Logo Suma

Di Rawa Kerbau, Tumbuh Manis Gulo Puan

Redaksi Suara Mahasiswa · 24 Mei 2025
10 menit

Embun masih bergelayut di ujung ilalang saat Mulyadi menggiring kerbau-kerbau jantan menuju tepian rawa, di Desa Bangsal, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel). Tangannya cekatan memerah susu dari induk kerbau betina, menampung tetes demi tetes cairan putih pekat yang kelak akan diolah menjadi gulo puan—kudapan manis khas Sumsel.

“Kadang (proses pemerahan) kita 2 jam-lah,” ujar Mulyadi. Biasanya, ia memulai proses pemerahan susu dari pukul 05.00-07.00 WIB, atau kadang dari pukul 06.00-08.00 WIB.

Mulyadi yang sedang memerah susu kerbau rawa. Foto: Dela S.

Tak jauh dari tempat Mulyadi memerah susu, sejumlah kerbau tampak merumput. Mulyadi bilang, sejak pagi ternak-ternak tersebut sudah terbiasa mencari makan sendiri dan berendam di rawa untuk membersihkan diri. Berbeda dengan kerbau biasa, kerbau rawa memiliki kebiasaan unik, mereka tak hanya merumput di daratan, tetapi juga menyelam ke dalam air untuk mencari makanan.

“Awalnya kan diarek (dipelihara), ndak dikasih makan, mereka cari makan sendiri. Mereka juga bisa makan sambil nyelam sepuluh menit, mereka kadang makan di dalam air, kalau kerbau-kerbau yang lain kan kadang ndak bisa,” kata Mulyadi.

Hal serupa juga dituturkan oleh Ali, Sekretaris Desa (Sekdes) Bangsal. Ia juga peternak kerbau. Ali mengatakan, kerbau rawa memiliki kebiasaan yang agak berbeda dibandingkan dengan kerbau yang diternakkan atau ditalang. Mereka selalu berkubang di cekungan alami yang disebut lebung.

“Nah, di kerukan itulah kerbau rawa di saat musim panas, jam 12 gitu, dia berendam di dalam kerukan lebung,” ujarnya.

Ali menjelaskan, kebiasaan berkubang ini bukan sekedar untuk menyejukkan diri, tetapi juga untuk melindungi tubuh kerbau dari serangan lalat dan nyamuk. Ciri khas kerbau rawa (Bubalus bubalis carabauesis) lainnya, lanjut Ali, juga adalah berkulit dan bulu warna hitam dengan kepala besar, telinga panjang, serta tanduk pendek dan melingkar ke arah belakang.

Para kerbau rawa yang bersiap untuk merendamkan diri. Foto: Dela S.

Mulyadi mengatakan, susu yang dihasilkan kerbau rawa memiliki kualitas berbeda, dipengaruhi oleh jenis pakan dan kondisi lingkungan. Pada musim panas, produksi susu cenderung berkurang karena rumput menjadi kering.

“Kalau makannya kurang karena musim panas, ndak diperas dia. Kasihan sama anaknya,” ucap Mulyadi pelan.

Dalam sehari, seekor kerbau bisa menghasilkan hingga dua liter susu, tetapi Mulyadi selalu menyisakan sebagian untuk anak kerbau. Proses pemerahannya pun membutuhkan teknik khusus, susu induk kerbau terlebih dahulu harus dipancing melalui sang anak.

“Jadi dia nyusu kemudian susunya baru kita ambil,” ucap Ali menimpali.

Ali menambahkan, anak kerbau yang dimanfaatkan pun harus yang berusia satu hingga tiga bulan, sebab jika mengambil di bawah satu bulan, maka dikhawatirkan akan terjadi stunting. Kemudian jika kerbau yang dimanfaatkan di atas usia tiga tahun, maka kerbau tersebut akan dibiarkan menyusu terlebih dahulu, baru susu induknya diperah sebab dikhawatirkan sang anak akan mudah menggigit.

“Di kandang itu, ada kandang khusus lagi untuk anak. Anaknya dipisahkan kan, kalau pagi-pagi kita lepaskan. Jadi sama-sama dia nyusu sama induknya, kemudian yang sebelahnya kita ambil susunya,” katanya.

