Usai berkendara sekitar 10 menit dari Stasiun Kalideres, mobil kami berhenti pada sebuah bangunan tua bekas markas Komando Distrik Militer (Kodim) di sekitaran Kalideres, Jakarta Barat. Kondisi gedung tersebut terlihat kurang berseri: ilalang menjulang tinggi tak terawat, cat tembok kusam dan terkelupas, serta genangan air dimana-mana. Ketika pertama kali menginjakkan kaki, kesan pertama yang kami dapati adalah semerbak bau tak sedap dari selokan.
Tak ingin lama bermesraan dengan bau tak sedap, kami segera masuk kawasan gedung untuk menemui Raihan Ronny, Project Officer dari Arab for Refugees (Afgee), yang mengundang kami untuk meliput realita kondisi para pencari suaka di Kalideres. Afgee merupakan program kerja dari Ikatan Keluarga Asia Barat FIB UI yang berfokus pada isu pendidikan pengungsi dan pencari suaka.
Untuk menemui Ronny, langkah kaki kami tertuju pada musola di pojok gedung. Dari kejauhan, santer terdengar suara girang anak-anak kecil tertawa dan berlarian. Saat sampai di musola, belasan anak berwajah riang gembira sedang bermain bersama para anggota Afgee. Di tengah gaduh tawa, kami bertemu dan berbincang dengan Ronny. Sedikit banyak Ronny bercerita mengenai nasib para pencari suaka Afghanistan di Kalideres yang sebenarnya cukup memprihatinkan.
Berdasarkan pemaparan Ronny, terdapat sekitar 150 pencari suaka asal Afghanistan yang menghuni bekas markas militer di Kalideres sebagai tempat tinggal sementara mereka. Tentu jumlah ini tidak proporsional apabila dibandingkan dengan luas gedungnya. Mau tak mau para pencari suaka harus memutar otak untuk berbagi tempat agar gedung tersebut cukup untuk ditinggali bersama. Mereka kemudian membangun tenda-tenda atau ruangan kecil dari terpal sebagai pengganti kamar untuk masing-masing keluarga.
“Kami melihat tempat tidur mereka seperti apa, miris, ya. Bisa dikatakan ini barely decent enough untuk bisa dianggap sebagai shelter atau tempat istirahat untuk manusia. Atapnya juga udah banyak yang bocor, jadi kalau hujan rembes ke dalam gedung,” jelas Ronny.
Sebagian pencari suaka pernah tinggal di pinggir jalan, sebelum akhirnya dipindahkan ke barak militer pada Juli 2019. Selain ruangan, listrik juga menjadi problematika utama para pencari suaka Kalideres. Pasalnya, pemerintah telah memutus listrik gratis dan kini mereka harus membayar listrik sendiri.
Tentunya, hal ini menimbulkan kebingungan untuk para pencari suaka, sebab mereka tidak memiliki hak untuk bekerja namun diminta untuk membayar listrik sendiri. Air di daerah Kalideres pun payau, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi, karenanya air mereka hanya dapat dipakai untuk mandi dan mencuci piring saja.
“Mereka dikasih bangunan, tapi listrik dan air disuruh bayar sendiri. Di daerah kalideres airnya kan payau, jadi nggak layak konsumsi. Itu kenapa mereka harus membeli air bersih,” ujar Ronny.
Namun, apa boleh dikata. Hidup serba adanya harus mereka jalani untuk dapat bertahan hidup sembari menunggu hasil RSD (Refugee Status Determination) keluar yang tidak pasti kapan waktunya tiba. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) melakukan screening dalam waktu yang lama sehingga pencari suaka harus menunggu berpuluh-puluh tahun tanpa ada kepastian jangka waktu di negara transit. UNHCR dinilai tidak memikirkan hak asasi para pencari suaka karena melakukan pembiaran terhadap status pencari suaka yang belum juga dianggap sebagai pengungsi. Perlu diketahui, terdapat perbedaan makna antara status pencari suaka dan pengungsi:
Pencari Suaka: orang yang meminta perlindungan sebagai pengungsi di luar wilayah atau negara tempat tinggalnya, namun belum diakui sebagai pengungsi. Pencari suaka tidak mendapatkan hak-hak dasar seperti hak pendidikan, hak kesehatan, hak bekerja, dsb. Untuk mendapatkan pengakuan dan hak sebagai pengungsi, pencari suaka harus menjalani proses penentuan status pengungsi (RSD).
