Liputan Khusus Suara Mahasiswa UI
LAIN DI CERMIN, lain di lapangan. Menjadi dosen seringkali dianggap sebagai pekerjaan prestisius dengan masa depan finansial yang cerah oleh masyarakat, rupanya realita terlampau jauh dari bayangan tersebut. Beragam kajian menggambarkan bagaimana banyak dari dosen-dosen di Indonesia yang bergaji rendah, dibebani oleh tugas-tugas administratif yang berat, hingga terbelenggu kompleksitas birokrasi perguruan tinggi oleh negara.
Belum lama ini, The Conversation (TCID) menerbitkan hasil penelitian dari tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Mataram (Unram), yang menyurvei hampir 1.200 dosen di seluruh Indonesia. Hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa hampir separuh dari para responden memiliki penghasilan di bawah 3 juta per bulan. Dalam survei ini pula rata-rata dosen (80%) menyatakan secara gamblang bahwa mereka merasa pendapatan yang ia terima tidak sesuai dengan beban pekerjaan yang diberikan.
Realitas pahit ini bukan masalah kemarin sore.
Namun, layaknya guru honorer dan tenaga pendidikan lain yang menuntut upah layak, seringkali mereka terbentur anggapan negatif bahwa ‘dosen yang mengeluh tidak tulus melakukan pengabdian’. Tidak heran, akhir-akhir ini muncul seruan agar dosen berserikat yang bertujuan untuk mengadvokasi permasalahan kesejahteraan pekerja kampus, termasuk dosen.
Tuntutan Kerja Serius, Upah Bercanda
Indonesia memiliki 4.600 perguruan tinggi yang menaungi ratusan ribu dosen, setiap dosen memiliki beragam status kepegawaian dan ikatan kerja yang berbeda. Keberagaman ini seringkali menjadi sumber ketidakjelasan dalam hal pengaturan gaji dosen.
Dalam konteks logika pasar yang digunakan kampus untuk mengurangi biaya operasional, banyak perguruan tinggi mengadopsi strategi efisiensi dengan mempekerjakan sesedikit mungkin dosen untuk mengampu banyak kelas. Akibatnya, satu dosen seringkali harus menanggung beban pengajaran/SKS. Selain mengajar, dosen juga diharapkan untuk membimbing mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi atau tugas akhir, melakukan penelitian, menghasilkan karya ilmiah, dan berpartisipasi dalam kegiatan pengabdian masyarakat.
Tugas administratif dosen semakin bertambah dengan diperkenalkannya aplikasi-aplikasi yang memantau kinerja, yang pada akhirnya menghabiskan banyak waktu dan energi. Tidak jarang, dosen juga diberikan tanggung jawab administratif tambahan oleh atasan atau dosen senior karena kekurangan sumber daya manusia (SDM) di lingkungan kampus.
Di tengah banjirnya tuntutan kerja, menumpuknya beban administrasi, serta syarat kualifikasi yang semakin tinggi bagi akademisi, gaji dosen di Indonesia rata-rata masih berada di bawah upah standar minimum masing-masing daerah.
Secara umum, pendapatan tetap dosen terdiri dari gaji pokok, tunjangan fungsional, tunjangan profesi, dan berbagai jenis honor seperti honor mengajar, membimbing, pratikum, dan sebagainya. Dosen yang memiliki jabatan di universitas, juga mendapatkan tambahan dari tunjangan jabatan struktural.
Tak sebanyak yang dikira, temuan riset TCID menunjukkan 42,9% dari 1.200 dosen yang disurvei mengaku menerima pendapatan tetap di bawah Rp 3 juta per bulan.
Kendati seorang dosen dapat menerima pendapatan lain di luar pendapatan tetap, misalnya jika dia mengejar aktivitas kepanitiaan, honorarium sebagai narasumber, insentif publikasi, hibah penelitian, dan imbalan-imbalan insidental lainnya, namun sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa pendapatan dari sumber-sumber tidak tentu ini masih di bawah Rp 1 juta per bulannya.