Susu kerbau rawa yang baru saja diperah. Foto: Dela S.

Usai memerah, imbuh Ali, biasanya para peternak akan menjual susu kepada para pembuat gulo puan atau pelanggan yang telah memesan terlebih dahulu. Dalam sehari, dengan jumlah 31 ekor kerbau yang dimilikinya, Ali bisa mengumpulkan sekitar empat cupak susu (1 cupak biasanya satu 1,5 liter), yang dijual dengan harga Rp25.000 per liter. Namun, pendapatan tersebut tidak pasti karena semua tergantung pada seberapa banyak susu yang dihasilkan oleh kerbau.

Bukan hanya soal bagaimana kerbau menghasilkan susu, tetapi juga seni merawat kerbau rawa yang menjadi perhatian utama para peternak. Ia harus memastikan agar ternaknya tetap sehat dengan memberikan suntikan vitamin dan antibiotik jika diperlukan.

“Kalau dia merasa kurang sehat badannya kan, nanti dikasih vitamin atau antibiotik, yang kadang dikasih dari Dinas Peternakan, kadang dibeli juga,” tutur Mulyadi.

Tanda-tanda kesehatan kerbau, masih kata Mulyadi, dapat dikenali saat mereka pulang menjelang sore. Kerbau yang sehat biasanya terlihat dari mulutnya yang berkenyol (berkenyal) atau menggiling makanan, serta hidungnya yang berkeringat. Sebaliknya, jika kerbau tidak menunjukkan tanda-tanda tersebut, maka kemungkinan besar kondisinya kurang sehat.

Untuk mengatasinya, peternak biasanya terlebih dahulu memberikan air garam. Jika kondisi kerbau tidak membaik, barulah dilakukan penyuntikan.

Mulyadi mengakui, kerbau betina tak melulu diperah susunya, tapi juga dijual. Ketika sudah melahirkan sebanyak delapan atau sepuluh kali, biasanya kerbau betina akan dijual karena dianggap sudah tua.

Harga jual kerbau tua ini bervariasi, tergantung kondisi fisiknya. Jika masih gemuk dan sehat, harganya bisa mencapai lebih dari Rp10 juta per ekor. Namun, jika kondisinya kurang baik, harganya bisa jauh lebih rendah, sekitar Rp4 jutaan.

“Tergantung kalau dia masih gemuk, kadang di atas Rp10 juta," lanjutnya.

Sistem Paroan yang Mengikat Kepercayaan

Sistem pengelolaan ternak di Desa Bangsal tidak hanya bergantung pada kepemilikan pribadi, tetapi juga menggunakan sistem gaduan atau yang dalam bahasa setempat disebut paroan. Ali menjelaskan bahwa sistem ini sudah diterapkan secara turun-temurun dari nenek moyang oleh masyarakat setempat.

“Misalnya adik punya kerbau, saya yang pelihara. Dengan dua perjanjian, ada yang hilang ganti dan hilang tidak ganti,” ujar Ali.

Dalam sistem hilang ganti, jika kerbau yang dipelihara hilang, maka si pemelihara harus mengganti kerbau tersebut. Namun, sebagai gantinya, hasil dari kerbau—baik susu maupun anaknya—dibagi dua antara pemilik dan pemelihara.

“Misalnya, kalau kerbau yang saya pelihara itu beranak, anaknya kita bagi dua. Kalau kerbau itu dijual, hasilnya juga dibagi dua," katanya.

Sementara itu, dalam sistem hilang tidak ganti, jika kerbau hilang, pemelihara tidak wajib menggantinya, tetapi hasil dari kerbau dibagi tiga. Artinya, jika seekor kerbau melahirkan anak, pemilik mendapatkan dua bagian, sedangkan pemelihara mendapat satu bagian. Namun, Ali mengatakan bahwa sistem bagi tiga ini mulai ditinggalkan karena dianggap merugikan peternak.

"Tapi sekarang itu, bagi tiga sudah enggak diperlakukan lagi karena peternak merasa rugi," ucap Ali.

Suka Duka Kehidupan Kerbau Rawa

Ali mengatakan, hidup kerbau rawa sebenarnya tak seliar seperti kelihatannya. Banyak pergulatan yang harus dilalui para peternak akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit yang mengancam habitat mereka.

