Depok, Kota Sejuta Masalah yang (Masih) Kekurangan SMA Negeri

Redaksi Suara Mahasiswa · 27 April 2022
4 menit

Beberapa tahun ke belakang, Kota Depok, Jawa Barat seringkali menjadi top of mind dari mayoritas masyarakat Indonesia ketika sedang membicarakan daftar kota-kota yang menyimpan segudang masalah. Mulai dari kasus COVID-19 pertama di Indonesia, tata kota yang berantakan, lagu gubahan Walikota di lampu merah, hingga kasus ironi babi ngepet yang kembali mengangkat Depok ke dalam pusaran perbincangan khalayak ramai dengan rentetan kontroversinya. Masih menyimpan sejuta cerita, masalah Kota Depok tak sekedar berhenti disitu. Hingga kini, Depok memiliki masalah laten yang tak kunjung ditemukan solusinya, yakni minimnya SMA (Sekolah Menengah Atas) Negeri untuk jumlah pelajar di kota Depok. Kekurangan ini juga ditiban lagi dengan adanya ketimpangan infrastruktur pendidikan yang sangat jomplang antara satu sekolah dengan sekolah yang lain.

Minimnya Angka SMA Negeri di Kota Depok
Terhitung dari waktu artikel ini ditulis, terdapat lima belas SMA Negeri yang berdiri di Kota Depok. Jumlah tersebut masih sangat jauh dari kata cukup apabila membandingkan dengan data BPS Kota Depok yang menyebutkan bahwasannya jumlah anak usia sekolah di rentang 15-19 tahun pada tahun 2020 mencapai 10.582 orang. Sementara setiap tahunnya rata-rata satu SMA Negeri di Kota Depok hanya menerima 300-400 siswa saja. Dengan menggunakan matematika sederhana, berarti paling ‘banter’ hanya ada 6000 siswa yang mendapatkan bangku SMAN Negeri. Sedang ada 4000-5000 siswa yang harus mencari alternatif lain untuk bisa melanjutkan ke bangku sekolah menengah atau mengambil ‘jalur terburuknya’ adalah dengan “melanggengkan praktik KKN” hanya demi dapat mengenyam sekolah negeri idaman yang menjadi tujuan mereka. Nyatanya minimnya SMA Negeri ini membuka gerbang besar menuju praktik suap yang mengakar dan berkepanjangan.

Letak SMA Negeri di Kota Depok pun sama sekali tidak merata dan cenderung berpusat di Kecamatan Sukmajaya dan Sawangan, hal ini tentunya sangat merugikan para siswa yang memiliki domisili tempat tinggal diluar kedua wilayah tersebut karena belakangan di wilayah Jawa Barat diberlakukan sistem zonasi yang memberikan tambahan kredit nilai bagi para siswa yang memiliki kedekatan jarak dengan sekolah tujuan mereka.

Melalui UU No. 23 Tahun 2014 diatur pemindahan kewenangan pengelolaan sekolah menengah dari daerah ke provinsi. Oleh karena itu, kecarut marutan ini ditambah pula oleh sikap Pemerintah Provinsi yang terkesan lambat dalam melakukan pembangunan serta pemerataan sekolah-sekolah negeri yang berada di kawasan administratif tempat mereka bekerja.  

Walaupun dalam beberapa tahun terakhir Pemerintah Provinsi telah memulai pembangunan dua SMA Negeri, yakni SMAN 14 yang terletak di Beji dan SMAN 15 yang terletak di Abadijaya. Namun, keduanya belum bisa menjawab kebutuhan warga Depok akan infrastruktur pendidikan yang memadai karena masih harus menumpang dengan sekolah-sekolah lain yang bersedia meminjamkan ‘atapnya’ untuk melangsungkan kegiatan belajar mengajar siswa dan guru juga kegiatan administratif guru dan staff.