Khalayak awam seringkali mengira SEMUA dosen menerima tunjangan profesi yang dikenal dengan istilah sertifikasi dosen (serdos) dalam jumlah besar. Kenyataannya tidak semua dosen mendapatkan tunjangan ini.
Jika mereka memang menerimanya, jumlahnya hanya setara dengan satu kali gaji pokok sesuai dengan golongan dosen dan biasanya baru dapat diurus setelah bekerja minimal selama sekitar 4 tahun. Seringkali, jumlah tersebut tidak sebanding dengan kualifikasi dan kontribusi mereka.
Bahkan untuk dosen yang memiliki status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan memiliki kualifikasi setinggi S3 dengan jabatan fungsional Lektor (Assistant Professor), tunjangan serdos mereka terbatas pada angka Rp 2.802.300. Angka ini jauh tertinggal jika dibandingkan dengan tunjangan kinerja yang diberikan kepada lulusan S1 di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp 3.980.000, sebagai contoh.
Jika dibandingkan dengan beban kerjanya, pemasukan para dosen ini belum dapat terbilang layak dengan memperhitungkan biaya hidup yang semakin tinggi. Terlebih, kebanyakan dosen juga menanggung biaya hidup keluarganya, yang berarti upah ini harus dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan anak, dana darurat, dan kebutuhan esensial lainnya.
Tak Seindah Bayangan
“Pas aku masuk, lowongan dari UI itu mengharuskan calon pegawai UI untuk dosen tetap itu minimal S3, jadi dia udah gak terima lagi S2,” tukas Hariati Sinaga, Dosen Program Pascasarjana Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) menceritakan pengalamannya saat ia mengisi lowongan dosen UI tahun lalu.
Memang apabila kita melihat lomba lari antar kampus bernama QS World University Ranking, persaingan itu cukup ketat, walaupun peringkat UI tak jauh-jauh dari peringkat satu, dua, atau tiga di Indonesia. Maka itu tidak heran jika Direktorat Sumber Daya Manusia UI menaikkan kualifikasi mengejar banyaknya posisi jabatan akademik dosen seperti Lektor, Lektor Kepala, hingga Profesor atau Guru Besar.
Namun masih ada kerisauan yang menjanggal.
“Nah, [gaji] itu sebenernya menurut aku gak sebanding dengan pendidikannya gitu. Contoh gaji pokok untuk level lektor, berarti S3 ya, itu cuman sekitar 2,8 [juta rupiah], dan memang ada tambahan, tapi kalau ditotal-total gak sampai dengan UMP, jadi gak sebanding,” ungkap Hariati tanpa tedeng aling-aling.
Melansir KataData, UMR DKI Jakarta pada 2023 tercatat sebesar Rp4,9 juta, sementara Depok di angka Rp4,7 juta.
Dosen muda, khususnya yang belum lama bekerja dan baru merintis seperti Hariati, tentunya belum mendapatkan tunjangan serdos, banyak di antaranya pun belum bisa mendapat tunjangan tambahan berkaitan dengan jabatan fungsional mereka.
Melansir riset TCID, biasanya dosen baru mulai mendapat tunjangan pertama (sekitar Rp375.000) ketika naik jadi Asisten Ahli (AA) setelah 2-3 tahun.
Periode awal merintis karir sebagai dosen seringkali jadi masa-masa kritis karena untuk bertahan dan hidup layak dengan mengandalkan gaji dosen saja sangatlah sulit. Hal ini dapat membuat seseorang maju-mundur, berpikir belasan kali untuk menjadi dosen.
“Akhirnya banyak juga yang tidak mau –jadi dosen. Permasalahannya adalah karena emang kalau bergantung pada gaji –saja, gak bisa,” ujar Hariati menyimpulkan.