Lahan-lahan yang dahulu menjadi tempat merumput dan berkubang bagi kerbau kini berganti menjadi perkebunan monokultur yang tertutup rapat. Kerbau rawa berasal dari Desa Bangsal, yang biasanya menggembala di desa-desa tetangga terpaksa harus luntang-lantung.

“Memang kerbau-kerbau rawa Desa Bangsal ini makannya ke desa-desa tetangga kan, seperti di Pulau Betung, tapi dia kerja sama dengan perkebunan. Jadi secara otomatis dibuka perkebunan untuk Pulau Betung, padahal di situ gambutnya tebal,” katanya.

Setelah dibukanya lahan untuk perkebunan kelapa sawit, lanjut Ali, ternak kerbau tidak diperbolehkan masuk ke dalam perkebunan, karena dikhawatirkan akan memakan tanaman sawit hingga terkadang menimbulkan selisih paham antara peternak dengan pihak perkebunan.

“Memang ada petugas dari perkebunan untuk menjaga supaya kerbau ini tidak masuk dalam perkebunan. Kadang-kadang ditembak pakai senapan angin, memang tidak terlalu kuat, paling pelurunya itu menempel saja di kulit. Tapi itu merugikan peternak, kan kerbaunya jatuh luka,” tutur Ali.

Tak hanya itu, masalah penyakit hewan juga menjadi tantangan bagi para peternak kerbau rawa, seperti penyakit Septicemia Epizootica (SE) dan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang pernah menyerang kerbau-kerbau di Desa Bangsal pada 2024. Menurut kabar yang beredar, imbuh Ali, virus SE berasal dari Jambi melalui udara dan kerbau-kerbau yang dibeli dari luar desa.

Kabar itu menyebutkan, seorang penduduk dari Kecamatan Pangkalan Lampam, yang bekerja di Jambi, pulang dan menjual seluruh kerbaunya di Kecamatan Air Sugihan. Ketika peternak bertanya alasan penjualan tersebut, ia mengatakan bahwa langkah itu hanya sementara karena wilayah Jambi sudah terpapar virus SE. Dugaan itu pun terbukti saat lebaran 2024, ketika wabah benar-benar menyebar.

“Memang betul di saat lebaran kemarin 2024, Desa Bangsal itu terkena pertama kali itu di kandang saya. Setelah, di Air Sugihan terdampak hampir 300an ekor, di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan itu hampir 200 ekor kerbau yang mati terdampak dari virus SE,” tutur Ali.

Begitu pun dengan virus PMK yang juga menyebar melalui udara ke pakaian yang dikenakan para peternak, sehingga ketika peternak memasuki kandang maka lazimnya virus PMK akan menyerang tubuh kerbau. Meski telah mendapatkan bantuan vaksin dari dinas peternakan, para peternak tetap khawatir kedua virus tersebut menular hingga kerbau yang terdampak, biasanya akan dikubur atau dibakar agar tidak menular ke kerbau lainnya.

Dari Warna Putih Menjadi Coklat Keemasan

Kembali ke susu kerbau. Setelah diperah, susu segar akan segera disalurkan kepada para perajin gulo puan, termasuk Taliha. Di ruang tengah rumahnya yang sederhana, Taliha tengah bersiap untuk membuat gulo puan. Sambil bersiap mengolah gulo puan, ia bercerita bahwa dahulu terdapat enam perajin di Kecamatan Pampangan, tetapi seiring berkurangnya jumlah susu kerbau, kini hanya tersisa tiga perajin yang masih aktif.

Setiap perajin memiliki ciri khas dalam produksi gulo puan. Ada yang membuatnya lebih basah agar cepat terjual, sementara yang lain memilih tekstur lebih kering agar lebih tahan lama. Taliha sendiri tetap mempertahankan takaran warisan nenek moyangnya.

"Kalau kami masih turunan dari nenek dulu, takarannya enam liter susu, satu kilo gula. Ada juga yang pakai lima atau empat liter, tergantung masing-masing perajin. Gula itu sendiri pengawetnya," tuturnya.

