekitar 80% dari 2.000 media cetak dan hampir 99% dari 43.300 media daring tidak memenuhi ketentuan UU No. 40/1999 tentang Pers. Banyak di antara media ini adalah media tidak resmi, beroperasi tanpa mematuhi UU Pers, dan terlibat dalam praktik "jurnalisme kuda". Media semacam ini siap menyebarkan konten kampanye sesuai dengan permintaan "penunggang kuda", termasuk berita hoax, kebencian, fitnah, dan informasi palsu, tentunya dengan imbalan tertentu (dewanpers.or.id).

Penggunaan media sebagai mesin politik persis tergambar pada ucapan Surya Paloh  dahulu:

“Secara jujur harus saya akui bahwa saya menggunakan Metro TV dan Media  Indonesia. Kalau tidak, apalagi yang bisa saya gunakan? Kalau ada wartawan  yang tak senang, ya, salah sendiri mengapa dia menjadi wartawan di Metro  TV atau Media Indonesia. Saya tak ingin jadi hipokrit.” (Sylvietanaga, 2018)

Dalam konteks pemilu atau pilkada, media cenderung memberikan panggung lebih  besar kepada kandidat atau partai politik yang sejalan dengan kepentingan pemilik modal dan  elite ekonomi yang mengendalikan media tersebut.

Melalui mekanisme framing, media dapat  membingkai isu-isu tertentu dengan cara  yang menguntungkan calon tertentu sembari mendiskreditkan lawan politik mereka. Selain  itu, media cenderung mengadopsi narasi yang mendukung status quo dan menyaring berita  atau analisis kritis yang mungkin memberikan perspektif alternatif kepada publik.

Sebagai  contoh, media dapat memperbesar isu-isu negatif terkait kandidat tertentu yang dianggap mengancam kepentingan ekonomi dominan. Sementara pada saat yang sama, media mengabaikan skandal atau kegagalan kandidat yang lebih disukai oleh elite. Hal ini membuat pemilih dihadapkan pada pilihan yang terbatas sebab narasi telah dikurasi sedemikian rupa. Dampaknya, ruang untuk debat substantif dan informasi yang berimbang menjadi sangat terbatas.

Dalam kerangka pemilu, media massa bukanlah arena netral, melainkan aktor aktif yang membentuk dan mengarahkan perilaku politik masyarakat sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Mempersempit demokrasi menjadi ritual yang dikendalikan oleh mereka yang memiliki akses terhadap media dan kekayaan.

Setidaknya di Indonesia sendiri, lanskap media didominasi oleh delapan konglomerat. Mulai dari Chairul Tanjung (Trans Corporation), Hary Tanoesoedibjo (Global Mediacom), Eddy  Sariaatmadja (Emtek), keluarga Bakrie (Visi Media Asia), Surya Paloh (Media Group), James  Riady (BeritaSatu), Dahlan Iskan (Jawa Pos), hingga Jacob Oetama (Kompas Gramedia) (Tapsell,  2018).

Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa ketika kekuatan oligarki media  meningkat, para pemilik media cenderung terjun ke arena politik dengan menggunakan  medianya sebagai senjata utama. Kondisi ini menjadi lebih mengkhawatirkan ketika mereka  memiliki stasiun televisi yang memberikan pengaruh dan jangkauan yang lebih besar dalam  memanipulasi opini publik (theconversation.com).

Masifnya kepentingan politik dan ekonomi dalam kehidupan jurnalistik dan media di  Indonesia sudah pasti memposisikan masyarakat sebagai korban. Dalam momentum kampanye  misalnya, media massa mengambil peran yang begitu besar dalam membentuk penilaian publik terhadap calon-calon yang maju dalam arena kontestasi. Pendidikan dan literasi masyarakat yang rendah turut memudahkan penguasa media, dengan segala perlengkapannya, “menggoreng” masyarakat sesuai keinginannya.

Di sisi lain, para jurnalis yang masih memiliki idealisme juga terjebak dalam jeratan kepentingan ekonomi politik media. Mereka tidak bisa berbuat terlalu banyak selain mengikuti kemauan dan perintah dari pemilik media tersebut.

Lantas, masihkah kita bisa berharap pada pers dan media saat ini?

Teks: Chaerunnisa (Universitas Negeri Yogyakarta)

Editor: Siti Aura

Referensi

Chomsky, N., & Herman, E. S. (1988). Manufacturing consent: The political economy of the  mass media. Pantheon Books.

https://dewanpers.or.id/publikasi/opini_detail/165/Independensi_Media_Merupakan_Keharus an

https://sylvietanaga.wordpress.com/2018/12/10/resensi-buku-kuasa-media-di-indonesia/

https://theconversation.com/oligarki-media-dan-bagaimana-dia-menentukan-arah pemberitaan-86639

Pers Suara Mahasiswa UI 2024

Independen, Lugas, dan Berkualitas!