Dekolonisasi Penulisan Sejarah Indonesia

Redaksi Suara Mahasiswa · 3 Maret 2023
7 menit

Ketika saya belajar sejarah di Sekolah Menengah, “Kolonialisme” menjadi satu kata kunci yang akan selalu ada dalam materi pengajaran. Setidaknya dari awal bab terkait masa kedatangan bangsa asing di kepulauan Nusantara hingga ujung bab Perang Kemerdekaan Indonesia akan selalu menyebut kata “Kolonialisme” di dalam materinya. Ketika saya mencapai bangku perkuliahan, tiba-tiba kata “Kolonialisme” seakan-akan memiliki banyak saudara kandung: Koloni, Kolonisasi, Neokolonialisme, Poskolonialisme, dan Dekolonisasi.

Barisan kata-kata ini rutin mampir dalam pikiran saya setiap hari, baik dalam angkutan umum, di kantin fakultas maupun di ruang kelas. Kata-kata itu kerap pula berkelindan dengan informasi-informasi terbaru mengenai “keadaan bangsa”: Bahwa sebuah kekuatan asing sedang bersiap menjajah Indonesia (kembali); “Hutang budi” Indonesia pada kolonialisme Belanda; Apakah panjang penjajahan Belanda benar-benar 350 tahun atau hanya 40 tahun; Apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka dari penjajahan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dan seterusnya.

Permasalahan ini sebenarnya menunjukkan bahwa muncul kepedulian masyarakat terkait realisasi gagasan ideal Indonesia pascakemerdekaan pada masa kini. Namun, perkara-perkara terkait “siapa yang paling berjasa dalam pendirian Republik Indonesia” dan debat usang mengenai sektarianisme dalam politik selalu mewarnai perkara-perkara sosial dan politik tanpa ada ujungnya. Lantas, mengapa seakan-akan kemerdekaan selalu dipandang sebagai buah usaha ekslusif dari sebagian kelompok politik maupun sosial di Indonesia? Apa yang salah dalam penulisan sejarah di Indonesia terkait perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia?

Kolonialisme, Poskolonialisme, Dekolonisasi

Jejak sistem kolonialisme dalam masyarakat Indonesia jelas masih terasa dan akan terus menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, baik disadari maupun tidak. Jejak-jejak Kolonialisme itu disertai pula dengan semua permasalahan yang menyertainya.

Kita bisa mengambil studi kasus etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia. Mengapa masyarakat Tionghoa berkaitan erat dengan kegiatan ekonomi (dan makmur karena itu)? Ternyata ada kaitanya dengan stratifikasi sosial masyarakat koloni di Hindia Belanda yang terbagi menjadi tiga kelas sosial berdasarkan etnis. Pada masa Kolonial, dikarenakan kelompok Vreemde Oosterlingen—timur asing—memiliki status politik lebih tinggi dari Inlander—bumiputera—maka mereka mendapatkan keleluasaan yang lebih dalam berbagai bidang,[1] dalam kasus ini masyarakat Tionghoa yang memang kerap kali dilibatkan dalam pengelolaan ekonomi oleh pemerintah Kolonial. Hal ini membuat secara otomatis posisi ekonomi mereka menjadi jauh lebih makmur.

Kecemburuan sosial yang timbul terhadap status orang Tionghoa, serta kecenderungan menutup diri komunitas Tionghoa memicu sikap tidak bersahabat dari kelompok bumiputera terhadap mereka. Hal ini yang terus mendorong sikap xenophobia di Indonesia, dimana contoh terbaik selain peristiwa Geger Pecinan pada 1740 adalah kekerasan terhadap Tionghoa masa Kemerdekaan.

Beberapa bulan pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ketegangan sosial yang diakibatkan kedatangan kembali pemerintah kolonial Belanda di pengasingan, NICA, yang menyertai tentara Inggris ke Indonesia memicu sebuah periode singkat konflik sosial dan gelombang kekerasan di Jawa dan Sumatera yang dalam historiografi Belanda disebut sebagai Bersiaptijd.[2] Terlepas dari kontroversi atas periodisasi (dan istilah) yang dinilai merendahkan ini[3], konflik sosial yang pecah pada masa Bersiaptijd sebenarnya memiliki akar yang panjang hingga sebelum Pendudukan Jepang di kepulauan Indonesia pada 1942: Kecemburuan sosial, diskriminasi struktural komunitas kulit putih terhadap bumiputera, posisi Timur Asing—terutama Tionghoa—yang dianggap bukan bagian dari masyarakat Bumiputera, dan ketakutan akan dikembalikannya sistem kolonial yang diskriminatif mengakibatkan pecahnya konflik hampir secara spontan.  Dalam gelombang-gelombang kekerasan semasa Bersiaptijd, etnis Tionghoa juga menjadi sasaran utama kekerasan. Pola semacam ini terus terlihat dalam berbagai krisis politik di Indonesia setelahnya, baik pada 1965 maupun pada 1998.[4]

Masalah mengenai posisi rentan masyarakat Tionghoa hanya menjadi satu dari beragam permasalahan lain yang akarnya sudah lahir (dan terus berlanjut setelahnya) sejak masa Kolonial. Permasalahan-permasalahan lain seperti korupsi, permasalahan reforma agraria, ketimpangan sosial, politik dinasti dan belum berkembangnya ilmu pengetahuan di Indonesia yang bisa bersifat independen dari kekuasaan juga menjadi persoalan-persoalan yang terus nampak di Indonesia hingga saat ini.

