Logo Suma

Delapan Dekade Kemerdekaan: Rakyat Sejahtera, Benarkah Demikian?

Redaksi Suara Mahasiswa · 16 Agustus 2025
5 menit

Perempuan Mahardhika mengadakan konferensi pers (konpers) pada Jumat (15/8) untuk menyambut Panggung Merdeka 100%. Panggung ini merupakan forum diskusi masyarakat dengan tajuk “Delapan Dekade Kemerdekaan: Merebut Kembali Arah Politik Indonesia untuk Bebas dari Eksploitasi, Kekerasan dan Kemiskinan”.

Dalam konpers, Perempuan Mahardhika memaparkan makna politis, rangkaian agenda, serta tuntutan dan harapan dari acara yang akan dilaksanakan bertepatan pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Konpers diawali dengan sambutan Andin dari Perempuan Mahardhika Jakarta yang menjembatani penyampaian informasi terkait Panggung Merdeka 100%. Ia mengatakan bahwa kehadiran Panggung Merdeka 100% hendak membawa suara berbeda di tengah Perayaan HUT RI ke-80 yang bertemakan “Bersatu Berdaulat Rakyat Sejahtera Indonesia Maju”. Melalui forum tersebut, Perempuan Mahardhika ingin menyampaikan bahwa kemerdekaan sejati belum dirasakan masyarakat.

Konpers turut dihadiri delapan narasumber dari Perempuan Mahardhika, yaitu Mutiara Ika Pratiwi (Ketua Perempuan Mahardhika), Ajeng Anggriani (Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika), Afifah (bagian dari Divisi Pendidikan), Sarah (Koordinator Perempuan Mahardhika Jakarta), Angelina Djopari (Koordinator Perempuan Mahardhika Manokwari), Stevi Rasinta (Koordinator Perempuan Mahardhika Palu), Refinaya (Koordinator Perempuan Mahardhika Samarinda), serta Ilmi Khoerunissa (Ketua Pelaksana Panggung Merdeka 100%).

Kontradiksi Tema HUT RI dengan Realitas Masyarakat

Sesi dialog pertama diawali dengan pertanyaan Andin terkait tema HUT RI ke-80 beserta makna kemerdekaan menurut Perempuan Mahardhika. Setelah mengapresiasi solidaritas Perempuan Mahardhika terhadap bentuk perlawanan masyarakat atas ketidaksejahteraan dan eksploitasi, Ika pun menjelaskan bahwa Panggung Merdeka 100% hadir sebagai pembanding sekaligus alternatif dari tema yang berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat. Selama ini, rakyat dibiarkan hidup dalam ketidakpastian karena tidak adanya solusi terhadap korban PHK. Ruang aman rakyat pun terancam dengan maraknya kerusakan lingkungan hingga kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan.

Dibahas pula narasi nasionalistik yang mengemas pengesahan enam Komando Daerah Militer (Kodam) dan enam grup Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di berbagai daerah strategis. Namun, menurut Ika, hal ini justru menunjukkan keberadaan militer yang memperkuat intimidasi pada rakyat.

“Kami melihat bahwa perluasan kekuasaan militer ini, di tengah kita yang sedang menuju delapan dekade kemerdekaan, ini [justru] berjalan beriringan dengan pembukaan jalan bagi investor untuk lebih mudah mengeruk sumber daya alam,” tutur Ika.

Ika memaparkan bahwa Panggung Merdeka 100% hadir sebagai ruang politik untuk rakyat mendiskusikan seperti apa Indonesia ke depannya. Proklamasi memang tonggak penting, tetapi kemerdekaan adalah proses panjang perjuangan rakyat untuk menentukan jalannya sendiri dan bebas dari segala bentuk penjajahan. Inilah yang dimaknai dari proklamasi 80 tahun lalu.

Isu Substantif yang Disorot Panggung Merdeka 100%

Dialog kedua dibuka dengan pertanyaan Andin terkait isu substantif juga Panggung Merdeka 100% sebagai ruang politik alternatif. Afifah menyebutkan beberapa isu, seperti kedaulatan, kesejahteraan, dan Indonesia maju yang diinginkan masyarakat. Dengan mendefinisikan kemajuan tersebut, masyarakat diharapkan dapat membayangkan langkah strategis untuk mewujudkannya.

“Kita ingin menunjukkan bahwa posisi-posisi alternatif melawan rezim hari ini masih memungkinkan dan layak,” tegas Afifah.