Tak tanggung-tanggung, sudah dengan upah yang tergolong belum mencukupi. Tambah lagi dengan ‘Ospek’ khusus untuk dosen yang menambah masa-masa sulit yang kiranya tidak perlu ditambah lagi. Yaitu program Calon Pegawai UI atau yang lebih dikenal dengan istilah Probation. Program yang memang sudah diatur menjadi langkah pertama bagi para dosen muda untuk menjadi bagian dari pekerja tetap di UI. Tentu niat program ini baik yaitu memberikan berbagai pelatihan dimulai dari pelatihan dasar mengajar, pelatihan penulisan ilmiah, hingga orientasi nilai-nilai UI dan pengenalan undang-undang yang berlaku.
Lama waktu program ini bisa berjalan dari satu semester (6 bulan) hingga paling lama dua tahun. Maka selama itu juga dosen muda akan tetap berstatus Calon Pegawai Tetap UI (CPUI) sampai pada akhirnya ketika selesai dan dinyatakan lulus program, baru akan diangkat menjadi Pegawai Tetap.
Andai-andai CPUI itu berjalan hingga dua tahun. Selama itu pula, Hariati menjadi CPUI yang hanya mendapat kisaran gaji sebesar 80% dari total gaji pokok. Dengan beban kerja yang padat layaknya pegawai tetap, tambah lagi tanpa tunjangan profesi yang biasa menjadi tumpuan untuk mendapat upah layak di masa-masa awal. Tidaklah mungkin baginya hanya mengandalkan penghasilannya sebagai dosen menghadapi kondisi finansial terutama bila bertempat tinggal di wilayah Jabodetabek yang menuntut biaya hidup yang tinggi.
“[CPUI] itu ‘kan seperti probation, tapi probation itu berjalan 1 sampai 2 tahun. Sedangkan dalam undang-undang ketenagakerjaan, probation itu paling lama 3 bulan. Tapi, ya, itu balik lagi ke masalah polemik yang kemaren: apakah dosen itu buruh, maksudnya gak harus diistilahkan harfiah sebagai buruh, tapi ‘kan kita dilindungi juga oleh undang-undang ketenagakerjaan yang mencakup semua penerima gaji gitu ‘kan, sebenernya.”
Kala itu, Hariati memang sudah diberitahu oleh Direktur Sekolah yang mewawancarainya bahwa dua tahun pertama menjadi dosen itu tidak mudah. Dosen selalu didorong untuk ikut melakukan kolaborasi agar memiliki penghasilan tambahan. “Dosen biasanya pasti ngajar, karena itu bagian dari BKD yang harus dipenuhi.” Walau begitu, ada pula dosen yang memutuskan untuk mengajar lebih banyak mata kuliah untuk bisa menerima perolehan total gaji yang layak dengan mengambil lebih daripada maksimal SKS BKD pengajaran yang seharusnya.
“Termasuk bimbingan [tugas akhir] itu maksimal 10 [mahasiswa], tapi ada juga yang bimbingan lebih dari 10,” ungkap Dosen Kajian Gender tersebut. Ia menjelaskan hal itu biasa terjadi apabila program studi masih baru sehingga jumlah tenaga pengajar masih belum mencukupi.
“Tapi ada juga yang dapet gak seberapa sih kalau dari tunjangan bimbingan, cuman 100 sampai 150 ribu per bimbingan untuk S1. Itu [nominalnya] nanti beda lagi, ya, untuk S2 dan S3.”
Tentu saja kekecewaan tak luput dari benaknya. Sebab, bimbingan satu mahasiswa saja akan dilakukan sebanyak sekitar 8 hingga 12 kali bimbingan selama proses pengerjaan skripsi. Bayangkan lama dan kusutnya proses pengerjaan skripsi. Dosen harus memeriksa tiap BAB yang dikerjakan mahasiswa, itu pun kalau-kalau lekas lolos. Seringkali masih banyak yang harus direvisi, lalu diperiksa lagi. Ini baru satu mahasiswa, belum sembilan mahasiswa lainnya yang juga mesti diperiksa. Walakin, bimbingan pun tetap tak bisa jadi andalan sebab honorarium yang didapat juga tidak sebanding dengan usaha diberikan.
Lantas, bagaimana dengan mahasiswa yang sudah membayar begitu mahal biaya pendidikan?