Menurut Taliha, susu kerbau rawa dipilih karena kualitas dan produksinya yang melimpah di Desa Bangsal. Pernah suatu kali, Taliha mencoba membuat gulo puan dengan susu UHT (ultra-high temperature), tetapi hasilnya berbeda. Teksturnya menjadi lebih keras seperti permen. Hal ini terjadi karena susu UHT tidak mengandung minyak alami seperti halnya susu kerbau.

Pembuatan gulo puan bermula dari susu kerbau segar yang diperas dan dimasak perlahan dengan gula pasir dalam wajan besar. Seiring waktu, cairan putih itu berubah warna menjadi coklat keemasan, mengeluarkan aroma khas yang menguar memenuhi ruangan. Proses ini bisa memakan waktu hingga dua jam lebih, dengan pengadukan yang harus dilakukan secara konstan agar tidak gosong.

Menurut cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi, gulo puan pertama kali dibuat oleh nenek moyang mereka untuk mengolah susu kerbau yang tidak terpakai. Dahulu, susu yang tidak dikonsumsi akan difermentasi menjadi dadeh atau dadih, bagian atas susu.

Namun, karena daya tahannya yang terbatas dan permintaan yang semakin berkurang, masyarakat mulai beralih ke pembuatan gulo puan. Kini, gulo puan menjadi ciri khas Desa Bangsal.

"Di Kecamatan Pampangan, ada juga di desa sebelah, tapi orang-orang tetap mencarinya ke sini. Katanya kalau di sini asli, kalau di desa lain ada yang dicampur ubi biar banyak hasilnya," kata Taliha.

Gulo puan tak sekadar kudapan, tetapi juga memiliki nilai sejarah yang mendalam bagi masyarakat Desa Bangsal. Gulo puan yang dibuat dari susu kerbau dan gula pasir dulunya merupakan upeti atau pemberian kepada Kesultanan Palembang. Saat itu, masyarakat Bangsal dan Desa Kuro—tetangga Desa bangsal, merupakan keturunan Kesultanan Palembang yang kemudian pindah ke arah Pampangan.

Menurut penuturan Ali, Desa Bangsal adalah desa yang pertama kali mulai mengambil susu kerbau. Namun, tidak semua kerbau bisa diperah susunya, hanya yang sudah terbiasa dan tidak agresif. Seorang warga bernama Usman disebut-sebut sebagai orang pertama memerah susu kerbau dan menemukan gulo puan.

Penjaga Tradisi Gulo Puan

Gulo itu artinya gula, puan itu artinya kerbau betino, makanya gulo puan itu susu kerbau betino,” tutur Ena, perajin tertua di Desa Bangsal.

Perempuan yang kini hampir berusia 70 tahun itu telah mengabdikan hidupnya pada aroma manis gulo puan. Selama lebih dari tiga dekade, tangannya tak lepas dari panci tembaga, mengaduk susu kerbau yang perlahan berubah menjadi karamel pekat berwarna keemasan. Ia adalah generasi keempat dalam keluarganya yang menjaga tradisi ini—dimulai dari buyutnya, lalu diteruskan ke nenek dan ibunya, hingga akhirnya berlanjut di tangannya.

Pagi itu Ena tengah bersiap membuat gulo puan dengan penuh kesabaran di rumah panggung kayunya. Jarum jam menunjukkan pukul 10.00 WIB saat ia menuang susu kerbau segar ke dalam kuali besar, mencampurnya dengan gula putih yang siap melebur dalam panas api kompor.

Tangannya yang tampak sedikit keriput tetap lincah mengaduk cairan dengan spatula kayu, berulang kali, selama lebih dari dua jam—mengikuti ritme yang telah ia hafal sejak muda. Perlahan, panas mengubah tekstur susu dan gula menjadi lebih pekat, menebarkan aroma harum yang memenuhi seisi rumah.

Ena yang sedang membuat gulo puan. Foto: Dela S.

