Pada Jumat (18/11), Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HMIP) kembali menggelar diskusi publik yang bertajuk “Dialog Jakarta: Beragam Perspektif Membangun Kota” di Auditorium Juwono Sudarsono Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI. Diskusi publik kedua ini menghadirkan para kandidat Gubernur-Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) Periode 2024–2029, yaitu Ridwan Kamil selaku calon Gubernur DKJ nomor urut 1, Kun Wardana selaku calon Wakil Gubernur DKJ nomor urut 2, dan Pramono Anung Wibowo selaku calon Gubernur DKJ nomor urut 3.
Sebagai informasi awal, HMIP telah menggelar diskusi publik serupa pada Kamis (7/11) lalu. Sayangnya, kandidat nomor urut 1, Ridwan-Suswono membatalkan kehadiran mereka sehingga diskusi hanya menghadirkan Kun dan Pramono.
Program Inovatif Ridwan Kamil: Dari Hunian Layak Hingga Kredit Mesra
Sebelum memulai diskusi, Ridwan menjelaskan alasan ketidakhadirannya pada diskusi publik yang pertama, “Di saat yang sama, sudah ada komitmen yang sudah di-“kunci” [dari] jauh-jauh hari dan ribuan rakyat menunggu. Mohon maaf, [ketidakhadiran ini] sangat manusiawi. Mohon dimaklumi.”
Setelah itu, pria yang akrab disapa Kang Emil tersebut memaparkan berbagai program kerjanya yang akan diimplementasikan dalam lima tahun ke depan jika terpilih sebagai Gubernur DKJ 2024–2029. Salah satu fokus utamanya adalah mewujudkan keadilan tata ruang untuk DKJ. Program tersebut berlandaskan keprihatinannya untuk menyediakan hunian layak bagi masyarakat Jakarta.
“Kesan pertama orang luar ketika mengunjungi Jakarta biasanya terpusat pada kawasan hijau seperti Sudirman-Thamrin yang memang terlihat keren. Namun, beberapa ratus meter dari sana terdapat permukiman kumuh. Inilah kenyataan yang menjadi mayoritas di balik minoritas,” ujarnya.
Menurut Ridwan, kota yang baik adalah kota yang multifungsi. Oleh karena itu, dia berencana untuk merekonstruksi tata ruang DKJ dengan memperbanyak hunian di tengah kota agar para pekerja dapat berjalan kaki dari rumah menuju kantor.
Selain itu, dia menyoroti masalah konsentrasi kantor di Jakarta Pusat sebagai salah satu penyebab utama kemacetan, “Jakarta Pusat memiliki biaya hidup yang tinggi. Banyak kantor yang tersentralisasi di sana sehingga masyarakat kesulitan tinggal di area tersebut dan memilih tinggal di pinggiran kota. [Hal itu] yang pada akhirnya memicu kemacetan.”
Meskipun demikian, Ridwan menyadari bahwa keterbatasan lahan di Jakarta menjadi tantangan dalam merealisasikan program tersebut. Oleh karena itu, jika peraturan perundang-undangan mengizinkan, dia akan membangun hunian di atas pasar.
“Ruang hingga ke langit di Jakarta sangat mahal jika hanya digunakan untuk satu fungsi. Jika ingin membuat perubahan besar, harus ada inovasi besar,” katanya.
Tak hanya itu, Ridwan juga ingin memperbanyak hunian di sekeliling Jakarta agar para pekerja yang bertempat tinggal di pelosok juga dapat bekerja di Jakarta, seperti pekerja di Lebak Bulus bisa kerja di Simatupang. Dia mengusulkan rencana ini agar generasi Z dapat tinggal di dekat tempat kerjanya sehingga dapat menghemat biaya transportasi dan mengalihkannya menjadi tabungan.
“Secara teknis, membangun hunian di atas jalan bisa dilakukan, seperti halnya pembangunan LRT. Ini akan membantu mengurangi biaya transportasi para pekerja yang menyerap sepertiga dari penghasilan mereka,” jelas Ridwan.
Selain itu, Ridwan hendak menghadirkan budaya baru dengan menjadikan Jakarta sebagai kota global. Menurut penglihatannya, masih banyak lahan di Jakarta yang tidak dimanfaatkan selama puluhan tahun. Ridwan pun berinisiatif untuk memanfaatkan lahan-lahan itu dengan mengubahnya menjadi ruang publik atau hutan kota.