Tidak hanya kepada dosen, problematika ini juga dapat berimbas negatif kepada mahasiswa. Saat mahasiswa kesulitan mengejar bimbingan, ada dosen yang harus tetap memberikan bimbingan akademik meski kurang sebanding dengan kompensasi finansial yang mereka terima. Tanpa menormalisasi dosen yang ‘malas’ melakukan pertemuan bimbingan, namun kenyataannya beban moralnya memang sedikit.
Anggaplah terdapat 10 kali pertemuan bimbingan, jika upah yang diterima dosen per bimbingan mahasiswa hanya senilai 150 ribu, maka setiap pertemuannya dosen hanya mendapatkan bayaran sebesar 15 ribu rupiah.
“Makanya jadi kayak pekerja serabutan gitu. Seharusnya ketika menjalankan tiga itu [Tridharma Perguruan Tinggi] kan sudah harus cukup. Bukannya aku harus penelitian supaya aku bisa ada tambahan uang gitu, tambahan penghasilan, gitu sih sebenernya,” ungkapnya setengah bingung.
“Aku juga suka komentar: Kita sering menjalankan pengmas, pengabdian masyarakat, tapi masyarakat di kampus sendiri itu gimana –kesejahteraannya?” pungkas Hariati.
Saat ditanya Suara Mahasiswa terkait UKT UI yang naik drastis, Hariati tegas menjawab bahwa kedua hal tersebut tidak ada korelasinya.
“Iya, kemarin heboh demo soal UKT naik terus, tapi sebenarnya nggak ada hubungannya ke gaji dosen, tetap segitu-segitu aja,” jelas Hariati.
Profesi Ruwet
Jika otak manusia diakui sebagai objek paling rumit nomor satu di alam semesta, sudah tentu profesi dosen di Indonesia menjadi nomor duanya. Bagaimana tidak. Dosen sebagai profesi harus selalu siap diharubiru berbagai kebijakan birokratik yang menghambat kerja-kerja akademis, dan bukan sebaliknya. UI, misalnya, membagi dosen tetap dalam dua kategori: dosen tetap berstatus ASN dan dosen tetap berstatus pegawai UI. Sudah begitu, terdapat pula dosen kontrak, dosen calon PNS, dan dosen calon pegawai UI. “Ada yang memang sudah pensiun jadi PKWT, ada yang mereka memang tidak bisa jadi pegawai tetap karena tetapnya ada di instansi lain. Ada juga yang belum jadi pegawai tetap, masih menunggu informasi di UI,” terang Siti Hajati Hoesin, dosen hukum administrasi negara saat ditemui Suara Mahasiswa di Fakultas Hukum UI.
Bila ingin mendapat tambahan dari komponen remunerasi yang memang sudah disediakan oleh kampus, maka dosen perlu memberikan segenap tenaganya melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, pengajaran, pendidikan, dan penelitian. Rasanya tiada ruang untuk mengambil napas. “Misalnya ada dosen yang rajin meneliti misalnya, rajin pengabdian, nah, itu dia akan mendapatkan lebih dibanding dosen yang cuman [mengerjakan tugas-tugas] standar itu loh, supaya memenuhi standar dia ikut tapi dikit-dikit aja gitu. Jadi itu juga menjadi support supaya dosennya itu lebih berkarya sehingga meningkatkan penghasilannya juga,” pungkas Siti.
Dengan sistem yang ada, dulu maupun kini, satu-satunya hal yang mempengaruhi kenaikan gaji pokok hanyalah kenaikan jabatan akademik dosen tersebut. Maka itu, dosen harus menghitung cermat perolehan kum mereka jika ingin cepat menaikkan jabatan akademik dan mendapatkan kenaikan upah.
Sayang, praktik di lapangan tidak semulus baris-baris tercetak yang tertulis di kitab panduan, apalagi bagi dosen yang baru memulai karir. Hariati mengambil contoh dirinya yang kini berada di posisi Lektor dengan jumlah kum 300, maka ia harus menambah total 200 kum agar bisa naik jabatan menjadi Lektor Kepala yaitu 500 kum.