Pengungsi: orang yang telah memenuhi kriteria sebagai pengungsi berdasarkan Konvensi 1951/Protokol 1967 bahwa ia mendapat persekusi di tempat tinggalnya karena ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan suatu kelompok, atau perbedaan pandangan politik. Setelah mendapat pengakuan, pengungsi berhak mendapat bantuan dan perlindungan dari negara penanggung atau UNHCR hingga dia mendapatkan solusi berupa penempatan (resettlement), pemulangan sukarela, atau integrasi lokal (naturalisation). Setiap pengungsi adalah pencari suaka, namun tidak semua pencari suaka adalah pengungsi.
Indonesia sebenarnya hanya tempat singgah atau transit sebelum akhirnya para pencari suaka ini dapat bergerak menuju negara tujuan (resettlement countries) sebagai tempat untuk berlindung secara permanen. Melansir data UNHCR per Oktober 2022 terdapat 13.100 orang terdaftar di kantor UNHCR di Indonesia, yang hingga kini digantungkan nasib RSD-nya dan tidak tahu kapan akan dipindahkan ke negara tujuan.
Diusir dari Tanahnya, Mengapa Mereka Mencari Suaka?
Bukan bencana alam maha dahsyat atau ledakan bom nuklir, yang membuat mereka berbondong-bondong menyeberangi bumi dan laut ribuan mil jauhnya dari tanah kelahiran mereka, melainkan karena mereka berbeda dengan komunitas Afghanistan lainnya. Etnis Hazara adalah salah satu kelompok etnis minoritas yang menganut ajaran Islam Syiah di tengah mayoritas penduduk Afghanistan yang menganut ajaran Islam Sunni.
Mereka mengalami penderitaan sepanjang sejarah karena diskriminasi kelompok ekstremis Taliban terhadap etnis dan kepercayaan mereka. Intoleransi tersebut yang kini membuat hidup mereka terhimpit antara pilihan mati di tangan Taliban atau nekad hidup terombang-ambing di negeri orang.
“Selama berabad-abad, orang-orang Syiah dan Hazara mengalami diskriminasi, penganiayaan, diperangi. Sampai pada tahun 1883, sebanyak 62% orang-orang Hazara dibunuh, dan sekarang (pembunuhan-read) itu terulang kembali. Khususnya dalam satu tahun terakhir, ketika pemerintahan Republik Afghanistan runtuh dan digantikan lagi oleh Taliban,” tutur Hassan Ratteq, koordinator pencari suaka kamp Kalideres.
Taliban adalah kelompok ekstremis yang menerapkan interpretasi ketat terhadap hukum agama di Afghanistan. Pada era 1990-an, Taliban menerapkan hukum Syariah termasuk peraturan ketat untuk perempuan dan ‘pembersihan’ etnis minoritas disertai dengan hukuman keras berupa eksekusi publik, cambuk, dan amputasi. Berbeda dengan Taliban yang menganut keras ajaran Sunni, etnis Hazara yang mayoritas menganut Syiah menjadi sasaran persekusi, penindasan, dan pembantaian oleh Taliban selama lebih satu abad. Setidaknya saat Taliban memerintah tahun 1990-an lalu, sekitar 15.000 orang Hazara dihabisi oleh darah dingin Taliban.
Masa keruntuhan pemerintahan Taliban 20 tahun yang lalu, bagai angin sejuk yang membebaskan mereka dari kutukan. Saat itu, kehidupan etnis Hazara berangsur-angsur maju karena diberikan hak-hak dasar seperti pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan. Sayangnya, umur angin ini tidak begitu panjang, dua puluh tahun kemudian, mereka kembali disesaki trauma persekusi karena penarikan pasukan AS dan NATO dari Afghanistan yang menjadi kunci kembalinya kekuasaan Afghanistan ke tangan Taliban.