Ketika ditanya mengapa masih terus membuat gulo puan, Ena menjawab, “La men ado puannyo, idak diputus-putus, idak. Digawek terus men ado puannyo. Kalu dio ni kebo dak beranakan, tarok beranak besak boleh dikit puannyo. Jadi buatnyo dikit, idak berenti-berenti, idak, buat terus (produksi gulo puan itu tidak terputus selama ketersediaan susu kerbaunya ada. Jika kerbau tidak bereproduksi atau tidak beranak dan anak kerbau sudah mulai besar maka produksi air susu kerbau ketersediaannya menjadi sedikit atau terbatas),” katanya sambil tersenyum.

Matanya yang teduh mengawasi cairan yang perlahan mengental dan berubah warna. Menurutnya, ada perbedaan takaran di antara para perajin. Jika Taliha menggunakan takaran enam liter banding satu gula kilo, maka Taliha diwariskan empat takaran cupak untuk satu kilo gula.

Setiap perajin memiliki takaran khas dalam pembuatan gulo puan. Jika Taliha menggunakan takaran enam liter susu per satu kilogram gula, maka Ena menggunakan empat takaran cupak untuk satu kilogram gula.

Proses pembuatan gulo puan pun memiliki aturan tersendiri. Setelah bagian atas susu yang disebut dadih dipisahkan, sisa susu diolah dengan gula hingga mencapai konsistensi yang diinginkan. Beberapa perajin menggunakan gula merah, tetapi menurut Ena, hal itu membuat gulo puan lebih sulit diawetkan dan warnanya lebih gelap.

Dari produksi gulo puan, lahirlah berbagai inovasi produk turunan seperti dodol puan, sogun puan, sarikaya, hingga yogurt jeli. Setiap tahapan dalam pembuatan gulo puan memiliki peran penting dalam menentukan kualitas akhirnya. Bagian dadih diambil untuk membuat mentega, sementara bagian bawahnya dibuat untuk menjadi bahan utama gulo puan, menciptakan rasa gurih yang khas. Sayangnya, produksi gulo puan semakin menurun.

“Kalau sekarang ini jauh bedanya, dulu nenek kami itu sehari dapat kadang 25 kilo, pas emak kami paling dapatnya 5 kilo, kalau kami sekarang paling 2/3 kilo,” tutur Taliha.

Penurunan produksi ini disebabkan oleh berkurangnya populasi kerbau akibat semakin sedikitnya pakan alami, yang tergeser oleh ekspansi perkebunan sawit. Meski tantangan semakin besar, para perajin gulo puan seperti Ena dan Taliha tetap mempertahankan tradisi ini.

"Jadi mun die pacak kamek tu la yang betino tukang ngawenya (kalau bisa perempuan yang ngerjainnya)," ujar Ena.

Bagi mereka, gulo puan bukan sekadar makanan, tetapi juga lambang ketekunan, warisan, dan kebanggaan akan tradisi yang tak boleh hilang ditelan zaman. Di sisi lain, harga gulo puan kini jauh lebih tinggi dibandingkan masa lalu.

"Dulu tahun 1992, harganya hanya Rp2.500 per cupak, sekarang per cup kecil bisa Rp25.000, jadi kalau per kilogram sekitar Rp250.000," tutur Ena.

Saat ini, gulo puan diproduksi oleh beberapa perajin dengan harga yang bervariasi. Ena, yang merupakan salah satu produsen gulo puan yang dikenal luas, menetapkan harga Rp50.000 untuk kemasan plastik mika kecil dan Rp100.000 untuk kemasan besar. Sementara itu, Taliha menawarkan harga Rp25.000 per cup bulat kecil.

Produk gulo puan yang dibuat oleh Ena. Foto: Dela S.

Kendati demikian, para perajin tetap setia membuatnya demi menjaga warisan leluhur. Pengakuan terhadap gulo puan semakin diperkuat dengan ditetapkannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada 7 Desember 2021 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Penghargaan ini diserahkan dalam acara penutupan Pekan Kebudayaan Daerah di Taman Kerajaan Sriwijaya, Palembang, pada 3 Juni 2022. Dengan pengakuan ini, harapan pun tumbuh agar tradisi pembuatan gulo puan tetap lestari, mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Liputan ini merupakan hasil kerjasama dengan Pantau Gambut dan Betahita.

Teks: Dela Srilestari

Editor: Raden Ariyo Wicaksono (Betahita)

Pers Suara Mahasiswa UI 2025

Independen, Lugas, dan Berkualitas!