Dengan itu, selain mencurahkan waktu bagi para mahasiswanya, ia pun harus memikirkan berapa penelitian yang harus ia lakukan; berapa total SKS pengajaran yang harus dilaksanakan; lalu mengalikan masing-masing unsur dengan distribusi angka kredit sesuai dengan peraturan.
“Jadi poin-poin sistemnya bener-bener rigid baru aku ajukan, terus mereka lihat dulu dan bilang, ‘Oh bisa’ maka baru diproses,” ungkap Hariati gamblang.
Melihat betapa berpengaruh jenjang jabatan fungsional dosen dalam perolehan upah, maka dosen harus mengejar pemenuhan Beban Kerja Dosen (BKD) yang akan berpengaruh pada kenaikan jabatannya. Walau ada unsur penunjang yang dapat membantu dosen memenuhi BKD ini, seperti berperan aktif dalam pertemuan ilmiah, menulis buku pendidikan, dan lain sebagainya. Dosen tetap harus banting tulang memenuhi BKD yang merupakan syarat untuk mendapatkan tunjangan profesi, sehingga profesi dosen tak serta merta mendapat tunjangan profesi.
“Jadi, [kami] harus memenuhi persyaratan-persyaratan untuk dapat memperoleh tunjangan, jadi sekarang istilahnya BKD, Beban Kerja Dosen. Jadi, setiap dosen harus mengisi BKD-nya. Nah, untuk tetap dapet tunjangan serdos, BKD ini harus memenuhi kriteria yang ditentukan,” jelas Siti.
Transisi Sistem Memperparah
Delapan bulan sejak disahkan pada 6 Januari 2023, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen-PANRB) No. 1/2023 tentang Jabatan Fungsional tak ubahnya menjadi terowongan gelap panjang nan berliku dalam soal kesejahteraan pekerja pendidikan tinggi di Indonesia. Alangkah panjang dan gelitanya terowongan itu, hingga Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) sampai turun tangan menggelar seminar hybrid pada 14 Juni 2023. Jelas sekali agenda seminar itu: membahas masa depan karir dosen yang berada di lancip badik, sekaligus menanggapi kebijakan yang keluar di awal tahun 2023 itu.
Dalam seminar yang juga dihadiri perwakilan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) dan Deputi bidang SDMA KemenPAN-RB, aturan yang sempat membuat kisruh itu dibahas panjang-lebar karena adanya transisi sistem pengakuan angka kredit (PAK) mengikuti sistem administrasi baru. “Memahaminya masing-masing [aturan] mumetnya bukan main. Tetapi lebih rumit lagi, memahami relasi antara satu aturan dengan aturan yang lain. Pada hirarki yang berbeda,” ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Prof. Manneke Budiman S.S., M.A., Ph.D dalam seminar tersebut.
Perolehan total angka kredit kumulatif (kum) tak ubahnya menjadi nyawa dosen di Indonesia. Karenanya, kum berpengaruh pada pengajuan kenaikan jabatan fungsional/akademik dosen, terutama baginya yang berstatus pegawai negeri sipil. Dilansir dari CNN Indonesia, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menilai penyeragaman aspek birokrasi untuk dosen ASN ini tidak adil karena profesi dosen tidak bisa begitu saja disamaratakan dengan ASN lainnya. Perubahan sistem yang mendadak ini pun menambah beban kerja dosen yang harus beradaptasi dengan sistem baru. "Kita tidak mengetahui dengan pasti apakah PermenPAN-RB itu sudah menggunakan atau melaksanakan partisipasi yang bermakna tersebut," jelas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Susi Dwi Harijanti, mempertanyakan penyusunan PermenPAN-RB No 1 Tahun 2023 yang dinilainya belum cukup tunduk pada UU No. 12 Tahun 2011. Menurutnya, peraturan ini tidak memenuhi asas-asas formal pembentukan yang perlu melibatkan partisipasi yang bermakna sebagaimana diatur di dalam Pasal 96.