Dekolonisasi Penulisan Sejarah di Indonesia: Sebuah contoh Dekolonisasi

Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, secara simbolik rantai kolonialisme yang dibangun oleh pemerintahan Belanda selama berabad-abad dianggap telah terputus. Proklamasi menutup masa kolonialisme di Indonesia, dan membuka masa poskolonial bagi bangsa Indonesia. Sebagai dampak upaya memutus diri dari cengkeraman penjajahan Belanda kembali pasca Proklamasi, maka terjadilah dekolonisasi.

Dalam bukunya, The Postcolonial Studies Dictionary, Pramod K. Nayar mendeskripsikan Dekolonisasi sebagai sebuah proses yang meliputi baik melonggarnya hubungan kolonial dan/maupun kontrol dari bangsa-bangsa Eropa terhadap wilayah jajahan mereka, baik di belahan bumi Utara maupun Selatan.[5]
Dekolonisasi berkaitan erat dengan sebuah keadaan lain, yakni Poskolonialitas.

Poskolonialitas diartikan sebagai konteks kondisi dan konteks materil—baik bidang ekonomi, politik, geografi dan sosial—dari negara-negara yang merdeka dari kekuasaan kolonial negara-negara Eropa yang dulu menjajah mereka. Poskolonialitas merujuk pada kondisi, sementara Poskolonialisme merujuk pada metodologi untuk menguji dan menginterpretasi dampak penjajahan bangsa-bangsa Eropa pada negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin.[6]

Ada banyak cara melangsungkan dekolonisasi. Penerapan  dekolonisasi yang paling dekat dan berdampak bagi komunitas akademik adalah dekolonisasi pengetahuan (Decolonization of Knowledge). Bagi rumpun ilmu Sosial-Humaniora, dekolonisasi pengetahuan sangat berpengaruh pada penelitian-penelitian kontemporer, meskipun upaya dekolonisasi semacam ini juga mulai dilangsungkan pada rumpun ilmu lain.

Secara ringkas, dekolonisiasi pengetahuan artinya upaya untuk menerapkan dekolonisasi dalam bidang ilmu pengetahuan. Lebih utamanya,  bagaimana pengetahuan diinterpetasi ulang dalam rangka memperkecil pengaruh kolonialisme dalam metodologinya dan teorinya. Hal ini berkaitan dengan kuatnya ikatan antara ilmu pengetahuan modern dengan praktik kolonialisme di masa lalu.  Dalam kasus Indonesia, sejak 1900 M, telah muncul generasi-generasi baru dari kaum elit bumiputera Indonesia, yakni kaum terpelajar yang pernah mengenyam pendidikan Eropa.

Hal ini berakar dari penerapan kebijakan edukasi dari Politik Etis. Politik Etis sendiri adalah wujud penerapan Mission Civilisatrice kerajaan Belanda pada daerah Koloni, dimana bangsa Belanda merasa bahwa adalah kewajiban bagi Belanda untuk “memeradabkan” bangsa-bangsa di Hindia Belanda, dalam kasus ini mengenalkan modernisasi, sebagai “balas jasa” atas praktik eksploitasi semasa Tanam Paksa.

Politik Etis tidak saja membangun konstruksi sosial modern dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda lewat infrastruktur, pendidikan dan birokrasi—keberadaan semua hal tersebut ikut membentuk pola pikir yang terbatas pada subyek koloni bahwa masyarakat Bumiputera tidak akan bisa menjadi sama derajatnya dengan bangsa Eropa, baik dalam status maupun kemampuan. Produk historiografi kolonial juga menekankan inferioritas tersebut, dimana peranan Belanda ditonjolkan sementara kekuasaan-kekuasaan lokal di Nusantara dikesampingkan.

Dalam praktik penyusunan periodiasi Sejarah Nasional Indonesia, hal tersebut berusaha diubah. Sudut pandang penelitian sejarah kemudian bergeser dari sudut pandang yang berpusat di Belanda menjadi berpusat pada masyarakat Indonesia, dimana ujung formalnya adalah Sejarah Nasional Indonesia yang berjumlah tujuh jilid. Dalam penulisan sejarah nasional, komunitas akademik sejarah di Indonesia masih menganut dengan apa yang disebut sebagai The Big Man Theory.  Oleh karena itu nama-nama besar selalu menceritakan narasi-narasi besar—dan semangat yang besar pula—dalam rangka membingkai sejarah nasional Indonesia sebagai sebuah usaha merdeka dari hegemoni bangsa asing, dalam kasus ini Belanda.[7]

Tujuan mulia ini utamanya berusaha untuk membentuk satu buah narasi besar bahwa Nasionalisme Indonesia adalah nilai-nilai luhur yang sudah tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia sendiri, dan puncak perjuangan menegakkan kebangsaan Indonesia yang merdeka itu ialah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus.

