Dianggap Blunder, Khalayak Kritik Opini Ketua DPM UI

Redaksi Suara Mahasiswa · 19 Juli 2021
5 menit

Jumat (16/7) 2021, Lembaga Kajian dan Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2 FHUI) membuat sebuah diskusi yang bernamakan Kelompok Diskusi Ilmiah atau KEDAI. Diskusi bertajuk “Robohnya Tonggak Kebebasan Berpendapat” ini mengundang sejumlah pembicara diantaranya adalah ekonom Faisal Basri, politikus Faldo Maldini, Koordinator Bidang Sosial Politik BEM UI 2020 Rozy Brilian, dan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UI, Yosia Setiadi Panjaitan.

KEDAI ini adalah diskusi yang mengundang pembicara mengenai kasus publikasi meme yang dikeluarkan BEM UI beberapa waktu lalu yang mengkritik Presiden Joko Widodo sebagai “Jokowi: The King of Lip Service”. Yang menjadi pokok bahasan adalah pandangan dari Ketua DPM UI, Yosia Setiadi, yang dianggap tidak mendukung kritik BEM UI tersebut.

Diskusi mengenai BEM UI termasuk dalam sesi kedua dalam KEDAI, yang membahas secara empiris peran mahasiswa UI, khususnya ketua Lembaga Tinggi Kemahasiswaan (LTK), dalam menanggapi kasus tersebut. Salah satu perwakilan mahasiswa yang diundang adalah Yosia. Pada diskusi itu, Yosia memberikan pandangan yang terkesan mendiskreditkan kritik dari BEM UI.

Ketika moderator, Bryan Eduardus, mempersilahkan Yosia untuk berbicara tentang panggilan kepada segenap fungsionaris BEM UI dan DPM UI oleh pihak rektorat pada Minggu (27/6) lalu, ia menjelaskan bahwa tidak ada paksaan dan upaya pembungkaman kebebasan akademik di kampus UI. Selain itu, Yosia juga menjelaskan bahwa pihak UI beritikad baik untuk tidak membawa kritik kepada Presiden Jokowi yang heboh tersebut lebih meluas dampaknya dengan mengajukan menghapus publikasi tersebut.

Yosia juga menjelaskan bahwa pihak rektorat beritikad baik dengan mencontohkan membantu Ketua BEM FH UI, Surya Yudiputra, yang ditetapkan menjadi tersangka oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya. Sontak, pandangan dari Yosia ini sendiri dinilai publik sebagai keberpihakan Yosia terhadap rektorat.

Dalam webinar tersebut juga, tersebar juga opini bertajuk “Krisis Empati dalam Berdemokrasi: Urgensi Mahasiswa Sebagai Pondasi Utama Bangsa Indonesia” kepada segenap peserta. Tulisan ini adalah opini Yosia dalam menanggapi publikasi meme Presiden Jokowi tersebut.

Pasca dari webinar tersebut, pada Sabtu (17/7) kemarin, merespon dari pandangan Yosia Setiadi, mahasiswa bernama Muhammad Fawwaz membuat publikasi di media sosial Line. Publikasi tersebut Fawwaz mempertanyakan keberpihakan Yosia sebagai Ketua DPM UI kepada mahasiswa UI. Dalam publikasi tersebut, dijelaskan bahwa Yosia sangat tajam melawan kritik BEM UI dan mahasiswa UI kepada pihak rektorat serta pemerintah.

Fawwaz juga mengkritik, bahwa dalam tulisan tersebut, Yosia melihat segelintir mahasiswa UI yang tidak menyetujui kritik dari BEM UI. Publikasi Fawwaz membuat banyak warga UI ikut mengkritik Yosia atas perannya sebagai perwakilan mahasiswa.