Pada bulan-bulan sebelum pengambilalihan Taliban di tahun 2021 lalu, serangan kekerasan terhadap Hazara muncul kembali. PBB mendokumentasikan setidaknya 20 insiden yang menargetkan warga sipil Syiah/Hazara dalam enam bulan pertama tahun 2021, yang menewaskan 143 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Pada Mei 2020, orang-orang bersenjata membunuh 24 orang, termasuk perempuan dan bayi.
Satu tahun kemudian, sebuah pengeboman terjadi menewaskan hampir 80 siswi Hazara, dan pada Juli 2021, Taliban membantai sembilan pria Hazara di distrik Malistan. Belum lama ini, pada Jumat, 30 September 2022, terjadi lagi serangan bom bunuh diri di Dasht-e-Barchi, lingkungan tempat tinggal etnis Hazara. Etnis Hazara dibantai di mana-mana, di rumah, di sekolah, klub olahraga, masjid, bahkan rumah sakit. Tidak terhitung anak-anak yang meninggal sia-sia karena kekejaman Taliban.
Rangkaian genosida ini menghantui etnis Hazara yang tinggal di Afghanistan. Hal ini kemudian membuat mereka mempertaruhkan hidupnya, meninggalkan semua yang mereka miliki, untuk melintasi perbatasan negara yang sebenarnya belum tentu aman bagi mereka. Sebuah ongkos yang begitu besar untuk menoreh secercah kedamaian. Termasuk diantaranya adalah mereka yang saat ini menetap di kamp pengungsian bekas markas militer di Kalideres, Jakarta Barat, Indonesia. Kamp pengungsian ini diisi oleh orang-orang Afghanistan, mayoritas berasal dari etnis Hazara.
“Ada 7.500 orang Hazara dari Afghanistan di sini (di Indonesia-read) sebagai pengungsi. Saya salah satunya, perang dan persekusi-lah yang menyebabkan saya meninggalkan Afghanistan dan berada di sini,” jawab Hassan sambil menunduk.
Hassan Rateq (43), koordinator pencari suaka kamp Kalideres menceritakan bahwa saking terbiasanya Taliban membunuh etnis Hazara, mereka dapat mengenali Hazara hanya dari postur fisik, yang perawakannya memang cukup berbeda dengan kelompok Taliban.
“Taliban memiliki perawakan yang besar, berjenggot, berkumis, dan sebagainya tetapi etnis Hazara sama seperti orang Indonesia, secara fisik lebih kecil … oleh karena itu Taliban bisa langsung tahu dan membunuh Hazara dengan hanya melihat perawakannya,” terang Hassan.
Taliban memaksa lebih dari 4.000 Hazara untuk pergi dari rumah mereka dan mengklaim bahwa mereka tidak memiliki kepemilikan atas tanah mereka, membuat mereka terdampar tanpa makanan dan tempat berlindung saat musim dingin yang keras. Janji Taliban untuk memoderasi kebijakannya hanya untuk menipu dan ‘menyenangkan’ komunitas internasional. Hingga detik ini, pembersihan terhadap etnis minoritas terus terjadi dan mewariskan trauma dan mimpi buruk yang dalam bagi ribuan jiwa.
“Orang Syiah dan Hazara tidak pernah merasa aman, umur saya 40 tahun, saya lahir di tahun ketika perang di Afghanistan dimulai, dan saya masih menghadapi perang ini. Jadi, saya lahir dan tumbuh di antara peperangan. Saya tidak pernah merasa aman,” ungkap Hassan.
Terapung Tanpa Sampan, Hidup Pencari Suaka Di antara Ketidakpastian
“Karena mereka tidak bisa bekerja, tidak ada pemasukan, mereka mengandalkan donasi dari yayasan, atau, ya, relawan seperti kita saat ini,” tutur Ronny.
