Dalam dialog daring “Mewujudkan Indonesia yang Tanggap Kekerasan Seksual” yang diselenggarakan oleh HopeHelps pada Sabtu (20/02/2021), Asfinawati selaku Ketua YLBHI, mengatakan bahwa ketiadaan RUU PKS merupakan kondisi kekosongan hukum di Indonesia karena peraturan yang ada belum mengakomodasi pengalaman dan perspektif korban. Hal ini disebabkan oleh belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU-PKS). Di tengah absennya perangkat hukum yang berperspektif korban, selama ini kekerasan seksual masih ditindak menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Asfinawati menjelaskan bahwa KUHP hanya memuat hukuman untuk kasus pemerkosaan, sedangkan tindakan pelecehan seksual sama sekali berbeda dengan pemerkosaan. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, terdapat enam belas jenis kekerasan seksual dimana pemerkosaan hanya menjadi salah satunya. Menurut Asfin, KUHP tidak membantu semua korban yang mengalami jenis kekerasan seksual lainnya saat ini, sehingga RUU PKS harus masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2021 dan segera disahkan.
Selain itu, ia juga menyinggung sejumlah kasus aparat penegak hukum (APH) seperti kepolisian dan penjaga tahanan yang menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan kekerasan seksual. Sebagai contoh, seorang Bripka di Polres Poso, Sultra, memperkosa tahanan narkoba. Meskipun telah ditolak oleh para penjaga sipir setempat, tetapi pelaku mengabaikannya dan tetap memaksa masuk sel korban karena pangkat pelaku lebih tinggi. Kejadian serupa juga terjadi pada siswi SMK Swasta di malang yang diminta untuk berhubungan intim oleh seorang anggota Polantas sebagai ganti ‘damai’ tilang. Asfin menegaskan bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh APH seharusnya dibedakan dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh masyarakat biasa karena terdapat unsur jabatan yang disalahgunakan.
“Jadi, jika penegak hukum yang melakukannya (kekerasan seksual—red), berbeda dengan masyarakat biasa. Dia tidak hanya melecehkan secara seksual tapi juga menyalahgunakan wewenangnya,” tutur Asfinawati.
Menurut Asfin, seharusnya APH dapat ditindak lebih berat, tetapi pada realitanya seringkali pelaku tersebut hanya dikenai sanksi kepegawaian. Hal ini juga menjadi kekurangan dari peraturan hukum terkait kekerasan seksual yang ada saat ini.
Tidak hanya itu, perempuan yang telah berprofesi sebagai pengacara HAM sejak 2001 ini juga menyampaikan bahwa peraturan yang ada tidak cukup komprehensif karena hanya memuat unsur pemidanaan pelaku dan belum memuat unsur pemenuhan hak atas penanganan, perlindungan dan pemulihan bagi korban. Ia melanjutkan penjelasannya dengan memaparkan enam urgensi RUU PKS digunakan sebagai payung hukum, yakni RUU PKS memuat aturan-aturan mengenai pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan, penindakan pelaku, hingga pengawasan. Demi memutus rantai kekerasan seksual yang terus terjadi, Asfinawati juga mendesak setiap lembaga negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif untuk wajib menyelenggarakan pencegahan kekerasan seksual, diantaranya pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan infrastruktur.
“Kalau kita fokus ke bajunya korban terus, kapan kita mau benerin penerangan jalan atau keamanan transportasi publik,” ujar Asfinawati.
Asfinawati meyakini bahwa kekosongan hukum ini yang menyebabkan peningkatan kasus kekerasan seksual, budaya menyalahkan korban, hingga media-media yang tidak berperspektif korban sehingga diperlukan RUU PKS untuk segera mengisi kekosongan hukum tersebut dan memberikan perlindungan yang maksimal bagi seluruh korban kekerasan seksual.
“Kita sedang mengalami kekosongan hukum, itulah kenapa kita terus mengalami peningkatan kekerasan seksual, victim blaming, hingga media-media yang tidak berperspektif korban,” pungkasnya.
Teks: Dian Amalia A.
Foto: Dian Amalia A.
Editor: Syifa Nadia R.
Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas