Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, hadir sebagai pembicara dalam kuliah umum bertajuk “Nilai-nilai Budaya dan Tata Kelola Pemerintah” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) pada Selasa (27/05).
Acara ini merupakan bagian dari Leaders Lecture Series on Human (LeLeSH), sebuah program yang menghubungkan nilai-nilai budaya dengan praktik kepemimpinan dan kebijakan publik di Indonesia.
Dalam pemaparannya, Dedi menekankan pentingnya pelibatan nilai-nilai budaya lokal dalam tata kelola pemerintahan. Ia menyatakan bahwa budaya bukan sekadar identitas masyarakat, tetapi juga dapat dijadikan dasar dalam perumusan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan karakter wilayah, sehingga mempererat hubungan antara pemerintah dan rakyat.
Kuliah umum yang berlangsung di Auditorium Gedung IX FIB UI ini dimoderatori oleh Dr. Munawar Holil, salah satu dosen Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa. Peserta yang hadir berasal dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, dosen, hingga masyarakat umum.
Candaan Bernuansa Seksis Tuai Kecaman
Awalnya, Dedi membahas konsep “Mother Earth” atau Ibu Pertiwi sebagai dasar nilai budaya bangsa. Ia memandang bahwa kebanggaan terhadap budaya lokal, khususnya budaya Sunda merupakan salah satu kunci dalam pembangunan di Jawa Barat.
Di sisi lain, Dedi juga mengkritik kalangan akademis yang terlalu mengandalkan pendekatan luar, seperti filsafat Yunani. Menurutnya, pendekatan semacam itu belum tentu relevan dengan konteks Indonesia. Ia menegaskan bahwa pembelajaran tentang wilayah sendiri seharusnya berakar pada nilai-nilai leluhur, sementara tugas generasi kini adalah menyempurnakan kekurangannya.
“Pendekatan plato belum tentu cocok diterapkan di Garut. Berguru itu harus kepada orang yang sudah meletakkan kerangka dasar disini, kita tinggal menyempurnakan apa yang menjadi kelemahan leluhur kita,” tuturnya.
Ia juga menyampaikan pandangannya bahwa kekayaan budaya sebaiknya tidak dipamerkan secara berlebihan karena berisiko tidak dihargai oleh pihak lain. Sayangnya, penyampaian yang semula bertujuan menegaskan pentingnya budaya lokal dalam pembangunan berubah kontroversial ketika Dedi menggunakan analogi bermuatan seksis dan terkesan negatif terhadap perempuan.
“Semakin perempuan, mangga berade [silakan bagi yang mau], murah. Itu bisa saya tau tarifnya. Itu kebudayaan. Kalo mangga baradenya jam 8 itu 250. Kalo mangga barade nya jam 10 itu 200. Kalo mangga berate nya jam 12 itu 150. Kalo jam 2, itu gocap,” ujar Dedi.
Pernyataan ini memicu gelombang protes, khususnya dari kalangan mahasiswa. Banyak yang menilai analogi tersebut tidak pantas disampaikan dalam ruang akademik, terlebih karena bernuansa seksis dan merendahkan perempuan. Kekecewaan juga diarahkan pada sebagian audiens yang menanggapinya dengan tawa, bukan sikap kritis.
Di samping itu, sejumlah peserta menyoroti pendekatan Dedi yang dinilai etnosentris. Meskipun mengedepankan pentingnya budaya lokal, fokusnya hanya tertuju pada budaya Sunda, tanpa mengakomodasi keberagaman budaya lain yang juga ada di Jawa Barat. Padahal, provinsi ini dihuni oleh masyarakat dari berbagai latar belakang etnis dan budaya.
Ketimpangan representasi budaya ini menimbulkan pertanyaan: di mana letak semangat kebhinekaan dalam diskusi tentang kebudayaan dan kepemimpinan publik?
Teks: Vania Shaqila, Zulianikha Salsabila Putri
Editor: Dela Srilestari
Foto: Tribun Bengkulu
Desain: Naila Shafa Zarfani
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!