Sepanjang menjalani kehidupan di Indonesia, para pencari suaka menyandarkan nasibnya pada bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tak ada pilihan, pencari suaka terpaksa menjadi tidak berdaya karena tak memiliki hak bekerja, hak atas kesehatan, dan hak atas pendidikan. Alasannya, sebab Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Kondisi ini membuat para pencari suaka terkungkung, hidup tetapi tanpa memiliki hak-hak dasar kemanusiaan.
Yang cukup menyayat hati ketika berada di kamp pengungsian Kalideres, adalah saat melihat anak-anak harus tumbuh dan berkembang bersama ketidakpastian nasib mereka. Anak-anak yang berlarian dengan riang itu tak dapat merasakan bagaimana rasanya mendapatkan pendidikan yang layak. Sumber pendidikan mereka berasal dari para relawan seperti Afgee atau Refugee Child EduCare (Recheck), sebuah komunitas pengabdian masyarakat di bawah Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) dengan fokus pengajaran bahasa Indonesia kepada pencari suaka anak-anak.
Beberapa anak di atas lima tahun sudah dapat berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih, menulis, juga berhitung. Bahkan, saking sedari kecil telah hidup dan tinggal di Indonesia, mereka sampai mengetahui berbagai istilah gaul yang hidup di tengah masyarakat. Namun, tak semua anak sudah fasih berbahasa Indonesia, beberapa hanya dapat berbahasa ibu, yakni bahasa Persia Afghanistan (Dari). Kebutuhan pendidikan penting bagi anak-anak pencari suaka untuk perkembangan intelektual dan motorik mereka. Namun, akibat keadaan, mereka tidak bisa merasakan pendidikan selayaknya yang diterima oleh anak-anak sebayanya.
Selain pendidikan, ekonomi pun merupakan masalah utama. Karena donasi tak selamanya datang, pencari suaka mesti memutar otak untuk mendapatkan tambahan uang secara legal. Misalnya Pak Hassan, ia mencari benih-benih uang dengan menjadi freelance web developer di luar negeri lewat internet.
Masalah ekonomi juga menyulitkan para pencari suaka dalam mengakses layanan kesehatan. Tak seperti penduduk Indonesia yang bisa berobat dengan biaya murah karena dibantu asuransi kesehatan, pencari suaka harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli obat di rumah sakit swasta. Terlebih jika mereka menjadi korban kriminalitas, sulit untuk mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah Indonesia.
Hingga saat ini, Indonesia belum menjadi negara pihak dari Konvensi Pengungsi 1951, maka kewenangan dalam menjalankan mandat perlindungan pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia diserahkan pemerintah kepada United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Oleh karenanya, segala bentuk pendanaan pencari suaka diserahkan pada UNHCR Indonesia.
Memang, UNHCR dan International Organization for Migration (IOM) selaku penanggungjawab masih memberikan bantuan dana kepada pencari suaka Kalideres. Namun, bantuan tersebut senilai 1,5 juta per bulan per keluarga. Itu pun pemberiannya tidak rutin setiap bulan. Nominal ini jauh dari cukup untuk membiayai kehidupan satu bulan untuk semua anggota keluarga di Jakarta. Hal ini diungkap oleh Dupuis Sola Scriptura, Project Officer Recheck.
“Uang mereka itu seharusnya dari IOM dan UNHCR, per bulan per keluarga hanya diberi 1,5 juta,” tutur Dupuis ketika kami wawancarai.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan Dupuis selama menjalankan proyek pengabdian masyarakatnya di Kalideres, selain dari donasi, ada pencari suaka yang mendapat kiriman uang dari sanak saudara di negara lain, misalnya dari Afghanistan yang tidak terdampak konflik atau saudara imigran mereka yang sudah berhasil resettlement dan bekerja.