Ia juga menguraikan permasalahan di dunia kerja. Sembilan belas juta lapangan pekerjaan yang dijanjikan Gibran tak kunjung terwujud. Hal ini tercermin dari maraknya PHK serta ekonomi yang kian memburuk.

Afifah turut membicarakan masalah ekologi yang dinilai tidak terpisahkan dari gerakan-gerakan sosial yang meliputi demokrasi, militer, buruh, dan sebagainya. Hal ini dibuktikan dengan adanya kriminalisasi terhadap masyarakat yang menentang eksploitasi lahan untuk kepentingan korporasi dan industri.

Terakhir, Afifah menyuarakan bahwa pada dasarnya, penindasan-penindasan saling terhubung, mulai dari Papua hingga Palestina. Pembunuhan jurnalis di Palestina, salah satunya Al Jazeera, merupakan pukulan besar terhadap kebebasan berekspresi. Begitu pula pembunuhan oleh militer di Papua. Ini menjadi landasan yang kuat dan menghubungkan banyak hal di diskusi Panggung Merdeka 100% nantinya.

Penyusunan Panggung Merdeka 100% dan Harapan yang Menunggu Diwujudkan

Pertanyaan terkait penyusunan serta harapan yang ingin dicapai Panggung Merdeka 100% menandai sesi dialog yang ketiga. Ajeng mengutarakan bahwa hal ini sudah lama dibayangkan organisasi, terutama ketika jawaban pemerintah terhadap berbagai permasalahan malah makin jauh dari harapan masyarakat dan solusi sesungguhnya.

Proses Panggung Merdeka 100% sendiri cukup panjang. Acara ini akan memobilisasi banyak orang untuk datang dan berani bersuara, sekaligus menghadirkan ruang untuk berdialog. Harapannya, dapat dipertanyakan kembali mengenai dunia yang masyarakat inginkan, yang adil dan merdeka 100%, untuk kemudian memunculkan solusi seiring berjalannya diskusi.

Selama ini, masyarakat direpresi sehingga berpandangan bahwa dunia yang layak itu “muluk”. Oleh karena itu, Ajeng menuturkan bahwa Panggung Merdeka 100% bertujuan agar masyarakat berani membayangkan dunia yang layak. Panggung ini hadir sebagai ruang alternatif untuk membayangkan dunia yang benar-benar adil dalam artian sesungguhnya.

Perempuan yang Memperjuangkan Keadilan dan Mempertahankan Ruang Hidup

Sesi dialog keempat dimulai dengan pembahasan kondisi perempuan dalam menghadapi dampak kebijakan pemerintah di Manokwari, Papua Barat, bersama Angelina Djopari. Angelina menjelaskan bahwa anak-anak dan perempuan di Manokwari rentan mengalami kekerasan sehingga sangat membutuhkan keadilan untuk mendapatkan hak-hak seutuhnya.

Stevi Rasinta turut menjelaskan kondisi perempuan di Palu, Sulawesi Tengah, yang tak jauh berbeda. Stevi menuturkan bahwa Kelurahan Mamboro di Palu menyimpan tragedi femisida, kala seorang perempuan tewas dibakar hidup-hidup oleh sang suami. “Kasus ini bukan hanya insiden KDRT, tapi ini gambaran nyata dari puncak kekerasan berbasis gender,” tegas Stevi.

Sementara itu, Refinaya menjelaskan bahwa pekerja seks perempuan di Samarinda, Kalimantan Timur, meningkat begitu banyak, khususnya di sekitar Proyek Strategis Nasional (PSN) Ibu Kota Negara (IKN). Anak-anak dan perempuan di Samarinda, ungkap Refinaya, rentan terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) karena banyak perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks, bahkan pada perempuan yang usianya di bawah umur.

Sarah juga memberikan gambaran mengenai kondisi perempuan di Jakarta yang masih banyak terjebak dalam pekerjaan sektor informal, seperti host live TikTok, freelancer, content creator, karena minimnya lapangan pekerjaan di pusat ekonomi Indonesia. Tiadanya perlindungan dan jaminan sosial pada pekerjaan sektor informal ini memerangkap perempuan dalam kondisi yang rentan mengalami eksploitasi digital atau kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Oleh karena itu, bentuk solidaritas dan inisiatif perempuan sangat penting agar perempuan dapat memperjuangkan keadilan dan mempertahankan ruang hidup mereka. Angelina, Stevi, Refinaya, dan Sarah menjelaskan bahwa Perempuan Mahardhika di wilayah mereka masing-masing sudah membuka forum diskusi dan kolaborasi untuk mendukung perempuan dalam menghadapi tantangan-tantangan kompleks. Kegiatan ini diharapkan dapat menyuarakan keresahan perempuan, menguatkan perempuan, sampai menghasilkan gagasan atau ide alternatif untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di ruang publik dan ruang privat.