Ketimpangan Infrastruktur Antara Sekolah Satu dan Lainnya
Secara nyata kita dapat melihat ketimpangan baik dalam hal kualitas pembelajaran hingga pada infrastruktur gedung sekolah yang sangat ‘jomplang’ antara satu SMA dengan lainnya. Sebagai contoh, SMAN 3 Depok yang terletak di Jalan Raden Saleh, Sukmajaya memiliki gedung yang relatif layak dan mumpuni untuk dijadikan tempat belajar mengajar secara optimal. Namun, tidak sampai dua kilometer jauhnya dari SMA tersebut, ada SMAN 11 Depok yang belakangan baru mendapatkan gedungnya di tahun 2018. Kondisi SMAN 11 Depok pun berbeda jauh dengan SMAN 3 Depok yang memiliki infrastruktur pendidikan yang cukup lengkap karena tanah merah masih mendominasi lanskap SMAN 11 Depok. Hal tersebut melatarbelakangi banyaknya keluhan para siswa saat sekolah luring karena kondisi sekolah yang tidak bersahabat ketika musim hujan karena harus berkutat dengan bekas tanah merah dan jalan yang licin.

Hal ini merupakan satu dari sekian ketimpangan kualitas sekolah di Kota Depok. Aduan demi aduan pun sudah sering dilayangkan para orang tua murid yang merasakan kurangnya kualitas dari sejumlah infrastruktur pendidikan yang kemudian mempengaruhi semangat dan capaian akademik siswa. Namun, hingga kini belum ada upaya masif dan menyeluruh dari para stakeholder terkait penyelesaian permasalahan ini.

Kondisi Pandemi Sedikit Memberikan Napas
Ditemui di daerah Cilodong, tempat Ia biasa membeli makan, koresponden Suara Mahasiswa melakukan wawancara singkat dengan salah satu murid SMAN 11 Depok yang menolak disebutkan namanya. Ia menyebutkan bahwa kondisi bangunan sekolah tempat Ia belajar kurang mendukung untuk dilaksanakannya PTM (Pembelajaran Tatap Muka) secara efektif karena masih menumpang dengan sekolah lain. Dengan adanya PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) lumayan membantunya dalam menyiasati metode pembelajaran daring yang dirasanya mulai terasa nyaman belakangan ini.

“Selama PTM aku merasa kurang sreg dengan fasilitas yang ada karena memang kondisi bangunan yang masih menumpang dan tenaga pengajar yang masih belum bisa menyesuaikan diri. Tapi kalau untuk PJJ aku merasa kalau sistem ini udah cocok banget sama aku,” ujarnya.

Di masa pandemi ini, kita boleh berharap pemerintah provinsi Depok memiliki itikad baik untuk memanfaatkan momen daring ini untuk menyiasati masalah-masalah ini dengan membangun cukup banyak infrastruktur pendidikan yang nyaman sebelum pembelajaran tatap muka dilaksanakan kembali.

Dampak Riil dan Masif dari Kurangnya SMA Negeri di Depok
Jika menilik masalahnya dengan lebih mendalam, masyarakat dengan ekonomi menengah kebawahlah yang paling merasakan dampak dari permasalahan ini karena mereka seharusnya menyekolahkan anaknya di sekolah negeri yang mendapatkan subsidi pemerintah agar tidak harus menguras kantong terlalu banyak. Menurut salah satu narasumber yang juga meminta identitasnya disamarkan, Ia mengaku orang tuanya harus meminjam uang dari kerabat dan perusahaan untuk uang sekolahnya agar Ia dapat melanjutkan sekolah meski terpaksa di instansi swasta.

“Karena gua kemarin gak dapat di PPDB, orang tua gue harus susah payah mencari pinjaman sana-sini dengan pihak keluarga dan ke kantor cuma untuk membiayai gue sekolah di swasta,” Ujarnya.

Selain itu, pihak sekolah yang menangani penerimaan murid baru juga langsung mendapatkan imbasnya. Misalnya SMAN 1 Depok yang pernah mendapatkan protes dari rombongan orang tua murid pada tahun 2020 silam lantaran sistem zonasi PPDB yang seharusnya menguntungkan mereka, malah jadi sebaliknya.


Teks: Muhammad Akhtar Jabbaran
Foto: Detik.com
Editor: Syifa Nadia dan Dian Amalia

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!