Dari aspek ekonomi, Ridwan berkomitmen akan mengalokasikan anggaran untuk merenovasi permukiman kumuh tanpa melakukan penggusuran. Dia juga berencana untuk menciptakan satu juta lapangan kerja bagi generasi muda guna mengatasi 350.000 pengangguran di Jakarta.
“Jakarta akan dijadikan kota global yang mampu bersaing di tingkat internasional. Kami akan menekan program ekonomi kreatif dengan memberikan dana Rp 1 miliar per RW selama lima tahun yang pengelolaannya diawasi langsung pemerintah pusat,” jelasnya.
Ridwan juga berjanji akan memfasilitasi berbagai kebutuhan setiap agama. Dia berencana membantu umat beragama yang ingin menjalankan ibadah ke luar negeri, seperti Islam ke tanah suci, Kristen ke Yerusalem, atau Katolik ke Vatikan. Sebagai bagian dari upaya mengatasi isu pinjaman online (pinjol), dia mengusung program Kredit Mesra yang memberikan pinjaman tanpa bunga kepada masyarakat.
Panelis dan Mahasiswa Tinjau Gagasan Ridwan
Setelah pemaparannya selesai, panelis dan perwakilan mahasiswa mengulas kembali gagasan Ridwan dengan dalam sesi tanya-jawab. Dini Rahma Bintari sebagai panelis pertama mengajukan pertanyaan mengenai langkah preventif dalam mengurangi angka pengidap isu kesehatan mental melalui “Mobil Curhat” yang dicanangkan oleh Ridwan. Sebagai panelis kedua, Panji Anugrah Permana melontarkan pertanyaan yang berfokus pada peran birokrasi dalam realisasi gagasan Ridwan.
Dua mahasiswa yang hadir menambah daftar pertanyaan. Mahasiswa pertama mempertanyakan kemungkinan program hunian di atas pasar yang dapat mengancam kesejahteraan masyarakat. Pertanyaan tersebut muncul dari kekhawatiran masyarakat sebagai calon penghuninya terhadap berbagai aspek, seperti biaya sewa huni yang sangat besar hingga melampaui Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta, kebersihan lingkungan huni, dan keamanan lingkungan huni yang belum bebas dari pungutan liar
Berbeda dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, mahasiswa kedua mengajukan pertanyaan di luar gagasan Ridwan. Dia mempertanyakan gagasan Ridwan dalam penyelesaian masalah anak jalanan yang belum mendapatkan fasilitas pendidikan formal yang layak karena kurang terpenuhinya persyaratan administrasi, seperti akta kelahiran maupun kartu keluarga (KK).
Menanggapi pertanyaan pertama, Ridwan menuturkan bahwa “Mobil Curhat Keliling” adalah wujud kehadiran dan peran pemerintah ketika seseorang sedang mengalami kesulitan dalam menjangkau psikolog atau konselor dalam waktu yang relatif mendadak. Sebagai langkah preventif, Ridwan juga berupaya menggagas “Car Free Night” yang bekerja sama dengan para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan sanggar-sanggar budaya Betawi.
Perihal birokrasi, Ridwan berupaya untuk menjaring ajudan yang berstatus mahasiswa sebagai penerapan prinsip birokrasi yang dinamis dan inklusif. Untuk memenuhi transparansi dalam kinerja, dia mencanangkan aplikasi sebagai bentuk reportase kinerja pegawai negeri sipil (PNS).
Perihal kekhawatiran mahasiswa dalam lingkungan huni yang kurang aman dan nyaman, Ridwan percaya bahwa ‘pasar yang kumuh’ hanya muncul dari stereotipe dan perspektif masyarakat dalam memandang kondisi pasar. Meskipun begitu, Ridwan tetap menggagas upaya preventif dengan menyusun program pasukan rompi hijau yang berfokus pada pemeliharaan lingkungan, pasukan rompi oranye untuk mengatasi permasalahan kebersihan dan kebanjiran, serta pasukan rompi merah yang bertugas untuk menjaring anak-anak di perempatan jalan yang tidak sekolah agar segera didaftarkan pada instansi pendidikan formal. Akhir kata, Ridwan akan membawa permasalahan lainnya kepada sesama pemangku kebijakan dalam kerja sama program lainnya.
Teks: Anita Theresia dan Dela Srilestari
Editor: Jesica Dominiq M.
Foto: Dimas Azizi
Pers Suara Mahasiswa UI 2024
Independen, Lugas, dan Berkualitas!