Minggu (18/7) kemarin, Yosia mempublikasikan Story Instagram yang berisi klarifikasi dari kehebohan yang dewasa ini terjadi. Klarifikasi ini sendiri adalah hasil dari rapat insidental yang dilaksanakan Anggota Perwakilan Fakultas di DPM UI. Isi klarifikasi dari Yosia sendiri mengenai kehebohan yang terjadi adalah terbagi dalam 4 poin, yaitu tentang opini yang dibuat oleh Yosia adalah murni dari Yosia sendiri dan mewakili sebagai mahasiswa UI yang peka terhadap isu tersebut.

Selain itu, Yosia juga menjelaskan bahwa terdapat miskomunikasi antara dirinya dengan panitia KEDAI LK2 FH UI mengenai pengiriman tulisan opininya. Selain itu, akibat dari kegaduhan yang ditimbulkan oleh pernyataan Yosia tersebut adalah pemberlakuan masa krisis di DPM UI dengan implikasi pembekuan posisi struktural Ketua dan Wakil Ketua DPM dibekukan setidaknya selama 14 hari. Suara Mahasiswa UI telah berusaha menghubungi Yosia untuk dimintai keterangan, namun yang bersangkutan menolak untuk mengeluarkan komentar karena ditetapkannya kebijakan masa krisis.

Menilik Opini Yosia

Dalam opini tersebut, Yosia menunjukkan ketidaksetujuannya mengenai postingan BEM UI. Pertama, karena menimbulkan kegaduhan dan tidak didahului dengan proses dialog dalam memberikan kritik. Selanjutnya, Yosia juga berpendapat bahwa BEM UI  tidak berempati dengan keadaan yang terjadi, seperti dampak yang ditimbulkan oleh adanya pandemi Covid-19, tapi juga kepada pihak yang netral terhadap kasus ini. Terakhir, ia memberikan contoh seperti pelaksanaan OKK UI yang berdampak pada berkurangnya sponsor dari perusahaan dan instansi.

Yosia juga menulis pendapat bahwa kasus postingan BEM UI tersebut merupakan tanda krisis empati dalam iklim demokrasi di Indonesia. Baginya, mahasiswa seharusnya mengedepankan dialog dan memikirkan perasaan serta keadaan orang lain. Hal itu karena kesopanan merupakan budaya leluhur kita. Yosia menambahkan dalam opininya, bahwa tidak semua mahasiswa UI setuju pada postingan BEM UI. Data itu dihimpun berdasarkan hasil polling Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FH UI, dimana sekitar 27,2 % dari 387 responden mahasiswa UI cenderung tidak setuju dengan cara penyampaian/propaganda yang dilakukan oleh BEM UI. Tetapi, itu juga tidak melupakan bahwa mayoritas mahasiswa UI berdasarkan polling tersebut  setuju tentang cara penyampaian dan juga propaganda oleh BEM UI tersebut.

Terakhir, ia menambahkan seandainya semua orang mengedepankan empati dan juga memikirkan perasaan orang lain, mungkin rantai kebencian tidak akan sampai seperti sekarang ini. Menurutnya, akan sangat indahnya demokrasi apabila semua saling memahami dan menghargai satu sama lain. Maka sesungguhnya kedamaian akan selalu terjunjung tinggi, tanpa mencederai pihak manapun, tulisnya.

Walaupun begitu, bila dilihat dari Yosia yang menganggap bahwa dirinya hadir sebagai perwakilan dari BEM UI dalam KEDAI tersebut dibantah oleh Ketua BEM UI, Leon Alvinda Putra.

Dalam Instagram Story-nya, Leon mengatakan bahwa tidak ada undangan kepadanya yang mengatasnamakan LK2 FH UI serta koordinasi dengan Yosia mengenai dirinya menggantikan BEM UI dalam KEDAI.

Lebih lanjut, Leon juga mengatakan bahwa pernyataan Yosia tidak benar sebagaimana yang dinyatakan dalam rapat Anggota DPM UI. “Hal ini juga sudah dibenarkan oleh pihak LK2 FH UI, bahwa mereka tidak mengundang BEM UI untuk hadir sebagai pembicara, sehingga pernyataan Yosia tersebut tidak benar.”