Lebih jauh, transisi sistem ini lagi-lagi menguak centang-perenang beban administratif yang mesti ditanggung dosen. Profesi akademia, yang memerlukan banjir keringat serta bergelas-gelas air mata dalam menempuh pendidikan yang tak gratis, masih sangat jauh dari kata “dihargai” di Indonesia. Keluhan mereka tak kalah banyak, sedangkan jerit hati mereka seolah hanya bertalu di sepinya menara gading. Ujung-ujungnya, tidak sedikit dosen yang menelan kepahitan itu dengan menganggap pekerjaan bergaji kecil yang mereka lakoni sebagai pengabdian kepada negara–yang nyatanya tidak pernah menghiraukan, apalagi mengapresiasi kehadiran mereka sebagai ujung tombak peradaban.
Tak Mungkin Sendiri
Keluhan ini tidak datang dari Hariati seorang. Melirik kembali penelitian TCID, rata-rata dosen menyatakan mereka merasa pendapatan yang ia terima tidak sesuai dengan beban pekerjaan yang diberikan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah sulit, sekarang mau memberitahu siapa. Berbeda dengan mahasiswa, contohnya mahasiswa UI, yang bisa memberikan penilaian dan berkeluh kesah soal performa dosen di EDOM. Dosen tidak memiliki ‘EDOM’ untuk menilai performa kampus.
Sementara buruh maupun pekerja berbagai sektor memiliki kesempatan berserikat dan bahkan memajukan tuntutan dalam demonstrasi, dosen tidak demikian. Tak ada wadah yang pasti dan cukup kuat untuk berkeluh kesah. Sebelumnya, UI pernah mempunyai Paguyuban Pekerja UI (PPUI) yang menaungi seluruh pekerja di UI termasuk dosen. Sayang, lembaga ini tak berumur panjang dan saat artikel ini dibuat, sudah jadi pajangan halaman album sejarah kampus.
“Sebenernya PPUI pengen diaktifkan kembali. Udah ada wacananya tapi belum [juga] dilakukan sampai sekarang.”
Menurut Hariati, kesulitan utama baginya dan bagi para dosen membentuk solidaritas profesi ialah karena memang jadwal yang padat dan terpisah-pisah. Selain itu, pelembagaan wadah bagi dosen untuk menerima keluh kesah para tenaga pendidik belum terlalu jelas.
“Kebanyakan, sih, akhirnya cuman ngeluh sendiri-sendiri aja gitu kan, curhat satu dengan yang lain, tapi terus gak ada wadahnya gitu.”
Meski demikian, usaha tak sekadar kandas meratapi wadah yang tinggal diam membatu. Hariati beserta rekan-rekannya dari kampus lain, yang juga memiliki rasa seperjuangan yang sama, telah bertekad membentuk serikat pekerja kampus nasional. Alangkah baik bila ada tempat bagi para pekerja kampus bersama-sama berbagi keluh kesah dan berpegangan tangan sehingga lebih kuat dibandingkan jika mereka menempuh terowongan karir sendirian.
Secara keseluruhan, banyak masalah yang jadi PR bagi indung serikat ini, khususnya mengatasi kekurangan-kekurangan yang telah menyejarah, seperti kasus dosen yang harus mengajar ke sana ke mari agar mendapat tambahan upah menelantarkan mahasiswa bimbingan sampai hubungan antarpekerja di kampus.
“Makanya waktu kita di serikat pekerja kampus, kita juga bilang dalam AD-ART, kita harus ada komisi ad hoc, ada komite etik, karena ‘kan target anggotanya bukan cuma dosen, tetapi juga pekerja kampus termasuk asisten dosen, mahasiswa yang dipekerjakan oleh dan segala macem. Bagaimanapun, mereka adalah pekerja yang membutuhkan saluran aspirasi, juga perlindungan dari semua bentuk eksploitasi.” (*)
Teks : Aulia Arsa Andhiza
Editor : Chris Wibisana, Dian Amalia
Ilustrator : Kejora Sava
Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, Berkualitas!