Dupuis turut menyoroti proses resettlement para pencari suaka yang begitu lama sebab negara yang dituju, yakni Australia masih tutup alias belum menerima masuknya para pengungsi sejak beberapa tahun terakhir. Menurut Dupuis, selain menggunakan skema pemindahan, Indonesia dapat memberi kepastian hukum kepada para pencari suaka.
“Skemanya dengan pemindahan itu, atau di Indonesia dibuat kepastian hukumnya, dimana kita berarti bukan negara transit lagi,” terang Dupuis.
Masalahnya kembali pada titik Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi. Regulasi terkait pengungsi pun hanya berpayung pada PERPRES No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Tak memadainya payung hukum, tak adanya hak-hak dasar, serta proses resettlement yang lama dan berbelit-belit, membuat hidup para pencari suaka terus terkatung-katung. Terapung tanpa adanya sampan untuk mendayung sampai ke negara tujuan mereka, di mana mereka bisa mendapatkan hak-hak asasi manusia sepenuhnya.
Ketika UNHCR Bungkam, Pencari Suaka Kalideres: “Jangan Lari Dari Tanggung Jawab Utama Kalian Sendiri!”
Sebagai lembaga yang memayungi dan menentukan nasib seluruh pencari suaka di Indonesia, UNCHR idealnya berdedikasi untuk menyelamatkan banyak hidup dan membela hak asasi para pencari suaka ini. Di mata para pencari suaka Kalideres, UNCHR Indonesia tidak berhasil memenuhi kewajiban mereka untuk menjamin kehidupan yang layak bagi para pencari suaka. Selama hampir belasan tahun, mereka tak segera mendapat kepastian resettlement, baik dari pihak UNHCR maupun pemerintah Indonesia.
“Kami telah melakukan begitu banyak aksi damai, hingga berkali-kali berdiskusi dengan pihak pemerintah Indonesia, juga UNHCR Indonesia. Semua pihak menolak permintaan kami, menolak melaksanakan kebijakan yang mereka janjikan sendiri. Kami merasa sudah berusaha dengan segala kemampuan kami, namun semua pihak tetap bungkam,” ujar Hassan mengutarakan kekecewaannya.
Menurut Hassan dan pengungsi Kalideres lainnya, ada alasan politik di balik rumitnya pengaturan hidup pengungsi di Indonesia, yang membuat mereka hingga saat ini terkatung-katung tanpa kepastian. Hassan menegaskan bahwa tak ada alasan dengan argumentasi yang gamblang mengapa hal ini terjadi.
“Ini berarti mereka (UNHCR-read) tak peduli dengan HAM, maupun para pencari suaka. Mereka hanya peduli terhadap bisnis dan segala cara dilakukan untuk mempertahankannya, “ ucap Hassan.
“UNHCR memanipulasi hasil suara dan mengabaikannya. Mereka mengabaikan hak manusia untuk turut serta dalam voting. Jika UNHCR saja menyalahi HAM yang tertulis di deklarasi mereka sendiri, apalagi yang bisa kita harapkan?” jelas Hassan.
Di penghujung wawancara, kami menanyakan ekspektasi Hassan dan pengungsi lain untuk UNHCR, ia hanya tersenyum pahit mengatakan, “Harapan kami sangat sederhana, yaitu mereka melakukan pekerjaan mereka. Jangan lari dari tanggung jawab. Harusnya bahkan kami tak perlu berekspektasi, karena mereka digaji dan dipekerjakan karena keberadaan kami sebagai pengungsi. Organisasi ini ada dalam rangka membantu para pengungsi untuk mendapatkan hak-hak mereka kembali,” tutup Hassan.
Sementara itu, Pemerintah Indonesia dapat berupaya membantu pencari suaka dengan meningkatkan kuota dan mendorong percepatan proses penempatan pengungsi ke negara tujuan (resettlement) melalui mandat yang dilakukan oleh UNHCR.
Teks: Dian Amalia Ariani, Dita Damara, M. Rifaldy Zelan
Kontributor: Syifa Nadia
Editor: Syifa Nadia
Ilustrator: Faiq Firni
Foto: Fasel Yemix, Faiq Firni
Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!