Bukan Kontroversi Pertama

Ini bukan kali pertama Yosia membuat kontroversi. Berdasarkan referensi yang ditemukan oleh tim Suara Mahasiswa UI, setidaknya terdapat dua kontroversi lain yang pernah dilakukan Yosia sebagai pimpinan LTK, baik di tingkat UI maupun fakultas tempat Yosia bernaung, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Dua kontroversi tersebut adalah kemenangannya yang sangat tipis dan agak janggal pada kontestasi Pemilihan Raya FEB UI 2019 dan juga sikap otoriter yang Yosia tunjukkan selama menjadi Ketua DPM UI 2021.

Dilansir dari BO Economica, Yosia pada Pemilihan raya FEB UI memperoleh 160 suara dan dummy memperoleh 148 suara. Jika kita lihat secara kasat mata, tentu tidak terdapat hal yang mencurigakan. Akan tetapi, terdapat 13 suara tidak sah dari 321 suara total. Hal ini menimbulkan kontroversi karena jika ketiga belas suara yang tidak sah tersebut termasuk ke dalam dummy, maka Yosia akan kalah 1 suara.

Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UU Pemilihan Raya IKM FEB UI disebutkan bahwa, jika hanya terdapat satu Calon Anggota BPM FEB UI dari setiap himpunan, maka Calon Anggota BPM FEB UI yang bersangkutan harus memperoleh suara lebih dari 50%+1 suara dari jumlah mahasiswa yang menggunakan hak pilihnya. Dalam ketentuan tersebut, frasa menggunakan hak pilihnya menjadi asal permasalahan. Hal ini dikarenakan peraturan itu tidak memberikan penjelasan mengenai frasa tersebut. Sehingga, tidak ada dasar hukum yang mengatur apakah suara tidak sah termasuk ke dalam dummy atau tidak.

Akhir dari kontroversi tersebut adalah keputusan untuk tidak memasukkan suara tidak sah sebagai suara dummy. Keputusan tersebut diambil dalam rapat pertemuan antara panitia pelaksana pemira, steering committee, dan badan pengawas. Keputusan tersebut dilandasi konsep bahwa di dalam pemilihan terhadap calon tunggal terdapat tiga buah opsi yaitu memilih calon tersebut, memilih kotak kosong, atau tidak memilih keduanya dengan merusak surat suara yang membuat suara dihitung tidak sah.

Di samping kasus tersebut, Yosia juga memicu kontroversi saat menjabat sebagai Ketua DPM UI tahun ini. Berdasarkan notulensi rapat anggota DPM UI tanggal 27 Juni 2021, terjadi keributan antara Yosia dengan beberapa anggota DPM UI, karena Yosia mengeluarkan pernyataan ke Suara Mahasiswa UI sebelum ada keputusan sidang anggota terkait dengan permasalahan publikasi BEM UI. Beberapa anggota menyayangkan sikap yang diambil karena tidak sesuai dengan mekanisme kerja lembaga dewan perwakilan yang seharusnya bersifat musyawarah mufakat. Artinya, pernyataan yang dikeluarkan oleh seorang anggota sudah sepatutnya merupakan hasil dari keputusan sidang anggota.  

Pada akhirnya, opini pribadi seorang pimpinan lembaga tentu tidak akan dapat dipisahkan dengan pandangan resmi lembaga yang dipimpinnya. Hal ini dikarenakan sosok pimpinan bagi sebagian besar orang dianggap menjadi wajah suatu lembaga. Penyampaian opini memang termasuk salah satu bentuk kemerdekaan berekspresi. Hanya saja, penyampaian opini pribadi hendaknya dikondisikan ketika berada di ruang publik atas nama lembaga.

Teks: Febriyanto, Muhammad Riyan, Muhammad Firman
Ilustrasi: Jilan Fauziah
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!