Keberadaan tokoh-tokoh nasional dan pahlawan-pahlawan nasional dari berbagai daerah dan kelompok sosial dan politik menunjukkan bahwa jiwa merdeka bangsa Indonesia memiliki bukti-bukti konkret sekaligus menjadi sebuah modal simbolis.[8] Walaupun tetap muncul perbedaan pendapat mengenai pendekatan sejarah Indonesia saat ini, termasuk peranan buku Sejarah Nasional Indonesia sebagai alat poltik suatu rezim tertentu[9], namun harus diapresiasi bahwa penyusunan Sejarah Nasional Indonesia berhasil menunjukkan adanya kemajuan dalam dekolonisasi penulisan sejarah di Indonesia, setidaknya sebagai batu pondasi bagi penulisan historiografi Indonesia berikutnya.

Dekolonisasi pengetahuan di Indonesia sejauh ini sudah dimulai dalam berbagai bidang, namun tuntutan zaman perubahan masyarakat menuntut dioptimalkannya proses dekolonisasi tersebut agar dapat berkembang menjadi ilmu yang lebih mutakhir. Adalah benar bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam penulisan sejarah di Indonesia, baik terkait perkara keterwakilan kelompok, sudut pandang, dan juga relevansinya dalam masyarakat.

Pendapat-pendapat akan pendekatan sejarah yang bukan Jawasentris sangat penting untuk menghindari sudut pandang “Imperialisme Majapahit Baru” [10], begitupula dengan memberikan porsi lebih bagi sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah kesehatan dan sejarah lingkungan dalam pengajaran sejarah di Indonesia. Hal ini semata-mata untuk membantu khalayak umum dalam melihat diri mereka sebagai bagian dari sejarah Indonesia sendiri—bahkan untuk detail-detail terkecilnya.

********

Teks: Yogi Susatyo, FIB UI
Editor: Dian Amalia Ariani
Ilustrator:

REFERENSI

- Adam, Asvi Warman. 2015. Militerisasi sejarah Indonesia: Peran A.H. Nasution. Dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari (ed.) 2015. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, bekerjasama dengan KITLV-Jakarta dan Pustaka Larasan

- Captain, Esther & Onno Sinke. 2022. Het Geluid van Geweld: Bersiap en de dynamiek geweld tijdens de eerste fase van de Indonesische Revolutie, 1945-1946. Amsterdam: Amsterdam University Press

- Colombijn, Freek & J.Th. Linblad 2002, Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective. Brill

- Klinken, G.van. 2015. “Aku” yang berjuang: Sebuah sejarah penulisan tentang diri sendiri pada masa Orde Baru. Dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari (ed.). 2015. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, bekerjasama dengan KITLV-Jakarta dan Pustaka Larasan

- Nayar, Pramod. K. 2015. The Postcolonial Studies Dictionary. Oxford: John Willey & Sons, Ltd.

- Pattinasarany, I.R.I. 2016. Stratifikasi dan Mobilitas Sosial. Jakarta: Pustaka Obor

- Triyana, B.  “Istilah ‘Bersiap’ yang Problematik”. Historia, 12 Januari 2002. https://historia.id/amp/politik/articles/istilah-bersiap-yang-problematik-vogKK. Diakses 31 Desember 2022



[1] Indera Ratna Irawati Pattinasarany (2016). Stratifikasi dan Mobilitas Sosial. Jakarta: Pustaka Obor

[2] Esther Captain & Onno Sinke (2022). Het Geluid van Geweld: Bersiap en de dynamiek geweld tijdens de eerste fase van de Indonesische Revolutie, 1945-1946. Amsterdam: Amsterdam University Press

[3] Pada awal tahun 2022, sejarawan Bonnie Triyana mengkritik penggunaan kata “Bersiap” dalam pameran Rijksmuseum mengenai Revolusi Indonesia. Lihat artikel  Bonnie Triyana, “Istilah ‘Bersiap’ yang Problematik” (Historia, 12 Januari 2002)

[4] Freek Colombijn dan J.Th. Linblad (2002), Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective. Brill

[5] Pramod K. Nayar (2015). The Postcolonial Studies Dictionary. Oxford: John Willey & Sons, Ltd.

[6] Ibid.

[7] Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari (2015). Memikir ulang historiografi Indonesia. Dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari (ed.) (2015). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, bekerjasama dengan KITLV-Jakarta dan Pustaka Larasan

[8] Gerry van Klinken (2015), “Aku” yang berjuang: Sebuah sejarah penulisan tentang diri sendiri pada masa Orde Baru. Ibid., Hlm. 125-154

[9] Lihat Asvi Warman Adam (2015), Militerisasi sejarah Indonesia: Peran A.H. Nasution, dalam Ibid., Hlm. 111-124

[10] Nordholt dkk., Op. Cit. 9