Rangkaian Acara Panggung Merdeka 100%

Panggung Merdeka 100% melibatkan berbagai mata acara menarik, seperti diskusi, pameran arsip, dan panggung seni. Acara ini akan dilangsungkan pada 17 Agustus, pukul 10.00–22.00 WIB di Gedung LBH Jakarta. Informasi detail akan diberikan setelah partisipan melakukan registrasi melalui tautan bit.ly/Panggung-Merdeka, bisa diakses pula melalui Instagram Perempuan Mahardhika, @mahardhikakita.

Pameran arsip dengan tajuk “Pameran Arsip Sejarah Gerakan Perempuan” dalam acara ini berkolaborasi dengan Kolektif Arungkala. Dengan adanya pameran arsip ini, Panggung Merdeka berusaha merekam dan mengingat kembali terhadap koleksi sejarah perempuan dari masa sebelum kemerdekaan, pasca-kemerdekaan, era reformasi, hingga saat ini.

Selain pameran arsip, sesi diskusi pertama dengan tajuk “Pleno Pembuka #Merdeka100%: Indonesia yang Kita Inginkan dan Layak untuk Diperjuangkan” juga akan menghadirkan perempuan-perempuan hebat yang datang dari berbagai latar belakang, seperti Sumarsih (Inisiator Aksi Kamisan), Sutami (Pusaka Bentala Rakyat), Diyah Wara Restiyati (Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia), dan Mutiara Ika Pratiwi (Perempuan Mahardhika).

Kemudian, sesi diskusi kedua yang bertema “Diskusi Paralel 1: Hidup Layak di Bumi yang Merdeka, Masa Depan Tanpa Eksploitasi Tubuh dan Alam” akan dipantik oleh Ana (Aliansi Mahasiswa Papua), Decmanth Pasaribu (Indonesian Young Greens), Mareta Sari (JATAM Kalimantan Timur), dan Vivi Widyawati (Perempuan Mahardhika).

Sesi diskusi ketiga, “Diskusi Paralel 2: Bekerja Lebih Sedikit, Hidup Lebih Baik, Dunia yang Adil untuk Semua” akan dibersamai Francesco Hugo (Suara Muda Kelas Pekerja), Guruh Riyanto (SINDIKASI), Echa Waode (Arah Pelangi), dan Ajeng Anggraini (Perempuan Mahardhika).

Terakhir, sesi diskusi yang bertajuk “Pleno Penutup: Dunia Tanpa Penjajahan dan Perang: Solidaritas Tanpa Batas dari Papua Hingga Palestina!” akan dihidupkan oleh Nadine Sherani (KontraS), Azhar Irfansyah (Islam Bergerak), Yokbeth Felle (Aneta-Papua), Daniel Awigra (HRWG), dan Afifah (Perempuan Mahardhika). Seluruh rangkaian diskusi akan didampingi oleh Perempuan Mahardhika sebagai fasilitator.

Ketika sesi diskusi selesai, Panggung Merdeka 100% juga akan menggelar panggung seni, seperti Panggung Musik Perlawanan dan Ekspresi Seni Perlawanan. Panggung musik yang diadakan turut mengundang Sukatani, Paduan Suara Dialita, Yacko, dan DJ Chilpilz dari Perempuan Mahardhika. Sementara itu, Ekspresi Seni Perlawanan akan menghadirkan berbagai penampilan, seperti monolog, tari Ronggeng Banyumasan, pembacaan puisi, penampilan Tubuh dan Suara yang Dibebaskan, serta penampilan Perempuan di Titik Nol.

Teks: Mona Natalia Christina, Faizah Eka Safthari

Editor: Naswa Dwidayanti Khairunnisa

Foto: Istimewa

Desain: Kania Puri A. Hermawan

Pers Suara Mahasiswa UI 2025

Independen, Lugas, dan Berkualitas!